Nasional

Catatan Munas XIV Kagama: Rekayasa dan Dominasi Kepentingan Kelompok Tertentu

Nusantarakini.com, Jakarta –

Musyawarah Nasional (Munas) Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) XIV telah usai digelar. Berlangsung semarak di Mercure Convention Center Ancol, Jakarta, munas yang diselenggarakan pada 14 – 17 November 2024 dan diikuti lebih dari 1.000 peserta itu telah memilih mantan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono sebagai Ketua Umum PP Kagama periode 2024 – 2029.

Basuki resmi terpilih setelah mengungguli tujuh calon ketum lainnya. Setelah hasil verifikasi keluar, Basuki dan mantan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (BKS) – calon urutan kedua dengan pemilih terbanyak – diminta oleh komisi sidang untuk bermusyawarah, yang lantas memutuskan Basuki sebagai ketua umum, menggantikan Ganjar Pranowo.

Usai pemilihan ketum, lewat sidang pleno yang berlangsung cukup alot, telah pula dipilih enam alumni lintas fakultas sebagai anggota formatur dari total 25 nama calon formatur yang diajukan peserta munas. Mereka adalah Budi Karya Sumadi, Anwar Sanusi, Sulastama Raharja, Didik Purwadi, Teguh Setyabudi, dan Paripurna Poerwoko Sugarda.

Sarat Kejanggalan dan Kecurangan
Sepanjang penyelenggaraan munas, boleh dibilang, tidak banyak yang mempersoalkan terpilihnya Basuki, kendati tahun ini usianya sudah masuk 70 tahun. Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) itu relatif diterima, lantaran dianggap sebagai figur netral yang bisa mengayomi rupa-rupa kepentingan di tubuh Kagama. Jauh hari sebelum munas, Basuki bahkan telah diminta oleh sejumlah kalangan untuk maju, meski kabarnya ia sendiri tak berniat maju. Pihak rektorat pun sedari awal mendukung kehadiran Basuki.

Lain Basuki, lain Budi Karya Sumadi. BKS, yang sudah dua periode menjabat Ketua Harian PP Kagama di era Ganjar (2014-2024), semula dikabarkan sudah memutuskan hendak ”pensiun” dari kepengurusan PP Kagama. Sebagai alumnus Fakultas Teknik angkatan 1976, tahun ini usia BKS juga sudah sundul angka 68 tahun. Mestinya, lebih bijak menyerahkan pengelolaan organisasi alumni kepada angkatan yang lebih muda.

Tidak ada penjelasan resmi, mengapa BKS kemudian terlihat ngotot untuk kembali terjun ke gelanggang. Yang pasti, jelang pembukaan munas, BKS sudah siap maju dengan tim sukses yang – sebagian di antaranya – masuk (atau sengaja disusupkan?) dalam kepanitiaan. Setelah sukses meraih suara terbanyak kedua dalam pemilihan ketum, BKS makin tak terbendung.

Cuma, sejumlah peserta munas melihat kejanggalan, bahkan mencium aroma kecurangan, yang berlangsung terang-terangan saat pemilihan anggota formatur. Gegara dilakukan pembatasan persentase persyaratan dukungan untuk jadi formatur, 1.000 orang yang hadir dalam munas tak berhasil mendapatkan 8 (delapan) orang anggota formatur, melainkan hanya 6 (enam). Padahal Tatib Munas mengamanatkan maksimal 8 orang bisa duduk dalam tim formatur. Bahkan, Wakil Rektor bidang Alumni pun ”terganjal” masuk formatur.

Dugaan kecurangan lain, ada satu nama ”istimewa” dari 25 nama calon formatur yang bisa lolos dalam daftar hasil verifikasi bakal calon formatur. Padahal, sama sekali ia tidak mendapatkan suara dukungan, seperti terlihat di layar lebar di depan peserta. Calon formatur atas nama Sandy Yudha (yang berada di nomor urut 7) itu beneran tak beroleh dukungan, alias nol persen.

