NUSANTARAKINI.COM _ Jajak pendapat publik lazim bahkan di luar musim pemilihan. Beberapa percaya peningkatan pengumpulan opini publik adalah karena meningkatnya dukungan dari masyarakat.
Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) khususnya, lembaga survei sering mengeluarkan hasil jajak pendapat bagi para tokoh politik untuk mengetahui elektabilitas mereka.
Semua lembaga survei memiliki hasil yang berbeda. Misalnya, saat satu lembaga survei justru merilis nilai elektabilitas satu tokoh cukup tinggi, namun di lembaga survei lainnya, justru tokoh tersebut nilai elektabilitasnya malah rendah.
Ada anggapan di masyarakat, ini terjadi karena lembaga survei itu dibayar. Benarkah demikian?
Dendy Susianto, Direktur Lembaga Konsultan Politik Indonesia StarPoll mengatakan, survei itu sebuah metode ilmiah untuk melihat fenomena masyarakat dengan cara mengambil sampling, yang akhirnya digeneralisasi. Menurut Dendy, sampling itu guna melihat secara keseluruhan.
“Survei itu ilmiah, makanya tidak bisa satu tambah satu sama dengan dua. Karena ada margin of error yang diterapkan, sehingga walau dikatakan sepuluh, tapi punya tingkat kesalahan mungkin sembilan” kata Dendy pada Selasa (6/12/2022).
Dendy menjelaskan, walau begitu, survei itu tetap akurat. Lalu, kenapa hasil survei dari tiap lembaga survei berbeda? Begini penjelasannya.
“Pertama, survei itu menggunakan margin of errror yang berbeda. Survei yang dilakukan, misalnya mengambil margin of error satu persen, sementara survei yang lain mengambil lima persen, jelas hasilnya jadi berbeda,” jelasnya.
Yang kedua, Dendy menyampaikan, adalah waktu pengambilannya.
“Kalau surveinya di waktu yang sama ya mungkin bisa sama. Tapi, kalau waktunya berbeda, yang satu sebulan lalu, yang sekarang kemungkinan besar berbeda hasilnya,” tambahnya.
Dendy menjelaskan, ketika dinamika sosial politiknya sedang kencang-kencangnya berubah, itu membuat kemungkinan hasil survei berbeda.
Kemudian yang ketiga, dia menuturkan, yaitu non sampling error.
“Non sampling error itu bisa terjadi juga ketika relawan atau suveyor yang mengambil data di lapangan tidak mengikuti kaidah-kaidah metode yang sudah ditetapkan oleh penelitinya. Yang diwawancara, ternyata di bawah pohon, itu membuat non sampling error,” tuturnya.
Dia menambahkan, bisa juga terjadi karena kuisionernya mengarahkan.
“Kuisionernya, misalnya, ‘Kamu makannya 5 kali sehari kan?’, itu mengarahkan. Membuat survei hasilnya bisa salah dan yang sering terjadi, perbedaan hasil survei begitu,” ujarnya.