Analisa

Sosok Pemimpin Idaman dalam Untaian Peribahasa

Zulkarnain Lubis, Ketua Dewan Guru Besar, Ketua Program Doktor Ilmu Pertanian dan Program Magister Agribisnis UMA. (Foto: Istimewa)

Ungkapan Melayu mengatakan “bertuah ayam ada induknya, bertuah serai ada rumpunnya, bertuah rumah ada tuanya, bertuah negeri ada rajanya, bertuah imam ada jemaahnya.”

Nusantarakini.com, Medan –

Mungkin tak sempat terpikirkan oleh kita, mungkin juga tak menjadi perhatian kita, atau mungkin juga tak pernah terlintas di dalam benak kita, ternyata cukup banyak peribahasa dan kata bijak orang-orang tua kita yang mengandung makna pemimpin dan kepemimpinan.

Sungguh indah pilihan katanya dan sungguh bernas makna yang terkandung di dalamnya. Berbagai peribahasa ini memberi makna bagaimana sosok pemimpin idola yang bisa menginpirasi kita dalam mencari pemimpin ataupun dalam memimpin institusi, organisasi, lembaga, atau masyarakat pada umumnya.

Kata bijak dan peribahasa yang ada bisa dijadikan sebagai tempat berkaca, untuk introspeksi diri apakah kita sudah cukup pantas duduk di singgasana dengan segala kuasa agar dapat memimpin dan mengelola secara arif dan bijaksana, ikhlas dalam bekerja, mengayomi serta melindungi rakyat dan bawahannya.

Ungkapan Melayu mengatakan “bertuah ayam ada induknya, bertuah serai ada rumpunnya, bertuah rumah ada tuanya, bertuah negeri ada rajanya, bertuah imam ada jemaahnya.”

Ungkapan ini bermakna bahwa organisasi apapun, lembaga apapun, institusi apapun, termasuk juga perusahaan atau institusi bisnis lainnya memerlukan kehadiran seorang pemimpin yang tentu bukan hanya sekedar hadir secara fisik dan bukan pula sekedar nama.

Pemimpin lazim disebut “orang yang dituakan” oleh masyarakat dan kaumnya. Pemimpin diharapkan mampu membimbing, melindungi, menjaga, dan menuntun masyarakat dalam arti luas, dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Rakyat dan bawahan yang ditinggalkan, diabaikan, atau ditelantarkan oleh pimpinannya akan “seperti anak ayam kehilangan induk” dan bak kata pepatah Melayu lainnya, “patah kemudi perahu hanyut” yang artinya rakyat yang kehilangan pemimpin akan kocar-kacirlah jadinya.

Oleh karena tugas mulia dan tanggung jawab berat yang harus diembannya, seorang pemimpin wajib memiliki kepribadian “sempurna” dan berusaha terus-menerus menyempurnakannya; yang dalam peribahasa dikatakan “pemimpin berkata lidahnya masin, bercakap pintanya kabul, melenggang tangannya berisi, menyuruh sekali pergi, mengimbau sekali datang, melarang sekali sudah.”

Peribahasa ini kurang lebih maknanya bagi pemimpin, segala sesuatunya harus berkata sekali jadi, tidak boleh ditarik lagi, bila berjanji tidak boleh asal berjanji, tidak boleh ingkar janji, tentu setiap janji harus ditepati. Pemimpin harus bisa memberi kepastian, sehingga pemimpin haruslah orang yang berhati-hati, cermat dalam ucapan, tindakan, perbuatan, dan mengambil keputusan, sekali dikeluarkan susah untuk ditarik kembali.

Dalam prespektif Melayu yang memiliki kebiasaan menyampaikan sesuatu dalam bahasa indah, disyaratkan pemimpin harus orang yang taat, pemimpin harus taat kepada Tuhannya, taat kepada janji dan sumpahnya, taat kepada amanah yang menjadi tanggungjawabnya, taat kepada keputusan yang diambilnya, taat menjaga marwah dan martabatnya, dan taat membela bawahan dan rakyatnya.

Persisnya dituliskan bahwa untuk jadi pemimpin, fondasinya adalah “taat dan takwa kepada Allah, taat kepada janji dan sumpah, taat memegang petua amanah, taat memegang suruh dan teguh, taat kepada putusan musyawarah. taat memelihara tuah dan meruah, taat membela negeri dan rakyatnya.

Sebagai konsekuensinya sebagai orang yang taat, pemimpin haruslah orang yang berilmu, cerdik, pandai, bijak, dan pemeluk agama yang taat, sehingga pemimpin tersebut akan dihormati dan disayangi oleh para pengikutnya.