Indikasi kecurangan mudah dibaca, lantaran semua nama yang lolos verifikasi bakal calon formatur harus mengantongi setidaknya satu suara dukungan. Dus, zero dukungan ndak mungkin bisa lolos. Jadi? Munculnya nama Sandal (sapaan karib Sandy Yudha – Red.) di layar, patut diduga, mengindikasikan terjadinya utak-atik data, memindahkan suara dukungan dari si A ke si B untuk memperkuat nama tertentu agar masuk formatur.

Spekulasi di balik munculnya BKS
rapat perdana tim formatur yang dilaksanakan Rabu malam, 25 November 2024 telah menunjuk BKS kembali menjabat Ketua Harian PP Kagama. Ini merupakan jabatan ketua harian kedua bagi BKS, setelah sebelumnya ia menjabat ketua harian di kepengurusan Ganjar Pranowo periode pertama (hasil Munas Kendari).

Di kepengurusan Ganjar periode kedua (hasil Munas Bali), BKS gagal menjadi ketua harian, bahkan terpaksa berbagi jabatan dengan Anwar Sanusi (Fisipol) sebagai wakil ketua umum. Kali ini, tidak sekadar mengunci jabatan ketua harian, BKS juga menempatkan banyak orang dekatnya dalam kepengurusan PP Kagama.

Untuk menjawab tuntutan terkait perlunya regenerasi di tubuh Kagama, formatur telah menetapkan tujuh nama (mayoritas dari angkatan muda) untuk mengisi posisi wakil ketua. Termasuk dari tujuh nama itu adalah Mensesneg Prasetyo Hadi (Fakultas Kehutanan, 1999), meski ia tak nampak hadir dalam Munas Ancol.

Sedangkan posisi Sekretaris Umum diamanahkan kepada Nezar Patria (Fakultas Filsafat, 1990), yang saat ini menjabat Wakil Menteri Komunikasi dan Digital. Nama Nezar, yang konon juga sudah ”disiapkan” sejak jauh hari untuk mengisi posisi ini, disambut positif lantaran mewakili alumni angkatan muda.

Selain angkatan muda, Nezar dan Prasetyo juga masuk kategori ”wong anyar,” lantaran baru kali ini bergabung dalam kepengurusan PP Kagama. Idealita terkait pentingnya wajah baru dan angkatan muda dalam kepengurusan Kagama inilah yang membuat kehadiran (terutama) BKS memantik beragam spekulasi. Apalagi, itu tadi, BKS sebelumnya dikabarkan tak berencana maju lagi dalam kontestasi kepemimpinan organisasi alumni perguruan tinggi terbesar ini.

Di media sosial, spekulasi merebak ke mana-mana. Sejumlah WhatsApp Group, juga akun Facebook yang diikuti banyak anggota Kagama, tak kalah heboh membahas soal ini. Sehari setelah munas ditutup saja, ada alumni yang bikin status di Facebook, menyebut Munas Kagama kali ini sebagai penyelenggaraan munas yang terburuk.

Spekulasi yang berkembang liar bahkan ada yang menyebut BKS berkepentingan untuk bertahan duduk di kepengurusan inti PP Kagama, sebagai jembatan untuk melakukan lobi ke pusat kekuasaan (lewat anggota Kagama di pemerintahan), menyusul adanya indikasi dugaan keterlibatan dirinya dalam kasus hukum saat menjabat Menhub. Kasus tersebut saat ini sedang ditangani KPK.

Dugaan Permainan lewat Tatib
Upaya BKS untuk kembali masuk gelanggang pemilihan Ketum Kagama sejatinya sudah terekam sejak awal. Sejumlah peserta mengendus hal itu ketika Abdul Hamid Dipopramono, sosok yang dikenal dekat dengan BKS, memimpin sidang pembahasan Tata Tertib (Tatib) Munas. Hamid berusaha keras menggolkan draf Tatib dengan sejumlah persyaratan yang sangat membatasi banyak pihak untuk bisa mengajukan diri sebagai Calon Ketua Umum (Caketum).

