Satire

Sang Koruptor Kaliber Dunia

Nusantarakini.com, Yogyakarta –

Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan luar biasa dan bentuk pengkhianatan terhadap integritas berbangsa dan bernegara. 

Di era Mataram, korupsi sudah terjadi; sistematis dan sistemik.

Wiroguno atau Alap-Alap adalah petinggi Kerajaan Mataram. Jabatan Wiroguno lebih dari seorang Tumenggung, tepatnya Manggalayudo.

Bersama Pangeran Purboyo, Wiroguno adalah agul-agulnya Mataram di era Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Satu lapis di bawah Wiroguno dan Purboyo adalah Tumenggung Surontani.

Di akhir hidupnya, Wiroguno dikejar-kejar kejahatannya sendiri.

MulGenjik beda tipis dengan Wiroguno yang saat ini dikejar-kejar kejahatannya sendiri. Akankah MulGenjik akan bernasib tragis seperti Wiroguno?

Bedanya, Wiroguno belum pernah memalsu ijazah.

Sudah tepat, Sultan Agung Hanyokrokusumo memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) dari Kotagede ke Kerto.

Memutus campur tangan Jurumertani alias Mondoroko, warongko dalem, yang mestinya, diberikan kepada Tumenggung Mandurorejo (anak Jurumertani), diberikan kepada kakak seperguruan Sultan Agung Hanyokrokusumo di Padepokan Ki Jejer, yaitu Singoranu.

Pemindahan IKN, membangun Makam Raja (Hastorenggo) di Imogiri dan Singoranu menjadi warongko dalem, adalah tamparan keras terhadap Jurumertani. Tuèk oglèk kakèhan polah.

Jurumertani mengatur strategi, untuk membalaskan dendamnya kepada Sultan Agung Hanyokrokusumo lewat kebodohan Tumenggung Endronoto.

Wajah Endronoto setali tiga uang dengan Pangeran Kuisong bin MulGenjik.

Perlu diketahui, Jurumertani amat sangat tidak menyukai Ki Panjawi, karena masalah pribadi waktu kecil.

Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah buyut Ki Panjawi. Eyang putrinya adalah puteri Ki Panjawi, yaitu Kanjeng Ratumas.

Logis, jika Jurumertani ingin mengganggu jalannya pemerintahan di Mataram.

Si pekok Endronoto memprovokasi Adipati Pati, Pragola II, seolah Mataram akan menyerang Pati. Jurumertani memprovokasi Sultan Agung Hanyokrokusumo, seolah Pragola II merong alias memberontak Mataram.

Cangkemé méncla-menclé, dhandhang diomongké kuntul, kuntul diomongke dhandhang. Dasar cangkem bekicot.

Pragola II adalah juga cucu Ki Panjawi. Kadipaten Pati adalah tanah perdikan, yang diperintah dinasti Panjawi.

Perlu dicatat: Pragola II sangat berperan dan berjasa bagi Mataram pada Perang Brang Wetan II. Sangat tidak logis jika Pragola II berontak kepada Mataram.

Nasi sudah menjadi bubur, perang antara Mataram dan Kadipaten Pati, terjadi. Pragola II tewas di tangan Wiroguno dengan Tombak Baruklinthing.

Kadipaten Pati dihancurkan, dan dinasti Pragola tumpes kelor.

Ada harta rampasan perang dari Kadipaten Pati, dan dua putri boyongan, yaitu Arumardi (permaisuri Pragola II) dan Rara Mendut (calon selir Pragola II).

Sayangnya, si cantik bahenol Arumardi memilih bunuh diri, daripada diboyong ke Mataram.

Rara Mendut, gadis manis bermata biru, diboyong ke Mataram bersama harta rampasan Kadipaten Pati.

Sesampai di Mataram, mestinya semua harta rampasan perang Kadipaten Pati dan Rara Mendut diserahkan ke Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Untung belum ada OCCRP. Jika sudah, Wiroguno pasti masuk ranking atas sebagai pemimpin terkorup bersama MulGenjik.

Wiroguno melakukan korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. Beberapa harta rampasan perang dan diambilnya Rara Mendut yang disembunyikan di Katemenggungan Wirogunan. Rara Mendut akan dijadikan garwa selir.

Ringkas cerita, cinta Wiroguno ditolak oleh Rara Mendut, karena hati Rara Mendut sudah dimiliki oleh Pranacitra, cah ndeso dari Botokenceng.

Akhirnya, Pranacitra dan Rara Mendut tewas di tangan Wiroguno.

Berita kejahatan Wiroguno terdengar oleh Sultan Agung.

Wiroguno diagendakan menghadap Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Wiroguno panik, dan tidak bisa tidur. Seorang Manggalayudo Mataram, yang kondang sakti mandruguna, ternyata ciut nyali berhadapan dengan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Wiroguno dikejar-kejar kejahatannya sendiri.

Dihadapan Sultan Agung Hanyokrokusumo, Wiroguno mengakui semua perbuatannya.

Tanpa ampun, Sultan Agung Hanyokrokusumo mengambil Tombak Kyai Plèrèd, dan mengujamkan ke dada Wiroguno. Wiroguno tewas seketika.

Gara-gara nila setitik, rusak susu sak BHnya.

Belum cukup, jasad Wiroguno dibuang jauh dari Kotaraja Kerto, yaitu di suatu wilayah, yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Prenggan.

MulGenjik akan bernasib sama dengan Wiroguno, dikejar-kejar oleh kejahatannya sendiri dan akhirnya binasa.
Wus tumekan titiwanciné. 

Karma pasti datang, harus dibayar lunas dan tuntas.

Rahayu…

Yogyakarta, 8 Januari 2025.
BPW. Hamengkunegoro.

(Ir. KPH. Adipati, Bagas Pujilaksono Widyakanigara Hamengkunegara, M.Sc., Lic.Eng., Ph.D./Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta/Seniman/Budayawan Yogyakarta/Penulis Skenario Film “Sultan Agung.”

Foto: Inilah.com.

Terpopuler

To Top