NUSANTARAKINI – di pinggir Bengawan Solo, Desa Cangaan di Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro, ternyata menyimpan sejarah gemilang di masa lalunya.
Hal itu terungkap dalam buku yang ditulis oleh Almarhum H.M. Sururi Djufri yang berjudul Sejarah Desa Cangaan, Perkembangan Keagamaan, Ekonomi, dan Pendidikan.
Buku tersebut baru saja diluncurkan oleh keluarga penulis pada Senin (21/11/2022) yang bertepatan dengan peringatan 40 hari wafatnya Hj. Ummi Muyassaroh, istri dari penulis.
Salah satu putra Alm. H.M. Sururi Djufri, M. Ridwan mengatakan peluncuran buku tersebut bertujuan agar masyarakat Desa Cangaan mengetahui sejarah desa.
“Peluncuran buku Sejarah Desa Cangaan ini dimaksudkan agar masyarakat setempat dapat mengetahui dan mengambil pelajaran dari jejak-jejak perisitiwa yang pernah terjadi di desa ini,” kata Ridwan pada Kamis (24/11/2022).
Ridwan menjelaskan buku yang ditulis oleh almarhum terdiri dari empat bab. Bab pertama membahas tentang jejak sejarah desa. Bab kedua membahas tentang perkembangan keagamaan.
“Kemudian bab keempat membahas tentang pasang surut ekonomi desa, dan bagian keempat membahas tentang perkembangan pendidikan desa,” tambahnya.
Buku yang ditulis oleh Alm. H. M. Sururi tersebut mengungkap keberadaan masjid tertua di Kabupaten Bojonegoro, yaitu Masjid Jami’ Nurul Huda. Masjid tersebut didirikan oleh Ki Wiroyudo pada tahun 1775 Masehi.
Ki Wiroyudo sendiri merupakan prajurit Solo yang melarikan diri dari kejaran tentara Belanda. Dengan menggunakan perahu getek, ia menyusuri Sungai Bengawan Solo hingga kemudian sampai di Desa Cangaan.
Selain itu, buku tersebut juga memuat fakta menarik tentang perkembangan ekonomi desa. Disebutkan bahwa Desa Cangaan dulu merupakan pusat perdagangan tembakau.
Bahkan, saking ramainya perdagangan tembakau pada masa itu, Alm. H. M. Sururi menyebut “orang berlalu lalang sehingga tidak tampak ada rumput yang bisa tumbuh di pinggir jalan”.
Ramainya perdagangan tembakau tidak lepas dari keberadaan Sungai Bengawan Solo. Sungai terpanjang di Pulau Jawa itu memainkan peran penting sebagai jalur utama perdagangan.
Pada masa-masa itu, banyak dijumpai perahu-perahu besar yang mampu memuat 500-600 bal tembakau dengan penumpang hingga 50 orang.
Perahu-perahu ini mengangkut tembakau dari gudang-gudang di Desa Cangaan menuju pelabuhan di Gresik dan Surabaya untuk selanjutnya dibawa ke Eropa.
Bagian akhir dari buku tersebut menjelaskan tentang sejarah perkembangan pendidikan di Desa Cangaan. Awalnya, lembaga pendidikan berupa lembaga diniyah yang berubah menjadi madrasah. Lembaga pendidikan tersebut diinisiasi oleh para lulusan pesantren Tebuireng, Jombang.
Lembaga pendidikan itu kemudian diberi nama Madrasah Al-Falah Wan Najah. Pada saat peresmian, hadir K.H Abdullah Ubaid dari Surabaya dan K.H Hasyim Asy’ari dari Tebuireng.