Nusantarakini.com, New York –
Saya yakin jika saja seseorang memilki akal sehat dan hati nurani pastinya akan menerima kenyataan jika dalam konflik Palestina-Israel ini pihak yang mustadh’afin (yang lemah) dan mazhlumin (terzholimi) adalah bangsa Palestina. Mereka adalah korban penjajahan lebih 70 tahun; tanah, rumah, bahkan nyawa sedemikian banyak yang telah korban. Sementara dalam setiap peristiwa yang terjadi selalu dipaksa dan dipojokkan untuk berada di posisi kejahatan.
Saya tidak ingin lagi merincikan penderitaan bangsa Palestina dari masa ke masa. Sejak tahun 1947 (melalui resolusi SMU PBB no. 181) hingga kini semua telah menjadi catatan kelam sejarah. Bagaimana wilayah Palestina di awal Israel diberikan sebongkah tanah oleh Inggris sedemikian luas dan subur. Kehidupan bangsa Palestina sangat maju dan makmur karena mereka termasuk bangsa yang kepintarannya di atas rata-rata. Tapi setelah sekian lama terjajah bangsa Palestina dipaksa memposisika diri seolah bangsa terbelakang, kurang terdidik, bahkan biadab.
Semua itu seharusnya menjadikan mereka yang berakal sehat dan punya hati nurani mengakui jika bangsa Palestina memang bangsa yang dilemahkan (mestadh’afii) dan terzholimi (mazhlumin). Dan karenanya dengan akal sehat dan hati nurani pula hendaknya bangsa Palestina mendapat perlakuan sebagai mustadh’afin dan mazhlumin, baik secara moral keagamaan maupun kemanusiaan (human moral ground).
Berikut ini beberapa argumentasi yang mendasar Kenapa bangsa Palestina harus mendapat dukungan sebagai pihak al-mustadh’afin al-mazhlumi:
Satu, karena pertimbangan dasar kemuliaan manusia (human dignity). Baik dalam pandangan Islam maupun atas dasar nilai Universal kemanusiaan “human dignity” atau kemuliaan manusia menjadi hak yang sangat mendasar (basic human rights).
Dalam pandangan Islam diyakini bahwa kemuliaan manusia (karomah insaniyah) secara alami merupakan pemberian Allah yang sangat mendasar. “Dan Sungguh Kami (Allah) telah muliakan anak cucu Adam” (Al-Qur’an). Dan dalam tatanan Deklarasi Universal HAM juga mendapat tempat yang mendasar.
Dua, salah satu bentuk kemuliaan manusia adalah kebebasan (freedom) yang Allah karuniakan kepada mereka. Kita yakini bahwa Allah memberikan kebebasan kepada manusia melalui deklarasi Tauhid “laa ilaaha illallah.” Esensi dasar dari kalimah Tauhid adalah “kebebasan” yang bertanggung jawab. Manusia bebas tapi punya tanggung jawab kepada Tuhan (illallah).
Jaminan kebebasan (freedom) juga dipastikan melalui Deklarasi Universal HAM yang dideklarasikan di tahun 1948, berabad-abad setelah Islam mendeklarasikan melalui firman Ilahi dan lisan Rasulullah SAW.
Tiga, karena tuntutan keadilan dan kesetaraan. Menjadi tuntutan alami manusia untuk diperlakukan secara adil dan setara (equal). Pada konteks ini pastinya saja pasti akan mengakui kenyataan bahwa bangsa Palestina telah diperlakukan secara sangat tidak adil dan diskriminatif. Baik oleh dunia internasional, khususnya kalangan negara-negara besar yang mengaku demokratis dan beradab (civilized) dan media.
Keadilan dalam pandangan Islam menjadi sangat mendasar. Bahkan menjadi salah satu karakteristik ketakwaan yang mendasar: “berbuat adillah karena itu dekat kepada ketakwaan”. Dalam nilai kemanusiaan keadilan menjadi esensi. Sehingga dalam Konstitusi banyak negara, termasuk Amerika (justice for all) dan Indonesia (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Empat, perintah amar ma’ruf nahi mungkar. Perintah menyeru kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran menjadi sangat mendasar dalam ajaran Islam. Bahkan sekiranya ada rukun Islam keenam, perintah inilah yang menjadi rukunnya. Ma’ruf atau kebaikan tertinggi dalam ajaran Islam adalah kebebasan yang diekspresikan dalam ketauhidan. Sebaliknya kemungkaran terbesar adalah isti‘bad (penyembahan selain kepada Allah. Penjajahan adalah bentuk perlakuan perbudakan kepada sesama dan merupakan kemungkaran yang harus dihapuskan.
Lima, karena memang panggilan ukhuwah. Dalam hal ini bisa karena ukhuwah Islamiyah. Tapi bisa juga karena ukhuwah insaniyah/basyariyah. Membela kaum mustadh’afin seperti bangsa Palestina dan mereka yang termarjinalkan di berbagai belahan dunia adalah bagian dari komitmen ukhuwah, baik karena dasar ukhuwah Islamiyah maupun karena dasar ukhuwah insaniyah.
Yang ingin saya simpulkan sebenarnya adalah bahwa pembelaan kepada kaum mustadh’afin seperti bangsa Palestina bukan sekedar karena emosi atau sentimen buta. Tapi memang memiliki dasar kuat pada nilai-nilai (values) yang diyakini, baik pada aspek keagamaan maupun kemanusiaan. Dan karenanya tidak harus Muslim untuk anda membela Palestina. Cukup sadar diri sebagai manusia.
Tapi jika anda Muslim dan (pastinya) manusia, maka kewajiban itu menjadi sempurna pada kedua sisi nilai (value); keagamaan dan kemanusiaan. Terlebih lagi bagi bangsa Indonesia. Atas mereka ada kewajiban moral sekaligus kewajiban konsitusi yang mengharuskan mereka untuk ikut berjuang menghapuskan penjajahan di atas dunia ini. Dan lebih khusus lagi bangsa Indonesia punya utang sejarah. Palestina adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
Tentu harapannya bahwa dukungan itu bukan sekedar dengan kata-kata dan retorika. Tapi dengan aksi nyata yang memungkinkan. Bagi pemerintah seharusnya dari awal menyerukan pertemuan darurat tingkat tinggi OKI atau negara-negara Islam untuk memberikan dukungan nyata ke Palestina. Salah satunya melalui pressure politik dan dagang. Sayang hingga kini pertemuan darurat negara-negara Islam itu belum ada. Seolah pembantaian ribuan rakyat sipil itu hal biasa.
Bagi masyarakat luas, salah satu yang bisa dilakukan dan penting saat ini adalah mendoakan Saudara-Saudara kita di Palestina. Semoga Allah kuatkan dan karuniakan kemenangan. Dan yang meninggal semoga diterima ke dalam golongan hamba-hambaNya yang syuhada. Amin! [mc]
Kota Dunia, 14 Oktober 2023
*Utteng Al-Kajangi, Putra Kajang di Ujung Dunia.