Seorang pemimpin yang zalim, kejam, dan sewenang-wenang, akan ditentang atau dilawan oleh rakyat dan bawahannya. Terkait dengan ini ada satu peribahasa yang berbunyi, “raja alim raja disembah. raja lalim raja disanggah.” Atau ada juga yang bunyinya sedikit berbeda, yaitu “raja adil raja disembah. raja zalim raja disanggah.” Dua-duanya memiliki makna yang sama yaitu pemimpin yang pintar dan cerdas serta mematuhi perintah Tuhannya dan menjunjung tinggi kebenaran akan dipatuhi oleh rakyatnya.

Akan tetapi pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingan rakyatnya malahan kekuasaan yang ada di tangannya dipergunakan untuk menindas dan memusuhi rakyat dan bawahannya. Maka pemimpin semacam ini boleh “disanggah” dan dilawan, baik sekedar tidak mematuhinya bahkan mungkin bisa dengan menurunkan dan menjatuhkannya.

Pemimpin yang adil dan alim adalah pemimpin yang membuatnya “disembah.” Makna disembah di sini bukanlah menyembah seperti kepada Tuhan tetapi lebih kepada dihormati, dipatuhi, serta ditaati perintah dan aturannya. Munculnya kepatuhan dan rasa hormat kepada pemimpin karena pemimpin tersebut adalah baik dan tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan perbuatan yang licik dan sewenang-wenang.

Dalam untaian kata indah khas Melayu disebutkan, “berkuasa tidak memaksa, berpengetahuan tidak membodohkan, berpangkat tidak menghambat.” Dalam prespektif Melayu dengan indah memosisikan pemimpin sebagai sosok yang bijak yaitu “bijak menyukat sama papat, bijak mengukur sama panjang, bijak menimbang sama berat, bijak memberi kata putus.”

Petatah petitih ini menghendaki agar pemimpin untuk berlaku adil dan bijaksana dalam membuat aturan dan mengambil keputusan.

Ada lagi satu ungkapan indah yang harus dihindari oleh seorang pemimpin yaitu “tiada boleh terpijak arang” yang maknanya seorang pemimpin termasuk para keluarganya sangat berpantang untuk berkelakuan yang membuat malu. Pemimpin harus betul-betul menjaga ucapan, perilaku, tindakan, dan perbuatannya termasuk keluarganya sehingga terhindar dari hal-hal yang memalukan. Jika ia terus menerus menerus melakukan perbuatan tercela dan sudah tidak lagi bisa diperbaiki, maka pemimpin ini sudah sepatutnya dihukum atau diberhentikan.

Pemimpin juga tidak boleh “terpijak ke lapik orang” yaitu pemimpin yang merugikan atau merampas hak orang lain. Pemimpin demikian akan kehilangan marwah dan kewibawaannya sehingga tidak patut dan tidak pantas untuk dipatuhi.

Seorang pemimpin akan dihormati apabila ia juga memiliki kearifan dalam bertindak yang akan menambah kepercayaan rakyat atau bawahannya bahwa ia memang benar-benar sosok yang cocok untuk memimpin. Kata indah tentang kearifan ini berbunyi, “di dalam tinggi ia rendah, di dalam rendah ia tinggi, pada jauh ianya dekat, pada yang dekat ianya jauh.”

Ungkapan ini juga dimaknai bahwa pemimpin yang adil adalah juga pemimpin yang tahu diri, tahu posisi, tahu tugas dan tanggungjawabnya, serta tahu mana yang perlu, mana yang tidak perlu, mana yang boleh, mana yang tidak boleh dilakukannya, mana yang patut, dan mana yang tak patut dikerjakannya.

Dalam untaian peribahasa disebutkan juga bahwa seorang pemimpin yang baik dan adil haruslah “tahu duduk pada tempatnya, tahu tegak pada layaknya, tahu kata yang berpangkal, tahu kata yang berpokok.”

Untuk itulah, seorang pemimpin harus bisa memilih dan memilah apa yang akan dikerjakan dan dikatakan, ia hanya akan mengerjakan dan mengucapkan yang harus, perlu, pantas, dan boleh serta menghindar dari berbuat dan berucap yang tidak perlu, tidak pantas, dan tidak boleh, sehingga ia akan selalu memegang teguh kebaikan dan menghindari keburukan yang dapat merugikan rakyat atau bawahannya serta organisasi dan lembaga yang dipimpinnya. Sebagaimana pepatah Melayu yang berbunyi, “sifat elok sama dipegang, sifat buruk sama dipantang.”

Seorang pemimpin harus memegang teguh amanah yang dibebankan kepadanya, ia tidak boleh lari dari tanggungjawab apalagi sampai melarikan diri dan meninggalkan rakyat dan bawahannya.

