Analisa

Kecurangan Berulang, Hanyalah Menanti Prahara Nasional

Menganalisa potensi prahara nasional itu, maka hasil piplres yang penuh kecurangan bukan hanya mengantarkan “pesta” revolusi. Tapi, sang pemenang tak akan bisa menikmati hasil pilpres.
Justru, akan semakin menjadi target amuk massa yang berjuta-juta itu.

Nusantarakini.com, Bekasi – 

Bukan rahasia lagi, bicara kecurangan pemilu.
Terjadi, pada pemilihan presiden (pilpres) 2019, bahkan pilpres sebelumnya (2014).
Memang tak bisa dibuktikan secara hukum. Tapi, data intelegen menunjukkan kecurangan itu.
Setidaknya, mantan Panglma TNI, Andhika Perkasa – melalui podcastnya – mengakui tindak kecurangan dua kali pemilu lalu.
Itulah sebabnya, Husni Kamil (mantan Ketua KPU) yang hendak menyampaikan kejujuran hasil pilpres 2014 mati misterius.
Mulut berbusa.

Dan pada pilpres 2019 lebih banyak korban nyawanya: sekitar angka 800 petugas KPPS melayang secara bersamaan.

Itulah kondite dua kali pilpres di Tanah Air ini. Yang perlu kita soroti, apakah pilpres pada 2024 nanti, juga akan dilakukan kecurangan?

Tampaknya, tak akan jauh beda dari dua pilpres lalu. Indikatornya pun sudah terlihat sejak dini.
Seperti yang terlansir dari Ketua Umum Partai Emas, Hasnaeni tahun lalu, Ketua KPU Hasyim Asy`ari sudah sampaikan pemenang pilpres sudah di kantongnya.
Tinggal mengumumkan secara resmi. Yaitu Ganjar Pranowo. Informasi ini memang terlalu dini. Menjadi persoalan baru ketika topografi politiknya berubah.
Bukan dua pasang (Ganjar versus Anies), tapi muncul pasangan Prabowo – Gibran.

Pasangan baru Prabowo-Gibran memaksa peta politik dalam KPU dan atau BAWASLU berubah.
Gibran menjadi faktor penting, yang memaksa harus berubah. Indikatornya sudah terbaca jelas. Diantaranya, BAWASLU membiarkan praktik curang pasangan nomor 3. Pasangan ini membagi-bagikan susu kepada masyarakat luas. Juga, membiarkan Gibran bagi-bagi uang. BAWASLU tidak menegurnya, padahal saat ini sudah memasuki kampanye resmi. Dan beberapa hari lalu, KPU pun menghapus jadwal debat publik kandidat. Karena tahu persis: Gibran tak berdaya dalam dunia debat terbuka. Maklum. Ilmunya super cetek (dangkal). Sementara, perhelatan debat publik itu tergolong strategis: untuk mencegah “kecing dalam karung.” Rakyat – secara luas – harus tahu persis kualitas piker dan hati sang kandidat.

Di luar data itu – menurut informasi yang tersiar di berbagai media sosial – telah terjadi ribuan warganegara China mendapatkan KTP Indonesia.
Peristiwa yang terjadi di Washington DC ini sempat membuat banyak elemen masyarakat diaspora di Amerika terheran-heran.
Sangat boleh jadi, langkah ini (mendapatkan KTP Indonesia di luar negeri) akan menjadi modus. Pencoblosannya pun di luar negeri. Tidak terpantau secara maksimal oleh para pemantau independen ataupun petugas saksi nanti. Beda tingkat ketatnya.

Sungguh mengherankan. Kecurangan faktual tidak dipandang sebagai pelanggaran serius.
Hal ini membuat siapapun absah menilai, bahwa pilpres 2024 pun akan terjadi kecurangan yang berulang.
Boleh jadi, jauh lebih massif.
Hal ini berarti, pilpres mendatang memang sudah ditentukan pemenangnya.
Bukan lagi pasangan Ganjar, tapi Prabowo sebagai konsekuensi berpasangan dengan Gibran.

Kini, kita berasumsi, andai Prabowo-Gibran tampil sebagai pemenang, apakah seluruh komponen rakyat di negeri ini akan menerimanya?
Bagi, pendukung atau pemilih pasangan Nomor 3, tak usah ditanya lagi.
Tapi, seluruh pendukung dan pemilih pasangan Nomor 1 dan 3, pasti menolaknya.
Bukan tak terima kekalahan, tapi permainannya yang tidak fair.
Permainan ini bukan hanya melanggar etika dan prinsip demokrasi, tapi lebih “mikro” lagi: peraturan perundang-undangan.

