Nusantarakini.com, Jakarta –
Hari ini, Sabtu (21/10) jika tidak ada halangan yang sangat, rencana diumumkannya bakal calon wakil presiden (Bacawapres) pendamping Prabowo Subianto. Kemungkinan diumumkan setelah Rapimnas Partai Golkar hari ini, yang mengumumkan siapa cawapres yang dipilihnya. Konon pada Rapimnas itu pula Gibran Rakabuming Raka diputuskan memakai jaket kuning (Golkar), dan otomatis menanggalkan baju merah (PDIP), yang sebelumnya dipakainya. Itu artinya Gibran resmi menjadi kader Golkar.
Itu artinya secara resmi Gibran telah meninggalkan PDIP, dan bergabung dengan Golkar. Bisa pula putusan Rapimnas itu juga mendaulat Gibran sebagai Bacawapres yang diusung Golkar. Sebelumnya yang digadang sebagai cawapres dari Golkar adalah ketua umumnya, Airlangga Hartarto. Jangan tanya mengapa itu bisa terjadi, seorang Ketua Umum Golkar bisa tergantikan oleh kader yang baru bergabung, Gibran Rakabuming Raka.
Gibran menjadi kader yang diistimewakan, itu tidak lain karena ia anak Presiden Joko Widodo (Jokowi), sehingga kemustahilan yang tak bisa dinalar itu bisa dijelaskan tanpa perlu perdebatan keberatan dari eksponen Golkar lainnya. Semua menjadi sepakat sampai tingkat ketidakmungkinan menjadi dimungkinkan. Buat anak Jokowi tak ada yang tidak mungkin.
Sebelumnya, sang adik Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, mendapat keistimewaan yang cuma perlu 2 hari menjadi anggota Partai Solidaritas Indonesia (PSI) langsung didaulat menjadi Ketua Umumnya. Istimewanya lagi, Kaesang diangkat sebagai Ketua Umum PSI cukup lewat pertemuan kopi darat beberapa pengurusnya dengan Kaesang. Semua tampak seperti main-main, bahkan tidak perduli melanggar AD/ART partai itu tentang keanggotaan. Terpenting dapat ketua umum anak presiden.
PSI memanglah partai gurem, pantas jika berharap banyak dengan kehadiran Kaesang. Berharap ada tuah Jokowi di sana, dan bisa merasakan nikmatnya masuk sebagai penghuni Senayan. Tapi menjadi heran jika Golkar sebagai partai 2 besar, ikut memberi karpet merah buat kader barunya, dan lalu menjadikannya wakil partai sebagai cawapres yang disandingkan dengan Prabowo Subianto. Golkar partai besar dan punya jam terbang tinggi seperti tak punya marwah sebagai partai besar. PSI dan Golkar dalam konteks yang sama, seperti perlu menampakkan citra sebagai partai yang berkhidmat pada Jokowi.
Sekali lagi, itu jika benar, Golkar mendorong Gibran menjadi cawapres mendampingi Prabowo, itu pastilah mengikuti arahan Jokowi langsung tidak langsung menafsir apa yang diinginkan Jokowi, dan itu tentang di-cawapreskannya Gibran. Itu pun tentu disadari Jokowi, bahwa keinginannya itu akan bersinggungan dengan PDIP, yang telah resmi mendeklarasikan pencalonan Ganjar Pranowo dan Prof Mahfud MD.
Konsekuensi untuk Jokowi, yang sebagai petugas partai (PDIP), itu tentu sudah diperhitungkannya dengan matang. Diperhitungkan segala konsekuensi yang bakal diterimanya. Dan, jika Gibran sudah resmi disandingkan dengan Prabowo, maka mustahil Jokowi bisa berkelit bermain dua kaki di antara Prabowo dan Ganjar, yang selama ini mampu melenakan PDIP. Tergagap setelah permainan Jokowi dengan “Politik Dinasti” nyaris disempurnakan.
Jangan tanya lagi bagaimana rasa kecewa seorang Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP pada Jokowi yang dibesarkannya dengan “kasih sayang” berlebih. Memberi tiket yang menjadikannya Wali Kota Solo (2 tiket/2 periode), Gubernur DKI Jakarta (1 tiket), dan lalu Presiden RI (2 tiket/2 periode). Artinya, 5 tiket diberikan untuk Jokowi. Tidak cukup di situ, PDIP memberi juga tiket pada Gibran sebagai Wali Kota Solo (1 tiket), dan juga pada anak menantu Jokowi, Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan (1 tiket). Total 7 tiket diberikan pada Jokowi dan keluarga.
Tiba-tiba di ujung pemerintahan Jokowi, suguhan yang diberikan pada PDIP, seperti apa yang akan kita lihat–sekali lagi jika Gibran jadi diusung Golkar atau dengan cara apa pun itu, Gibran menjadi pendamping Prabowo–bagaimana Megawati/PDIP menyikapinya. Pastilah penyikapan yang serius, dan tidak mustahil pecah kongsi bisa saja terjadi. Tapi apakah sampai pemecatan pada Jokowi akan dilakukan, sepertinya itu tidak akan “berani” dilakukan. Sebagai petugas partai, Jokowi tentu berbeda dengan Budiman Sudjatmiko yang sama-sama petugas partai, tapi beda nasib karena beda status sosial. Budiman Sudjatmiko yang terang-terangan mendukung Prabowo langsung dipecat sebagai anggota PDIP.
Perang memang sedang dimulai. Perang yang pastinya menyertakan segenap elemen istana di satu pihak, dan itu yang akan diantisipasi Megawati agar tidak menambah kepedihan yang bisa saja dimainkan Jokowi–kasus yang menjerat menantu Megawati (Kasus BTS), Happy Hapsoro, dan bisa jadi kasus lainnya akan dibuat terang benderang–agaknya itu yang mengerem Megawati untuk tidak memperlakukan Jokowi dengan pemecatan. Tak mungkin pula Megawati akan menarik para menterinya dari kabinet Indonesia Maju, dan menggelorakan semangat meng-impeach di parlemen dengan mengajak partai lain, itu hal mustahil. Ajakan yang tak mungkin disambut, karena itu persoalan internal PDIP dengan petugas partainya.
Menghadapi petugas partai yang dibesarkannya, dan yang saat ini tengah memiliki seluruh perangkat yang bisa mengobrak-abrik kemapanan PDIP, itu yang tak mungkin dihadapi PDIP saat ini. Maka memilih sikap seperti biasa-biasa saja melihat “tusukan” Jokowi, itu sepertinya cara yang akan dilakukan PDIP. Seperti perang dingin saja. Tapi tentu tidak membiarkan selamanya, tapi lebih memilih waktu yang tepat untuk membalaskan dahaga kemarahan Mamak Megawati, tentu dengan caranya. Dan, itu tidak penting untuk dianalisa. Biarkan saja… [mc]
*Ady Amar, Kolumnis.