Dua peserta munas, Alven Stony dan Salman Dianda Anwar, misalnya, mengkritisi batasan persyaratan yang diusulkan dalam draf Tatib. Yakni, setiap Caketum harus didukung minimal 10 persen suara alumni fakultas, ⁠10 persen suara alumni pengda (provinsi), ⁠10 persen suara alumni pengcab (kabupaten/kota), dan ⁠10 persen suara alumni komunitas.

Kalau seorang Caketum tidak memenuhi satu saja persyaratan yang ditetapkan, otomatis dinyatakan gugur alias tidak berhak mencalonkan. ”Meskipun syarat point nomor 1 lebih dari 50 persen, tetapi jika ada point lain yang tidak terpenuhi maka ia dianggap tidak berhak menjadi calon yang akan diusung,” kata Alven, peserta dari komunitas.

Dengan syarat-syarat tersebut, lanjut alumnus Fisipol itu, calon yang memenuhi syarat praktis cuma Basuki dan BKS.

”Selain Pak Basuki yang sejak awal memang panen dukungan, dukungan besar ke Mas BKS tentu tidak lepas dari banyaknya ’orang beliau’ yang jadi penyelenggara munas,” lanjut Alven Stony, yang saat ini menjabat Ketua Umum Pengusaha dan Profesional Nahdliyin (P2N).

Terkait pengaturan Tatib, Salman Dianda Anwar punya catatan tersendiri. Setelah menyampaikan langsung dalam rapat komisi AD/ART dan sidang pleno pertama, saking kesalnya, Ketua Pengda Sulawesi Barat itu sampai berkirim pesan WA ke BKS. Hal itu ia lakukan lantaran mendapatkan banyak keluhan dan masukan dari kawan-kawan pengda, pengcab, cabang khusus, juga komunitas.

Kata Salman, pesan WA sengaja ia kirim dengan pertimbangan demi kebaikan Kagama ke depan, sebagai organisasi yang kita cintai dan banggakan, serta untuk menciptakan suasana kondusif dan menghindari resistensi.

Seperti Alven, Salman pun terang-terangan menyebut adanya kesengajaan membuat tatib yang sangat ketat. Dimulai sejak mekanisme penyerahan surat dukungan dan verifikasi yang dibuat sangat njelimet dan berulang.

”Di awal, ketika registrasi, semua dokumen sudah dicek dengan sangat ketat, siapa peserta penuh dan siapa peninjau. Mereka diminta menunjukkan SK, mandat, dan KTP,” tutur Salman.

Tetapi saat pleno hendak dimulai, lanjut alumnus Fakultas Pertanian itu, persyaratan masih dicek ulang. Sehingga, banyak peserta merasa tidak dipercaya atau dicurigai dan dipersulit.

”Belum lagi, ada upaya menghalangi munculnya figur Caketum PP dan calon formatur dengan mengunci dukungan Kagama Komunitas dan Kagama Fakultas serta hal-hal lain,” cetus Salman, yang juga seorang pengusaha.

Salman menambahkan, saat puncak munas, beberapa kawan sebenarnya sudah meributkan soal ini, tetapi pihaknya coba meredam. ”Sebab, jika terus ribut, bisa membuat munas molor, bahkan akhirnya bisa tidak terlaksana sesuai target atau rencana, lantaran berkonsekuensi terhadap pembengkakan biaya munas, dan lain-lain,” ujarnya.

Terkait itu, dalam pesan WA kepada BKS, Salman menyebut dua nama yang kerap bikin masalah dan blunder di munas, yakni: Sulastama Raharja (Komo) dan Hasanuddin M. Kholil. Salman menyebut Komo sebagai ”oligarki komunitas” lantaran mengoleksi banyak organisasi Kagama Komunitas, sedangkan Hasan banyak berperan dalam pengaturan teknis persidangan.