Sebuah pertanyaan mendasar, apakah sengketa pilpres akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi?

Ada dua kemungkinan. Pertama, secara prosedural, sengketa pilpres memang menjadi ranah MK. Karenanya, harusnya dibawa ke Gedung MK itu, apalagi kini, Anwar Usman tak lagi menjabat sebagai Ketua MK dan tak bisa atau tak boleh ikut mengadili sengketa itu.
Tapi, apakah ketiadaan Anwar akan otomatis menjadikan MK akan menegakkan supremasi hukum?
Masih dipertanyakan.

Keraguan ini – sebagai kemungkinan kedua – menjadikan sebagian besar publik lebih memilih jalur politik (non hukum).
Jalur politik ini menggiring pemandangan, pilpres justru menghasilkan prahara nasional.
Di berbagai daerah dan kota-kota besar akan meledak prahara.
Tidak tertutup kemungkinan, kobaran api membubung tinggi di mana-mana. Bukan lagi terpusat di sentra-sentra jalan utama, tapi justru merembet ke pusat-pusat perdagangan. Jalur perekonomian jadi lumpuh.
Dan perekonomian negara pun terkena imbasnya.

Akankah aparatur kepolisian dan tentara diam?
Tidak.. Mereka pun akan kembali “ganas.”
Indikasinya sudah tersiapkan : mempertahankan personel puncak pada dua institusi itu yang jelas-jelas orang istana.
Namun, apakah kedigdayaan dua alat negara ini tak akan mikir manakala jutaan manusia turun dan melawan aparat yang kini berubah fungsi menjadi alat kekuasaan?

Sekali lagi, untuk tahapan awal, memang satuan keamanan itu akan tetap taat komando (tegak lurus) kepada Panglima Tertinggi.
Namun, tahap-tahap selanjutnya yang memang makin mengobarkan jihad kenegaraan ini akan kewalahan dan mikir secara introspektif.
Secara kuantitatif, jutaan manusia Indonesia ini tak mudah dikuasai oleh jumlah aparat yang terbatas itu, meski bersenjata.

Semangat rakyat akan makin berkobar lagi saat suasana genting dan menelan korban ribuan jiwa,
akan bermunculan kekuatan “lain” yang tidak bisa dilihat secara kasat mata.
Serupa tapi tak sama, tak tertutup kemungkinan akan muncul kekuatan “pasukan putih” seperti yang menampak di Gaza – Palestina.
Inilah potret perlawanan rakyat yang “bertakbir” demi sebuah negara yang tidak boleh jatuh lagi pada pemimpin dzalim.
Sepuluh tahun sudah cukup membuat negeri ini porak-poranda dan menderitakan jutaan rakyat, secara ekonomi, hukum, apalagi sosial-politik.
Negeri “langit” pun sudah tak lagi mentolelir kepada kepemimpin “bumi” yang telah membuat kerusakan massif-ekstensif, termasuk pada alam (lingkungan).

Menganalisa potensi prahara nasional itu, maka hasil piplres yang penuh kecurangan bukan hanya mengantarkan “pesta” revolusi. Tapi, sang pemenang tak akan bisa menikmati hasil pilpres.
Justru, akan semakin menjadi target amuk massa yang berjuta-juta itu.
Nasibnya dipertanyakan, apakah masih bisa hidup di Tanah Air ini, atau justru segera terbang melarikan diri ke negeri pengasingan.

Karena itu, potensi revolusi itu haruslah dicegah atau dihindari.
Simple langkahnya. Yaitu, kembalikan proses politik pilpres dalam aturan yang benar.
Tunduk pada role yang telah ditetapkan Pemerintah dan DPR. TNI, Polri dan ASN committed untuk menegakkan prinsip netralitas.
KPU dan BAWASLU menjalankah pemilu yang bersih, jujur, adil dan tranparan.
Itulah kata kuncinya. Maukah terima kunci itu?

Sang ambisius pasti menolak. Tapi, itulah potret pengkhianat bangsa-negara.
Ia lebih senyum menyaksikan negeri ini hancur-minah.
Dan tampaknya, inilah kehancuran yang didesain. Agar jauh lebih mudah menggadaikannya.
Seolah, agenda besar aneksasi negeri ini dinilai menyelamatkan kepentingan bangsa ini. Hayalan super jahat.
Boleh jadi, lebih jahat dari “makhluk” terkutuk Allah, sang Maha Pencipta alam semesta. Na’udzu billah. [mc]

Bekasi, 7 Desember 2023.
*Agus Wahid, Analis Politik. 

Terpopuler

To Top