Untuk itulah pemimpin haruslah kuat dan tahan menghadapi rintangan, hambatan, tantangan, dan ancaman. Dengan kata lain seorang pemimpin haruslah memiliki mental “mampu bertahan” serta memiliki ketabahan dan kesabaran. Sebagaimana kata indah berbunyi, “tahan berhujan mau berpanas, tahan bersusah berpenat lelah, tahan berlenjin tak kering kain, tahan berteruk sepepak teluk.”

Dengan daya tahan tersebut, seorang pemimpin akan tampil sebagai tempat bagi rakyat atau bawahannya untuk mengadukan nasib dan peruntungannya. Ibarat pepatah yang berbunyi “ibarat kayu besar di tengah padang, tempat bernaung kepanasan, tempat berlindung kehujanan, uratnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar.”

Mampu bertahan tersebut juga dimaknai agar pemimpin memiliki ketahanan dalam menerima kritik dan keluhan-keluhan yang ditemuinya. Pemimpin tidak boleh bersikap arogan dan marah apabila dikritik atau mencari seribu dalih untuk mengelak dari kritik apalagi langsung menuduh bahwa kritik yang dilontarkan sebagai fitnah untuk menjatuhkannya. Pemimpin harus dapat menerima kritik dengan lapang dada dan menghargainya sebagai sebuah nasihat dan bahan intropeksi diri.

Agar seorang pemimpin mampu bertahan dan memiliki ketabahan, ia harus bekerja dengan ketulusan dan keikhlasan. Tentang keikhlasan ini, ada juga kata indah yang berbunyi “ikhlas menolong tak harap sanjung, ikhlas berbudi tak harap puji, ikhlas berkorban tak harap imbalan, ikhlas bekerja tak harap upah, ikhlas memberi tak harap ganti, ikhlas mengajar tak harap ganjar, ikhlas memerintah tak harap sembah.”

Dengan berbagai harapan dan tuntutan yang harus dilakoni oleh seorang pemimpin, maka wajar sajalah jika pemimpin mendapatkan tempat yang khusus dalam menjalankan amanah dan harapan tersebut, sebagaimana juga pepatah Melayu yang memposisikan pemimpin sedikit di atas, dihormati, dihargai, dimuliakan, dan diberi sedikit keistimewaan oleh rakyat atau bawahannya; yaitu “didahulukan selangkah, dilebihkan sehari, dilebarkan setapak tangan, ditinggikan seranting, dilebihkan sebenang.”

Dengan demikian, dari apa yang diuraikan melalui pepatah atau peribahasa di atas, kita dapat mengatakan bahwa sesungguhnya kita memiliki kearifan lokal bagaimana semestinya seorang pemimpin berpikir, bersikap, bertindak, berbuat, dan berucap.

Oleh karena itu, dalam menilai pemimpin jangan pandang elok mukanya, tapi pandang elok hatinya atau pilih yang mulia budi pekertinya, perilakunya, budi bahasanya, adilnya, benarnya, taat setianya, petuah amanahnya, tenggang rasanya, tegur sapanya, ikhlas hatinya, mulia ilmunya, tanggung jawabnya, iman takwanya, lapang dadanya, bijak akalnya, sifat tuanya, dan cergas rajinnya.

Itulah sebabnya, kepadanya pantas diberikan penghargaan dan penghormatan berupa privilege dengan sedikit posisi yang lebih tinggi di atas rakyat dan bawahannya, agar dia lebih leluasa menjalankan kepemimpinannya untuk dapat mewujudkan harapan dan keinginan mereka.

Namun mungkin kita sering kecewa, banyak pemimpin yang ditemukan bertolak belakang dari kandungan kata indah dalam bentuk pepatah dan beribahasa tersebut.

Faktanya banyak pemimpin kita yang tidak punya susila, tidak bermoral, tidak punya etika, berkhianat kepada rakyat dan bawahannya, tidak punya malu dan memalukan perilakunya, sudah hilang harga dirinya, serakah, rakus dan membabi buta menumpuk harta, gila kuasa tapi kosong akal dan logikanya, berbuat segala cara untuk mempertahankan jabatan dan kedudukannya, tega menyakiti dan sanggup membohongi rakyatnya, berbuat segala cara untuk melampiaskan hasrat dan nafsunya, lupa diri, lupa daratan, lupa kapan akan datang ajalnya, dan lupa segalanya, demi ambisi, demi harta, dan demi tahta. [mc]

*Zulkarnain Lubis, Ketua Dewan Guru Besar, Ketua Program Doktor Ilmu Pertanian dan Program Magister Agribisnis UMA.

Terpopuler

To Top