Satire

Relawan, Kesadaran atau Tuntutan Penghargaan?

Kepuasan relawan itu saat presiden terpilih yang didukungnya mampu mengemban amanat rakyat. Presiden yang mampu menghadirkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya, menjadi kebahagiaan yang hakiki dan sejati relawan pendukungnya. Lalu kenapa gundah dan belingsatan dengan eksistensi dalam menghadapi dinamika capres-cawapres?

Nusantarakini.com, Bekasi – 

Sedikit sekali orang yang menganggap pekerjaan tak ada hubungannya dengan rezeki. Pekerjaan menjadi kewajiban atau harga diri seseorang di hadapan Tuhan. Sedangkan rezeki itu menjadi ranah Tuhan, kepada siapapun diberikan rezeki itu menjadi otoritasNya. Manusia dan hewan sekalipun, tak peduli bagaimanapun keadaannya, selalu mendapat rezeki karena Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Sulit dibantah, loyalitas dan militansi hanya bisa didapat dari pemberian kompensasi. Taat pada aturan dan tunduk pada atasan maka akan diganjar dengan gaji dan fasilitas lainnya. Setiap hari mengikuti regulasi, menjalani rutinitas bahkan lebih dari separuh umur yang dijalani dalam hidupnya. Begitulah yang terjadi pada karyawan dan semua profesi yang komersil. Lalu bagaimana dengan relawan terutama pada hajatan besar seperti pilpres? Punyakah loyalitas dan militansi tanpa kompensasi, atau tak ubahnya dengan karyawan yang lazimnya memiliki penghasilan.

Sebagian profesi atau status sosial memang tak bisa dipisahkan dari dualisme manfaat. Di satu sisi menjadi kewajiban, di lain sisi perlu pendapatan atau penghasilan. Bahkan untuk profesi atau pekerjaan yang dianggap mulia dan tinggi derajatnya sekalipun, tak bisa dilepaskan dari yang namanya upah. Beragam pekerjaan atau profesi yang mulia mulai dari guru, dosen, ASN, TNI-Polri, menteri dan Presiden, hingga ulama, pendeta serta pemuka agama lainnya tak bisa lepas dari gaji atau penghasilan.

Semakin tinggi derajat pekerjaan seseorang biasanya semakin tinggi gajinya atau fasilitasnya, semua mendapatkan kompensasinya. Penjelasan klasik sekaligus mutakhir yang tak bisa memisahkan pekerjaan dan gaji, karena manusia butuh hidup. Untuk itu butuh pekerjaan agar mendapat uang dan dengan usng selanjutnya dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Setiap orang pada akhirnya harus berhadapan dengan kondisi sarat pergumulan mengadu kesadaran ideal spiritual dan kesadaran rasional materil. Menjadi egois atau altruis. Antara prioritas diri atau mengutamakan banyak orang, atau seperti mana yang lebih dulu dikejar antara kehidupan dunia dan akhirat.

Kemudian bagaimana dengan orang-orang yang sudah terlanjur menggeluti aktivitas atau kegiatan yang erat dengan kepentingan publik namun tak memiliki regulasi yang mengatur sistem penggajian atau penghasilannya. Pekerjaan atau kegiatan yang banyak mengurusi khalayak, mulai dari negara dan bangsa hingga para aparaturnya, mulai dari rakyat jelata hingga politisi, gubernur, menteri serta presiden. Mereka yang memiliki kegiatan dan bersentuhan dengan kepentingan publik namun dianggap bukan profesi sehingga tak memiliki gaji atau penghasilan. Tak ada kelayakan dari kegiatan itu untuk diganjar kompensasi ekonomi.

Menarik membahas relawan atau aktivis pergerakan yang cenderung kental dengan urusan idealisme sekaligus pragmatis. Kerap muncul saat perhelatan suksesi top jabatan dan geliat transisi kekuasaan. Para relawan yang selama ini identik dengan ketulusan dan kerja-kerja tanpa pamrih, lebih banyak mengambil inisiatif dan pro aktif terlibat dalam kontestasi politik, mulai dari pileg, pilkada hingga pilpres. Tanpa tendensi apapun, tanpa orientasi apapun, yang menguat hanya karena keyakinan figur pemimpin yang didukungnya mampu membawa perubahan dan kebaikan bagi rakyat, negara dan bangsa.

Belakangan mulai terjadi pergeseran, relawan atau aktivis pergerakan mulai terjebak pada pragmatisme politik. Tidak sekadar menyalurkan idealismenya, banyak relawan dan aktivis pergerakan mulai muncul syahwat menikmati kue kekuasaan dan menjadi bagian dari sistem pemerintahan. Awalnya eksistensi, perlahan mulai tumbuh benih ambisi, selanjutnya mengincar posisi. Miris, tatkala melihat fenomena relawan atau aktivis pergerakan mulai berebut dan saling sikut untuk meraih jabatan. “Jangan munafik!”, diksi yang sering terlontar dari relawan dan aktivis pergerakan, mungkin karena nikmatnya kekuasaan dan ingin berada dekat atau di dalamnya, mungkin juga karena sudah tak punya stamina dan tak sanggup intim berlama-lama hidup dengan kemiskinan.

Pada akhirnya hanya Tuhan dan relawan itu sendiri yang tahu, apakah masih tersisa ruang idealisme dalam dirinya, atau materialisme mulai sesak menjalar memenuhi rongga sanubarinya? Setidaknya ada jejak-jejak pergulatan batin yang membekas pada kesadaran pikiran, mental dan sikap bahwasanya yang hak adalah hak, yang batil tetaplah batil, terlepas ia berada di luar ataupun di dalam sistem kekuasaan. Termasuk memaknai kehadiran relawan, sebuah kesadaran atau hanya tuntutan penghargaan.

Manusia tanpa spiritualitas yang tinggi dan melekat kuat dalam jiwanya, cenderung haus jabatan dan kekuasaan. Ia tak ubahnya binatang dengan kemampuan profesional. [mc]

Bekasi Kota Patriot, 9 Jumadil Awal 1445 H/23 November 2023.

*Yusuf Blegur, Ketua Umum Relawan BroNies, Mantan Presidium GMNI. 

Terpopuler

To Top