Dalam WA-nya, Salman bahkan tegas meminta BKS agar menimbang dengan bijak untuk tidak memberikan keleluasaan dan posisi, apalagi posisi yang strategis, kepada kedua nama itu dalam kepengurusan PP Kagama 2024-2029.

Sejak Era Ganjar, upaya BKS untuk kembali masuk gelanggang pemilihan Ketum Kagama sejatinya sudah terekam sejak awal. Sejumlah peserta mengendus hal itu ketika Abdul Hamid Dipopramono, sosok yang dikenal dekat dengan BKS, memimpin sidang pembahasan Tata Tertib (Tatib) Munas. Hamid berusaha keras menggolkan draf Tatib dengan sejumlah persyaratan yang sangat membatasi banyak pihak untuk bisa mengajukan diri sebagai Calon Ketua Umum (Caketum).

Dua peserta munas, Alven Stony dan Salman Dianda Anwar, misalnya, mengkritisi batasan persyaratan yang diusulkan dalam draf Tatib. Yakni, setiap Caketum harus didukung minimal 10 persen suara alumni fakultas, ⁠10 persen suara alumni pengda (provinsi), ⁠10 persen suara alumni pengcab (kabupaten/kota), dan ⁠10 persen suara alumni komunitas.

Kalau seorang Caketum tidak memenuhi satu saja persyaratan yang ditetapkan, otomatis dinyatakan gugur alias tidak berhak mencalonkan. ”Meskipun syarat point nomor 1 lebih dari 50 persen, tetapi jika ada point lain yang tidak terpenuhi maka ia dianggap tidak berhak menjadi calon yang akan diusung,” kata Alven, peserta dari komunitas.

Dengan syarat-syarat tersebut, lanjut alumnus Fisipol itu, calon yang memenuhi syarat praktis cuma Basuki dan BKS. ”Selain Pak Basuki yang sejak awal memang panen dukungan, dukungan besar ke Mas BKS tentu tidak lepas dari banyaknya ’orang beliau’ yang jadi penyelenggara munas,” lanjut Alven Stony, yang saat ini menjabat Ketua Umum Pengusaha dan Profesional Nahdliyin (P2N).

Terkait pengaturan Tatib, Salman Dianda Anwar punya catatan tersendiri. Setelah menyampaikan langsung dalam rapat komisi AD/ART dan sidang pleno pertama, saking kesalnya, Ketua Pengda Sulawesi Barat itu sampai berkirim pesan WA ke BKS. Hal itu ia lakukan lantaran mendapatkan banyak keluhan dan masukan dari kawan-kawan pengda, pengcab, cabang khusus, juga komunitas. Kata Salman, pesan WA sengaja ia kirim dengan pertimbangan demi kebaikan Kagama ke depan, sebagai organisasi yang kita cintai dan banggakan, serta untuk menciptakan suasana kondusif dan menghindari resistensi.

Seperti Alven, Salman pun terang-terangan menyebut adanya kesengajaan membuat tatib yang sangat ketat. Dimulai sejak mekanisme penyerahan surat dukungan dan verifikasi yang dibuat sangat njelimet dan berulang.

”Di awal, ketika registrasi, semua dokumen sudah dicek dengan sangat ketat, siapa peserta penuh dan siapa peninjau. Mereka diminta menunjukkan SK, mandat, dan KTP,” tutur Salman.

Tetapi saat pleno hendak dimulai, lanjut alumnus Fakultas Pertanian itu, persyaratan masih dicek ulang. Sehingga, banyak peserta merasa tidak dipercaya atau dicurigai dan dipersulit.

”Belum lagi, ada upaya menghalangi munculnya figur Caketum PP dan calon formatur dengan mengunci dukungan Kagama Komunitas dan Kagama Fakultas serta hal-hal lain,” cetus Salman, yang juga seorang pengusaha.

Salman menambahkan, saat puncak munas, beberapa kawan sebenarnya sudah meributkan soal ini, tetapi pihaknya coba meredam. ”Sebab, jika terus ribut, bisa membuat munas molor, bahkan akhirnya bisa tidak terlaksana sesuai target atau rencana, lantaran berkonsekuensi terhadap pembengkakan biaya munas, dan lain-lain,” ujarnya.

