Nusantarakini.com, New York –
Bulan Agustus tahun 2023 lalu saya diundang jadi pembicara dalam konvensi pertama perang melawan Islamophobia di kota Missouri, Amerika Serikat. Pertemuan tahunan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh Islam baik dari ISNA, CAIR, ICNA, dan lain-lain.
Yang ingin saya tuliskan kali ini adalah sebuah makalah yang saya di majalah AA (American Airlines) yang tersimpan di counter bandara. Saya memang selalu mencari bacaan ringan ketika dalam perjalanan. Baik itu dari majalah-majalah gratis atau sekalian membeli buku di toko buku bandara. Seringkali buku-buku yang baru terbit lebih duluan terpajang di bandara-bandara sebagai promosi.
Yang menarik perhatian saya di majalah AA tadi adalah sebuah tulisan yang berjudul “10 prinsip kepemimpinan yang efektif” (10 principles of an effective leadership). Tentu saja saya baca secara seksama, bahkan sengaja membawa majalah gratis itu pulang ke rumah. Apalagi saat itu angin-angin pilpres, baik di US maupun Indonesia, mulai terasa.
Saya menyempatkan diri mencatat sepuluh prinsip-prinsip dasar kepemimpinan itu dan tidak lupa memberikan catatan-catatan tentang kepemimpinan dalam perspektif Islam. Sebagaimana kita pahami bahwa kepemimpinan (imamah) menjadi salah satu tema penting, baik dalam Al-Quran maupun hadits-hadits Rasulullah SAW.
Kesepuluh prinsip kepemimpinan efektif yang disampaikan di majalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. berkarakter kejujuran yang tinggi (honesty).
2. memiliki kemampuan mendelegasikan (Ability to delegate),
3. memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni (Communication skill).
4. memiliki rasa humor (Sense of humor),
5. memiliki percaya diri (self esteem),
6. memiliki komitmen yang solid (solid commitment),
7. memiliki Karakter positif (Positive attitude),
8. memiliki daya kreatifitas yang inovatif (innovative Creativity)
9. mampu menginspirasi (ability to inspire),
10. memiliki intuisi yang kuat (Intuition).
Saya tidak bermaksud merincikan satu per satu dari prinsip kepemimpinan efektif di atas. Karena kesepuluh prinsip ini terangkum dalam prinsip kepemimpinan Rasulullah; Shidiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah.
Yang ingin saya coba lakukan mengaitkan prinsip-prinsip tersebut dengan tiga prinsip dasar kepemimpinan yang tersimpulkan dalam Al-Quran di surah As-Sajadah ayat 24:
وَ جَعَلْنَا مِنْهُمْ اَئِمَّةً يَّهْدُوْنَ بِاَ مْرِنَا لَمَّا صَبَرُوْا ۗ وَكَا نُوْا بِاٰ يٰتِنَا يُوْقِنُوْنَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
Ayat ini menyampaikan tiga prinsip dasar kepemimpinan dalam pandangan Islam:
Pertama, “يهدون بامرنا” (memberikan petunjuk dengan perintah Kami (Allah).
Makna dari potongan ayat ini adalah bahwa dalam konteks negara yang beragama (ketuhanan) pemimpin ideal itu adalah yang paham petunjuk Allah, sehingga mampu memberikan petunjuk sesuai perintah Allah SWT. Memberikan petunjuk itu dimaknai sebagai “mengeluarkan kebijakan-kebijakan umum yang sejalan dengan perintah/ajaran Allah SWT).
Sehingga dengan sendirinya ketika Pemimpin itu tidak paham ajaran Allah, atau tidak peduli dengan ajaranNya
tentunya sangat tidak sesuai dengan prinsip kepemimpinan dalam Islam. Lebih runyam lagi kalau memang seorang pemimpin itu adalah seseorang yang tidak peduli, apalagi memang phobia dengan ajaran Allah SWT. Pastinya akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan bahkan merusak ajara agamaNya.
Kedua, “لما صبروا” (seraya bersabar).
Potongan ayat ini menegaskan bahwa pemimpin itu harus memiliki kesabaran yang tinggi. Dalam menjalankan amanah kepemimpinannya seorang pemimpin akan berada di antara dua kemungkinan. Tertantang atau tergoda. Dan keduanya memerlukan kesabaran besar.
Sabar itu adalah “a state of mentality” (keadaan mental) yang membaja di hadapan tantangan dan/atau sebaliknya godaan. Pemimpin yang sabar tidak mudah patah semangat karena tantangan yang ada. Tidak mudah emosi atau marah karena kritikan. Tapi juga tidak mudah terjatuh ke dalam jebakan godaan-godaan yang ada.
Ketiga, “وكانوا باياتنا يوقنون” (dan mereka yakin dengan ayatKu/tanda-tanda kekuasanKu).
Keyakinan itu menghasilkan ketetapan dan soliditas hati. Kekuatan hati itulah yang melahirkan “self confidence” atau “self esteem” (percaya diri) yang tinggi. Pemimpin akan menghadapi ujian ragam permasalahan, baik dalam negeri maupun di dunia luar. Di sinilah seorang pemimpin harus memiliki ketetapan hati (keyakinan) untuk mengambil keputusan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Jika tidak maka yang terjadi adalah ketidak pastian dalam urusan-urusan penting kepemimpinan itu.
Pemimpin yang memiliki keyakinan juga adalah pemimpin yang tidak mudah diintimidasi oleh siapapun dan oleh keadaan apapun. Kita sadar bahwa persaingan global sangat deras. Kerap kali yang kuat semena-mena menekan dan mengintimidasi yang dianggap lemah. Di sinilah seorang pemimpin yang punya “keyakinan” (self esteem) akan tegar menghadapi semua tekanan.
Sebaliknya dengan keyakinan itu pula dia tidak akan mengimitasi siapapun, bahkan yang mengeritknya. Lawan politik sekalipun justeru akan dianggap partner setajam apapun perbedaan yang ada. Wewenang yang dimilikinya bukan kekuasaan yang menjadi jalan kesemena-menaan, baik secara halus apalagi kasar.
Merujuk kepada sepuluh prinsip kepemimpin efektif tadi yang tersimpulkan secara gamblang dalam ayat Al-Quran ini, tentu implikasi teknis dan praktisnya ada pada wawasan yang luas (broaden mindset), intergritas yang tinggi (punya karakter dan etika) serta kapasitas yang mumpuni, termasuk inovatif, kreatif serta memiliki kemampuan komunikasi yang tinggi.
Di tengah memanasnya temperatur politik saat ini, diperlukan kemampuan untuk melakukan rasionalisasi pilihan, berpikir matang, jauh dari tendensi kepentingan sempit dan sesaat. Dan yang terpenting tentunya “istafti qalbak” (tanya hatimu). Karena hati nurani takkan bisa dibohongi. [mc]
NYC Subway, 2 Desember 2024.
*Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.
(Ringkasan tulisan ini pernah saya sampaikan di bulan Agustus lalu).