Tausiah

As-Sholatu al-Ibrahimiyah dan Bangsa Besar Itu

Nusantarakini.com, Manhattan – 

Salah satu tugas sehari-hari saya saat ini adalah memberikan pelayanan spiritual (spiritual care) kepada para pasien dan pekerja rumah sakit (Dokter, perawat,dll) di rumah sakit Bellevue di kota New York. Rumah sakit ini adalah rumah sakit pemerintah terbesar dengan jumlah pasien tidak pernah kurang dari 800 orang setiap harinya.

Selain tugas di atas, saya juga memimpin masjid rumah sakit yang cukup besar, memuat lebih 200 orang. Selain para Dokter, perawat dan pegawai rumah sakit, jamaah Masjid ini juga datang dari rumah sakit New York dan Tilsh. Dua rumah sakit besar lainnya yang terletak tidak jauh dari Bellevue.

Yang ingin saya sampaikan kali ini adalah bahwa kami pelayan spiritual, biasa digelari dengan “spiritual doctor” (Dokter kerohaniaan) terdiri dari ragam latar belakang agama. Ada Pendeta Katolik, Kristen Protestan, Rabbi Yahudi, bahkan ada yang disebut “humanis spiritual care provider” (pelayan kerohaniaan humanis). Staf humanis ini mengaku tidak percaya Tuhan (atheis) dan tidak memiliki afiliasi agama.

Walaupun kami berbeda, bahkan dalam hal yang sangat prinsip, kami semua merasa bertugas memberikan pelayanan yang sama dan terbaik bagi kemanusiaan (humanity). Bagi kami yang beragama tentu pelayanan ini melalui tuntunan agama yang diyakini masing-masing.

Yang menarik adalah setiap hari kami berkumpul selama 30 menit untuk berdiskusi dan sharing pengalaman dalam melakukan tugas, tentu sesuai perpektif kami masing-masing. Namun tidak jarang diskusi itu menyentuh hal-hal yang bersifat “personal” masing-masing agama. Bahwa pada setiap agama itu ada hal-hal unik yang tidak bahkan berlawanan dengan agama dan keyakinan orang lain.

Sebagai misal, saya sebagai seorang Muslim tentu ketika menyapa pasien atau petugas rumah sakit Katolik tidak akan memberikan simbol-simbol Katolik. Ketika mendoakan untuk kesembuhan seorang Katolik tidak mungkin saya ditutup dengan “atas nama Yesus” misalnya. Karena hal ini tidak sejalan dengan keyakinan saya.

Demikian sebaliknya Pendeta Katolik ketika menjenguk pasien Muslim maka dia harus sensitif dan tidak memperlihatkan simbol-simbol agama Katolik. Kalaupun mendoakan untuk kesembuhan maka doa itu tidak boleh dikaitkan dengan keyakinannya dengan menutup “atas nama Yesus” misalnya.

Untuk diketahui pelayanan yang kami berikan tidak terbatas kepada sesama agama. Tapi untuk semua tanpa batas. Batasannya hanya ada pada sentifitas dan respect pada agama dan keyakinan orang lain.

Namun tidak jarang terjadi hal-hal lucu tapi menarik. Dua hari yang lalu misalnya, saya menjenguk seorang pasien, yang menurut daftar pasien rumah sakit pasien ini beragama Kristen Evangelical. Dalam benak saya pastinya saya akan ketemu dengan seseorang yang fanatik dan kuat dalam agama Kristiani.

Ketika saya masuk dalam ruangannya sambil menyapa: “good morning” ternyata orang yang cukup senior itu dengan sangat ramah menyapa kembali “good morning”.

Setelah basa basi dengan “how is your day” (Apa Kabarmu hari ini?) dan seterusnya, saya mengenalkan diri sebagai seorang Muslim dan Imam. Orang itu sedikit terkejut, tapi tetap ramah dan tersenyum. “Nice to meet you” sapanya.

Tapi yang mengejutkan dia mengenalkan diri sebagai Reverend atau Pendeta senior Kristiani. Singkat cerita, terjadilah Dialog yang cukup panjang dan luas. Masing-masing menyampaikan sikap, tanpa tendensi memaksakan pendapat dan keyakinan.

Salah satu hal yang kita bicarakan adalah posisi Ibrahim dalam keyakinan Islam dan Kristiani. Pendeta itu bersikukuh bahwa Ibrahim itu meyakini keyakinannya. Tentu dalam artian bahwa Ibrahim itu meyakini trinitas (tiga tapi satu, satu tapi tiga). Saya tentu menyampaikan perspektif Islam, baik dari sudut sejarah maupun informasi Al-Qur’an.

Seperti yang diperkirakan kami masing-masing bertahan dan kokoh dengan argumentasi. Yang terjadi memang bukan sekedar percakapan. Tapi debat kecil namun dengan kedewasaan dan penuh kesantunan. Orang ini Kebetulan keturunan Irlandia Utara (Northern Island) yang pada umumnya membela Palestina.

Namun ada satu hal yang saya tanyakan dan beliau tidak sanggup jawab. Pertanyaan itu adalah tentang tiga ayat Injil di Kitab Genesis (Genesis 12: 1-3) sebagai berikut:

“The Lord has said to Abraham: go from your country, your people, your father’s house hold to the land I will show you. I will make into a great nation, and I will bless you. I will bless those who bless you, and whoever curses you I will curse; and all people on earth will be blessed through you.”

Pertanyaan saya sederhana. Kemana Tuhan menyuruh Ibrahim berangkat dan siapa bangsa besar itu yang diberkahi Tuhan itu? Lalu siapa bangsa (umat) yang bless (bersholawat) kepada Ibrahim dan Tuhan memberkahi mereka?

Pertanyaan seanjutnya: Apakah umat Kristiani saat ini menyampaikan pemberkatan atau dalam bahasa Islam “bersholawat” kepada Ibrahim?

Sang Pendeta itu bingung dan hanya bisa terdiam. Saya hanya menyampaikan bahwa kami umat Islam punya “ucapan keberkahan” (a blessing statement atau sholawat) khusus untuk dua nabi dan Rasul tercinta; Ibrahim dan Muhammad. Itulah yang kami sebut dengan “as-sholatu al-ibrahimiyah”. Dan kami ucapkan ini di setiap Sholat. Bahkan setiap kami bersholawat kepada baginda Muhammad, kami pada umumnya juga bersholawat kepada Ibrahim AS.

So, according to your honest judgment, who this nation on whom Allah bless because they bless Ibrahim?

Sang Pendeta itu hanya tersenyum. Kali ini dengan senyuman yang sedikit kecut, bahkan mungkin sebuah senyuman pahit (bitter smile). Semoga Allah memberikan hidayahNya. Amin! [mc]

Manhattan, 10 Agustus 2023.

* Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. 

Terpopuler

To Top