Terkait itu, dalam pesan WA kepada BKS, Salman menyebut dua nama yang kerap bikin masalah dan blunder di munas, yakni: Sulastama Raharja (Komo) dan Hasanuddin M. Kholil. Salman menyebut Komo sebagai ”oligarki komunitas” lantaran mengoleksi banyak organisasi Kagama Komunitas, sedangkan Hasan banyak berperan dalam pengaturan teknis persidangan.

Dalam WA-nya, Salman bahkan tegas meminta BKS agar menimbang dengan bijak untuk tidak memberikan keleluasaan dan posisi, apalagi posisi yang strategis, kepada kedua nama itu dalam kepengurusan PP Kagama 2024-2029.

Capek Berebut Jabatan?
Berbeda dengan Defiyan Cori, Hamid Dipopramono – yang aktif memimpin persidangan di Munas Ancol – membuat catatan ringan terkait keterlibatannya dalam Munas Ancol. Seperti ditulis dalam akun Facebook-nya pada 29 November 2024, Hamid mengaku namanya sempat diusulkan oleh peserta munas untuk ikut ”berebut” jabatan tertentu di arena munas.

Namun, Hamid mengaku tidak bersedia dan mengundurkan diri dari pencalonan. Dalihnya, ia sudah aktif di Kagama sejak tahun 2000 (24 tahun silam) dan sudah ”kenyang jabatan” sehingga ”capek untuk berebut jabatan.”

Secara struktural, tutur Hamid, pada 2001-2004 ia sudah jadi Sekjen Katgama (alumni Fakultas Teknik) ketika ketua umumnya Airlangga Hartarto. Lalu, 2004- 2007, ia jadi Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Katgama saat ketua umumnya Basuki Hadimuljono. Dan, periode 2004-2009, ia menjabat Sekjen PP Kagama ketika ketua umumnya Djoko Kirmanto (Menteri PU ketika itu).

”Setelah tidak punya ’jabatan teras’ di PP Kagama sejak 2009, saya tetap aktif menghadiri acara-acara, meskipun hanya ’omon-omon’ untuk sekadar reuni, ngopi, ramai-ramai berolahraga dan musik, serta kegiatan-kegiatan kajian dan sosial yang probono,” tulisnya.

Hamid menambahkan, meski bukan lagi ”pejabat struktural penting” Kagama periode 2019-2024, ia bersedia ditunjuk sebagai Ketua Badan Pekerja Munas XIV Kagama 2024. ”Prinsip guyub rukun migunani milik Kagama tetap saya acu dalam beraktivitas, sehingga jabatan bukanlah segalanya,” cetus Hamid, Staf Khusus Menteri Perhubungan di era BKS.

Jabatan memang bukan segalanya. Namun, info dari rapat tim formatur, pada periode lima tahun mendatang Hamid akan mengisi jabatan strategis di kepengurusan PP Kagama sebagai Ketua Bidang Organisasi. Kontras dari yang ia tulis dalam status Facebook-nya.

So? Simpulan menarik dilontarkan Bambang Barata Aji. Dia bilang, paling tidak sudah sejak penyelenggaraan Munas Kendari, PP Kagama dikelola oleh sejumlah alumni yang bertindak menjadi semacam ”pegawai Kagama”. Ia digaji untuk bekerja mendukung kepentingan tertentu. Wajar jika tiap penyelenggaraan munas, ada upaya memperpanjang jabatan.

”Saya pernah di dalamnya, dan mereka semua kawan saya. Nah, dalam situasi Kagama yang telanjur seperti ini, kita praktis cuma dihadapkan pada dua pilihan: take it or leave it. Ambil atau tinggalkan!” pungkas Aji, alumnus Fisipol yang dikenal sebagai dalang Banyumasan ini. [mc]

Terpopuler

To Top