Nusantarakini.com, Jakarta –
Realokasi dana pendidikan ke program makan siang gratis adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi. Program ini juga dinilai akan menggagalkan seluruh perencanaan pendidikan yang berorientasi pada pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Jika program ini direalisasi, masa depan bangsa akan makin suram dan jauh dari harapan Indonesia menjadi suatu bangsa yang maju dan bermartabat.
Demikian ditegaskan Dewan Pakar Timnas AMIN, Fahrus Zaman Fadhly menanggapi pernyataan Sekretaris Jenderal TKN Prabowo-Gibran, Nusron Wahid tentang realokasi anggaran pendidikan sebesar Rp. 660 Triliun pada 2024 ke program makan siang dan susu gratis.
“Bila anggaran program makan siang gratis diambil dari 20 persen anggaran pendidikan, indeks pembangunan manusia dipastikan akan anjlok. Rata-rata lama sekolah yang menjadi komponen utama indeks pendidikan akan menurun secara dramatis. Kualitas dan kesejahteraan guru diabaikan. Pembangunan fasilitas dan ruang kelas urung dibangun. Pelatihan guru sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan ditiadakan,” terang Fahrus dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi Nusantarakini.com, Jakarta, Sabtu, (2/12/2023).
“Kuota berbagai jenis beasiswa seperti KIP, LPDP, BPI dan lain-lain akan minim bahkan bisa hilang. Apakah ini yang diinginkan mereka?” tambahnya.
Ide realokasi anggaran pendidikan ini, ia nilai sangat berbahaya. Apabila anggaran pendidikan dialihkan, sumber daya yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seperti perbaikan fasilitas sekolah, pelatihan guru, atau pengembangan kurikulum, pasti akan terganggu.
“Hal ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas pendidikan dan dampak negatifnya terhadap mutu lulusan. Demikian juga akses rakyat pada pendidikan dasar, menengah dan tinggi terbatasi bahkan jauh amat minimal. Saya kira ide ini bukan bertujuan menghadirkan perubahan dan perbaikan, tetapi sebaliknya justru akan menghancurkan sendi-sendi utama transformasi bangsa kita ke depan,” tegasnya.
Fahrus mengungkapkan, ketentuan konstitusi yang mengamanatkan 20 persen anggaran pendidikan adalah hasil perjuangan panjang PGRI, perguruan tinggi LPTK, guru, pengamat, ahli, dan praktisi pendidikan serta anggota parlemen terutama Komisi X DPR RI yang memiliki kepedulian tentang nasib anak bangsa.
“Ide ini jelas-jelas melanggar konstitusi dan sama sekali tak berbasis akal sehat. Program ini hanya mengejar populisme palsu dan pembodohan publik. Kita perlu ingat, bangsa ini berdiri pada 1945 dengan cita-cita mulia yakni pencerdasan kehidupan bangsa. Bila dana pendidikan dikurangi secara signifikan, maka cita-cita pencerdasan bangsa sebagaimana termaktub dalam Mukaddimah UUD 1945 tak akan terwujud,” ungkapnya.
Pihaknya menolak keras gagasan yang tak masuk akal dan inkonstitusional tersebut. Gagasan itu tak berlandaskan pada ide perubahan tapi semata untuk memburu kekuasaan.
“Kami sungguh amat prihatin dengan gagasan tersebut. Ini cermin, elit politik kita terjebak dengan populisme dan pemburuan kekuasaan dan jauh dari sifat kenegarawanan. Publik patut curiga dengan program ini karena tidak masuk akal dan cenderung mengesampingkan makna penting pendidikan bagi pembangunan peradaban suatu bangsa,” ujar Fahrus Zaman Fadhly.
Timnas AMIN mengakui, selama ini banyak pengalokasian anggaran pendidikan yang tidak berorientasi langsung pada peningkatan akses, mutu dan pemerataan pendidikan. “Ini karena policy makers dan pemangku kepentingan utama pendidikan, tidak paham tentang masalah pendidikan. Hal ini mengakibatkan pengalokasian anggaran pendidikan tidak diprioritaskan pada program-program penting yang secara langsung bisa mengatasi berbagai problem pendidikan. Program-program yang disusun bersifat bongkar pasang dan berbasis proyek yang berakibat pada pemborosan dan inefisiensi anggaran,” bebernya.
Fahrus Zaman Fadhly menegaskan anggaran pendidikan yang mencukupi adalah kunci untuk memberikan akses yang adil dan setara ke pendidikan bagi semua warga negara, tanpa memandang latar belakang ekonomi, sosial, atau geografis mereka. Anggaran yang cukup memungkinkan penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai di berbagai wilayah, termasuk di daerah pedesaan atau terpencil.
“Anggaran pendidikan yang memadai memungkinkan pengembangan kurikulum yang relevan, pelatihan guru yang berkualitas, pembaruan teknologi pendidikan, dan sumber daya pembelajaran yang memadai. Semua ini berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan. Pendidikan adalah investasi dalam pengembangan sumber daya manusia suatu negara. Anggaran yang cukup untuk pendidikan membantu menciptakan tenaga kerja yang lebih terampil dan terdidik, yang pada gilirannya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial,” jelas mantan aktivis mahasiswa 98 ini.
Pendidikan yang didukung oleh anggaran yang memadai membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah individu, yang penting untuk kemajuan sosial dan ekonomi. Anggaran yang diarahkan dengan baik dapat membantu mengurangi kesenjangan dalam akses ke pendidikan. Program bantuan keuangan dan dukungan khusus untuk kelompok-kelompok rentan dapat membantu mengatasi kesenjangan sosial.
“Anggaran juga mendukung penelitian dan inovasi dalam pendidikan. Ini penting untuk terus memperbarui metode pengajaran dan kurikulum, serta mengikuti perkembangan teknologi,” jelasnya.
Ia menambahkan, pengalokasian dana yang memadai dan bijaksana untuk pendidikan merupakan investasi dalam masa depan suatu negara, baik dari segi pertumbuhan ekonomi maupun perkembangan sosial. Oleh karena itu, banyak pemerintah dan organisasi internasional berkomitmen untuk meningkatkan pengeluaran pendidikan guna memastikan akses, kualitas, dan kesetaraan dalam pendidikan. [mc]