Nusantarakini.com, Manhattan City –
Salah satu realita kehidupan adalah kesulitan dan tantangan yang takkan berakhir. Seringkali di saat kita telah sampai pada fase tertentu dari hidup ini kita menyangka kesulitan dan tantangan itu telah selesai. Kenyataannya setiap fase kehidupan itu punya tantangannya tersendiri.
Para akhirnya kehidupan harus dipahami sebagai “tantangan” (challenge). Hidup itu adalah tantangan. Dan kita hidup juga untuk tertantang. Mungkin itulah salah satu makna dari tangisan setiap bayi di saat terlahir ke atas dunia ini. Selama sembilan bulan merasakan kenyamanan dalam rahim sang ibu. Kini harus keluar untuk menghadapi tantangan sepanjang hayatnya.
Dalam dua tiga bulan terakhir ini misalnya, saya pribadi merasakan betapa hidup itu penuh dengan tantangan. Realitanya apa yang saya coba perjuangkan bukan untuk kepentingan pribadi. Melainkan bagian dari perjuangan di jalan dakwah. Upaya mewujudkan pondok pesantren yang masih kita rintis di Amerika Serikat (USA). Saya merasakan betapa dunia itu sering sumpek dan terasa tidak bersahabat. Ada sahabat yang menyambut dengan senyuman. Ada pula yang menjaga jarak dengan kecurigaan. Seolah saya mengejar sesuatu untuk kepentingan pribadi.
Baru kali ini saya merasakan betapa mengharap, apalagi “mengemis” itu pahit dan menyakitkan (painful). Tiba-tiba saja perasaan minder bahkan ada semacam kehinaan yang terasa mencengkeram.
Bahkan seolah digerototi oleh perasaan bersalah. Menjadikan sebagian orang khawatir bahkan menimbulkan kecurigaan yang tidak perlu.
Dalam prosesnya menghadapi tantangan hidup seringkali menjadikan dada kita terasa terhimpit dan sesak. Pikiran berkecamuk. Ragam kekhawatiran dan kegalauan terasa merampok ketenangan dan ketentraman hidup. Tidur di malam hari tidak lagi nyenyak. Bahkan berdampak pada kesehatan fisik, mental dan pikiran (well being).
Namun di sisi lain, semua itu menyadarkan kita tentang kenyataan bahwa tak semua orang di sekitar kita harus tahu segala permasalahan dan kesulitan yang kita hadapi. Bahkan mereka yang seringkali dipersepsikan orang yang dekat, bahkan terdekat. Ada permasalahan dan kesulitan hidup yang hanya Allah dan diri kita sendiri yang tahu. Biarlah itu menjadi rahasia kita dengan sang Pencipta.
Di momen-momen seperti itulah kita diingatkan dan tersadarkan oleh keterbatasan segalanya. Keterbatasan diri kita sendiri dan keterbatasan semua yang ada di sekitar kita. Mereka tak tahu, bahkan tak peduli dengan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan kita.
Semua ini sekaligus menyadarkan kita akan Dia Yang Qadiir. Dia Yang Maha Menguasai alam semesta tiada batas. Di saat orang lain tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahkan di saat orang lain menjaga jarak seraya menumbuhkan ragam kecurigaan. Dia, Allah Yang Maha Qariib, justeru sedang melambai mengajak hamba-hambaNya yang takut kepadaNya untuk bersegera dan semakin mendekat.
Dia yang tidak pernah menjauh. Dia yang selalu memberikan jalan keluar. Karena memang Dia yang punya jalan-jalan kemudahan itu. Dia yang menjanjikan solusi kepada mereka yang terperangkap oleh permasalahan hidup. Dia yang berkuasa membuka pintu-pintu kemudahan bagi mereka yang kesulitan.
Pengalaman hidup banyak mengajarkan kita bahwa berharap dari makhluk hanya akan menjatuhkan kehormatan dan mendatangkan kehinaan. Berharap dan meminta kepada makhluk hanya semakin menumbuhkan rasa minder dan tak percaya diri. Sebaliknya berharap kepada Allah itu pasti dan mendatangkan kemuliaan. Maka jika meminta, mintalah kepada Allah. Jika berharap, berharaplah kepadaNya.
Allah tempat kita kembali. Hanya padaNya semata segala cita dan harapan kita gantungkan. KepadaNya kita bertawakkal dan kepadaNya pula kita semua akan kembali.
“Mengharap kepada makhluk mengecewakan dan menghinakan. Mengharap kepada Allah memuaskan dan memuliakan”. Yakinlah! [mc]
Manhattan City, 9 Agustus 2023.
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.