Opini

Pasangan Amin dan Strategi ‘Devide et Empire’

Nusantarakini.com, London – 

Dalam beberapa kesempatan saya sering sampaikan bahwa takdir Allah menyatukan Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar bukan sekedar memiliki nilai politis yang penting. Bukan sekedar menggagalkan upaya “penggagalan” pencalonan ABW pada pilpres yang memang aromanya telah sedemikian lama kita cium. Upaya demi upaya itu telah kita cium bahkan jauh sebelum memasuki musim pilpres kali ini.

Tapi lebih dari itu takdir Allah menyandingkan AMIN (Anies-Muhaimin) memiliki nilai yang lebih besar, baik bagi bangsa dan negara, terlebih khusus lagi bagi umat Islam Indonesia yang menjadi segmen terbesar dari bangsa ini. Saya sering mengatakan bahwa takdir Ilahi ini menjadi jalan keberkahan dan kebaikan bagi umat Islam terbesar dunia di bumi Nusantara.

Kita semua sadar bahwa sejak lama umat Islam Indonesia mengalami blokade untuk bangkit dan maju. Berbagai upaya dilakukan untuk mengahalangi umat untuk ini memainkan peranan besarnya demi memajukan diri dan bangsanya. Salah satu blokade yang selama ini terjadi adalah dalam bentuk “devide at empire” atau “upaya pemecahbelahan” antar kelompok umat agar selalu berada pada posisi yang termarjinalkan. Itulah yang terasa dengan sangat jelas dalam segala aspek kehidupan bernegara. Terkhusus lagi pada aspek politik dan ekonomi umat, yang kemudian berdampak pada aspek hukum, pendidikan, dan lainnya.

Selama ini upaya pemecahbelahan itu paling terasa di antara segmen terbesar umat, kalangan Nahdliyin, kelompok yang diposisikan seolah berhadapan dengan kelompok-kelompok keumatan yang lain. Tidak saja kelompok lain. Bahkan beberapa individu yang dianggap memiliki pengikut di masyarakat diposisikan seolah kontra dengan warga Nahdliyin. Padahal individu-individu itu secara Fiqh (paham) keagamaan memiliki manhaj yang sama dengan kaum Nahdhiyin.

Bahkan di kalangan Partai yang berafiliasi keumatan, ambillah PKS sebagai contoh, sangat diidentikkan sebagai antitesis Nahdliyin. Padahal para pembesar PKS begitu banyak yang justru dari kalangan Nahdliyin. Saat ini misalnya, dari Ketua Majelis Syura, Presiden, hingga tokoh-tokoh kunci banyak yang secara Fiqh keagamaan berafiliasi dengan Nahdliyah. Akan tetapi upaya “devide et empire” itu sangat kental untuk memisahkan antara PKS dan PKB dan Nahdhiyin secara umum. Sehingga selama ini tumbuh persepsi jika PKS adalah Partai wahabi yang konotasinya kontras dengan manhaj Nahdliyah.

Di sinilah kita sadari bahwa takdir Allah mempertemukan AMIN (Anies dan Muhaimin) dalam proses pencalonan ini memiliki nilai besar dalam proses rekonsiliasi dan kesatuan umat. Bagaimanapun juga, berbeda dari Partai yang dilihat berafiliasi dengan Muhammadiyah, PKB sangat disadari dan diakui oleh warga Nahdhiyin sebagai Partai berafiliasi Nahdhiyah. PKB tidak bisa dipisahkan dari ruh kyai-kyai besar NU (dikenal Kyai Langitan) yang membersamai Gus Dur mendirikan Partai ketika itu.

Maka dengan segala kekurangannya yang ada, termasuk karena perbedaan bahkan perpecahan dengan keluarga Gus Dur (saat ini diwakili secara formal oleh Yeni Wahid), PKB masih dianggap sebagai Partai grass root dan Partai kyai-kyai Nahdhiyin. Bahkan walaupun beberapa petinggi PKB maju dalam pencalonan di daerah tertentu bukan dengan dukungan PKB, Khofifah di Jatim misalnya, tetap tidak bisa dipisahkan dari warna Nahdhiyah.

Di sisi lain, minimal lima tahun terakhir sejak terpilihnya menjadi Gubernur Jakarta, Anies dipersepsikan sebagai politisi yang dipromosikan oleh kelompok kanan, yang biasa dilabel dengan Islam garis keras bahkan Islam fundamentalis (condong ke radikalis). Apalagi pencalonan Anies di Jakarta dikomandoi oleh PKS, yang kemudian didukung oleh Gerindra setelah Sandiaga Uno yang awalnya dicalonkan oleh Gerindra sadar akan realita dan rela menjadi orang kedua. Jadilah Anies sebagai calon dari PKS dengan dukungan Gerindra. Jadi sesungguhnya Anies tidak dicalonkan oleh Partai Gerindra seperti hang diakui Prabowo di debat lalu.

Anies kemudian lebih kental dilabeli Islam garis keras dengan terlibat langsungnya gerakan 212 di bawah komando Imam Besar FPI ketika itu, Habib Rizik. Dengan terlibat langsungnya FPI mendukung pencalonan Anies dari non Partai, lengkaplah pelabelan Anies sebagai representasi Islam kanan atau Islam fundamentalis. Semua itu semakin runyam pula dengan PSI yang anti Islam yang kehadirannya seolah memang hanya untuk menghabisi Anies dan gerakan politik Islam.

Selama memimpin Jakarta para “Anies haters” membangun imej yang sangat terbuka jika Anies adalah representasi politik identitas, bahkan politik intoleran. Semua itu dibangun di awan-awan yang secara nyata paradoksikal dengan kenyataan di lapangan. Realitanya Anies oleh banyak kelompok non Islam di Jakarta dianggap Gubenur yang paling toleran dan paling berhasil menyelesaikan berbagai tantangan yang sebagian kelompok non Islam rasakan selama ini. Anieslah sebagai Gubenur Jakarta dalam sejarahnya yang paling banyak mengeluarkan IMB rumah ibadah non Islam.

Pada tataran lain, ada juga yang berusaha membelah umat kepada Islam radikal dan Islam moderat. Semua yang radikal adalah mereka yang non Nahdhiyin. Sementara yang moderat seolah hanya mereka yang berafiliasi Nahdliyyin. Secara umum seolah Nahdliyyin itu sebagai organisasi Islam terbesar di tanah air bersama Muhammadiyah merupakan lawan dari elemen-elemen Islam lainnya.

Maka dengan berpasangannya Anies dan Muhaimin, apalagi termasuk di dalamnya dukungan dua Partai yang selama ini dibelah (PKB-PKS) semakin menjadikan pihak-pihak yang punya i’tikad buruk kepada umat ini semakin sakit hati. Mereka tidak akan pernah ridho umat ini bersatu. Dan upaya yang mereka lakukan selama ini, bahkan sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru, seolah mengalami kegagalan.

Itulah sebabnya kita sesungguhnya tidak terkejut ketika terasa semua kekuatan (lain) disatukan dengan cara halus (maupun kasar) untuk mengganjal pencapresan Anies. Dan dengan menyatunya Anies dan Muhaimin menjadi simbol bersatunya kekuatan-kekuatan umat yang selama ini dicerai beraikan dengan strategi “devide et empire.” Akibat dari pemecahbelahan umat inilah yang kita rasakan pahit getirnya hampir dalam segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lalu Kapan umat ini akan tersadarkan? [mc]

*Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. 

Terpopuler

To Top