Opini

Pilkada Jakarta 2024: Mau Nekat Lawan Anies Baswedan?

Anies Baswedan dalam pose "meneropong."

“Jika PKS dan PDIP bersama-bersama mengusung Anies Baswedan di pilkada Jakarta, maka ini tidak hanya akan menjadi sejarah baru, tapi sekaligus akan menjadi kekuatan yang cukup dahsyat.”

Nusantarakini.com, Jakarta 

November nanti, pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta akan diselenggarakan. Bukan hanya Jakarta, tapi pilkada di seluruh Indonesia serentak dilaksanakan. Ini perintah undang-undang.

Banyak incumbent yang maju dan ikut kontestasi kembali. Termasuk Anies Baswedan. Anies akan maju di pilkada Jakarta untuk kedua kalinya. Partai apa saja yang akan ikut mengusung Anies? PKS, PKB dan Nasdem. Tiga partai pengusung Anies di pilpres ini nampaknya cukup setia. Sementara PDIP, infonya masih dalam komunikasi dengan partai koalisi pengusung Anies.

Dengan tiga partai pengusung, maka lebih dari cukup syarat untuk bisa mengusung Anies. PKS, PKB dan Nasdem punya 39 kursi di DPRD Jakarta. Apalagi jika ditambah PDIP. Maka, koalisi partai pengusung Anies lebih dari 50 persen. Dari sisi partai, Anies sangat kuat.

Jika PKS dan PDIP bersama-bersama mengusung Anies Baswedan di pilkada Jakarta, maka ini tidak hanya akan menjadi sejarah baru, tapi sekaligus akan menjadi kekuatan yang cukup dahsyat. Kedua partai ini, yaitu PKS dan PDIP punya mesin politik yang rapi dan solid. Bergabungnya PDIP akan menjadi faktor yang menambah optimisme dan peluang bagi Anies Baswedan untuk menang.

Siapa lawan Anies yang dianggap seimbang di pilgub Jakarta? Jawabannya: paslon yang di-back up oleh kekuasaan. Pertama, paslon ini akan punya kekuatan logistik yang luar biasa. Boleh dibilang “logistik tanpa batas.” Semua pengusaha bisa ditekan untuk ikut menyiapkan logistiknya.

Kedua, paslon ini besar kemungkinan akan mendapatkan dukungan dari berbagai kebijakan. Entah itu terkait kebijakan bansos, BLT, KJP dan sejenisnya.

Ketiga, instrumen negara seringkali secara vulgar atau sembunyi-sembunyi digunakan untuk kerja politik membantu paslon yang didukung penguasa.

Keempat, KPU juga acapkali berpihak dan tidak netral karena faktor intervensi, atau bahkan intimidasi. Empat faktor ini sering muncul ketika ada paslon yang mendapat dukungan dari penguasa. Tapi, inilah wajah demokrasi kita. Demokrasi alai ala Indonesia.

Kalau demokrasinya normal, sehat dan wajar, dimana Anies berhadapan dengan rival yang tidak didukung penguasa, maka jalan menuju balaikota untuk kedua kalinya bagi Anies relatif akan lebih mudah. Tidak terlalu sulit bagi Anies untuk menang. Apalagi jika lawannya dari jalur independen. Bagaimana mungkin bisa melawan Anies yang incumbent, populer, punya record suara pilpres di Jakarta hampir 50 persen dan didukung oleh PKS sebagai partai pemenang pemilu yang punya mesin politik sangat bagus. Terlebih jika PDIP, partai pemenang runner up di pemilu Jakarta ini juga ikut mengusung. Sulit membayangkan tokoh tanpa back up kekuasaan bisa melawan Anies.

Anies Baswedan berfoto bersama Prabowo Subianto saat melakukan momen Pilkada DKI Jakarta 2017.

Satu-satunya lawan Anies yang mampu membuat pilgub Jakarta seru adalah adanya paslon yang didukung oleh penguasa. Siapa penguasa itu? Jokowi dan Prabowo. Penguasa lama dan penguasa baru. Jokowi berkuasa saat pendaftaran pilgub. Prabowo berkuasa saat pelaksanaan pilgub.

Siapa paslonnya? Siapapun, selama itu adalah paslon yang di-back up oleh penguasa, maka pilkada Jakarta akan sangat seru.

Mungkinkah terjadi kecurangan? Penguasa adalah lembaga yang punya akses dan kekuatan untuk melakukan kecurangan. Di luar penguasa, kecurangan tetap ada, tapi tidak signifikan. Pengaruhnya kecil terhadap kemenangan. Sebab, di luar istana, tidak ada akses dan kekuatan untuk curang secara terstruktur, masif dan sistematis. Istilah yang populer dengan TSM. Hanya penguasalah yang mampu melakukan kecurangan TSM. Meski tidak mudah untuk bisa membuktikannya dalam proses pengadilan.

Bagi Jokowi, Jakarta tetap menjadi wilayah yang cukup penting. Dalam masa transisi perpindahan ibu kota, Jakarta masih tetap menjadi jendela Indonesia.

Bagi Prabowo, penguasa baru di pilkada bulan november nanti, Jakarta masih menjadi pusat bisnis dan politik. Wajah Indonesia masih akan dipengaruhi oleh dinamika politik di Jakarta. Apalagi, DPR tidak mau pindah ke IKN.

Siapapun yang akan menjadi gubernur Jakarta, itu tetap akan menjadi ancaman untuk pilpres 2029 nanti. Pilpres dimana Prabowo sebagai incumbent akan ikut bertarung lagi. Karena itu, Prabowo merasa penting untuk melakukan pengkodisian di pilkada Jakarta.

Kecuali jika 2029, pemilihan presiden dilakukan oleh MPR. Melalui Ahmad Muzani, Sekjen Gerindra, Prabowo seperti sudah mewacanakan ke arah sana.

Kalau pilpres dilaksanakan oleh MPR, maka siapapun yang akan menjadi gubernur Jakarta, itu bukan ancaman bagi Prabowo. Apakah ini mungkin? Jawabnya: apa yang tidak mungkin diubah jika presiden punya keinginan. Apalagi, presidennya adalah Prabowo. Seorang jenderal yang darahnya darah militer, besar di berbagai karir militer dan mendapat dukungan kuat dari militer. [mc]

Jakarta, 14 Mei 2024.

*Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Terpopuler

To Top