Nusantarakini.com, New York –Sejujurnya setiap kali terjadi ketegangan dan kekerasan di Timur Tengah, secara langsung atau tidak berdampak secara pribadi maupun secara komunal kepada kami, khususnya dalam konteks perjuangan Dakwah kami di bumi Amerika.
Betapa tidak, saya adalah seorang Muslim, yang insya Allah termasuk salah seorang yang dipilih Allah untuk memperjuangkan agama dan Umat di kota ini. Kota New York memang dikenal sebagai jantung kapitalisme dunia, sekaligus kota dengan penduduk Yahudi terkuat di dunia. Konon kabarnya Yahudi New Yorklah yang membesarkan kota Tel Aviv.
Tapi lebih khusus lagi karena saya memang dikenal sebagai salah seorang yang ada di ada di garda terdepan dalam Membangun dialog (komunikasi) dengan tokoh-tokoh dan masyarakat Yahudi di US.
Kami merintis pertemuan tingkat tinggi (summit) Imams & Rabbis di tahun 2006 lalu, yang menghasilkan banyak program kerjasama antara Yahudi dan Muslim di US. Satu di antaranya adalah bersama-sama bergandeng tangan memerangi Islamophobia dan Antisemitisme yang keduanya sama-sama meninggi di Amerika.
Bahkan di tahun 2013 lalu saya dengan seorang pendeta Yahudi menulis bersama sebuah buku dengan judul: Anak-Anak Ibrahim: isu-isu yang menyatukan dan memisahkan Yahudi dan Islam. Buku itu telah diterjemahkan oleh Mizan ke dalam bahasa Indonesia di tahun 2015 lalu. Di tahun itu juga saya mengajak Rabbi Marc Schneier (co-author) keliing ke beberapa kota di Indonesia untuk bedah buku.
Pasca terbukanya hubungan diplomasi antara beberapa negara Arab dan Israel buku itu sedang dalam proses diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Arab, Rusia dan Prancis. Bahkan buku kami menjadi salah atau buku yang tampil di Pameran buku Dubai tahun 2021 ini.
Sebagai warga Indonesia, terlahir di negara Muslim terbesar dunia, sekolah di pesantren, kemudian lanjut kuliah di Pakistan di saat perang Afghanistan masih bergejolak, tentu mindset (Wawasan) yang terbangun jelas ikut terperangkap dalam teori konspirasi bahwa Barat adalah musuh Islam dan Umat. Apalagi belakangan hari sempat menjadi guru di kota Jeddah, Saudi Arabia. Pandangan tentang Barat sebagai antitesis dari Islam dan lawan Umat semakin tajam.
Ternyata Allah berkehendak lain. Allah punya rencana yang pada galibnya di luar dari rencana dan pengetahuan kemanusiaan kita. Di penghujung tahun 1996 saya ditakdirkan mendarat di kota New York. Sesuatu yang awalnya cukup mengkhawatirkan bahkan menumbuhkan berbagai kecurigaan di benak saya saat itu.
Proses rencana Allah terus berlanjut. Tiba-tiba saja terjadi serangan terror ke kota New York di bukan September 2001 atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Nine Eleven. Dengan segala dampak negatif dari peristiwa itu, Allah menghadirkan ragam “blessings in disguise” (hikmah-hikmah) darinya. Salah satunya terbuka pintu-pintu dialog dan komunikasi antar kelompok masyarakat, khususnya antar agama, di kota New York bahkan di Amerika.
Beberapa hari pasca 9/11 itulah saya kembali diminta oleh kantor Walikota New York untuk mewakili komunitas Muslim dalam perhelatan besar,m yang disebut “National Prayer for America” di Yankee Stadium. Di sanalah saya mulai berinteraksi dengan tokoh-tokoh agama di Amerika, termasuk tokoh-tokoh Yahudi.
Saya teringat ketika berada di holding room (ruang tunggu) sebelum masuk lapangan Yankee (lapangan Baseball NY). Saya yang belum mengenal siapa-siapa tiba-tiba didatangi dan disapa oleh seorang pendeta Yahudi dengan ramah.
“Are you Indonesian?”, tanyanya sambil menyalami tangan saya.
“Yes I am”, Jawab saya singkat.
“Oh, I like Indonesia”, katanya lagi.
“Why do you like Indonesia?” tanya saya.
Saya menanyakan itu karena sepengetahuan saya orang Yahudi di Indonesia ketika itu memang dianggap asing, bahkan pada tataran tertentu dianggap musuh. Dan seringkali tanpa mengetahui penyebabnya. Hanya karena Yahudi sehingga dengan sendirinya tumbuh stigma mereka adalah musuh Islam.
Sang Rabbi itu tersenyum dan menjawab: “because I have a friend in Indonesia. His name is Gus Dur”.
Saya kemudian menyampaikan terima kasih bahwa dia telah simpati kepada Indonesia. Apalagi ketika itu memang teman beliau itu lagi menduduki orang terpenting di negeri kita, Presiden Abdurrahman Wahid. Saya hanya mengatakan kepada Rabbi itu: “thank you for your friendship”.
Belakangan baru saya tahu jika Rabbi yang ramah itu adalah seorang Rabbi senior di kota New York. Namanya Rabbi Arthur Schneier, Senor Rabbi di East Park Synagogue, sebuah rumah ibadah Yahudi yang historik dan terkenal. Bahkan beberapa waktu kemudian saya diundang hadir dalam acara Dialog sekaligus diminta berbicara mengenai Islam di Indonesia.
Rabbi Arthur inilah yang belakangan pernah memberikan penghargaan kepada Presiden SBY. Bahkan di acara penganugeraan penghargaan itu saya secara khusus diminta membacakan doa pembukaan.
Setelah lama saya menjadi partner Dialog Marc Shcneier (yang menulis Buku bersama saya) di atas baru saya sadar kalau Marc ini adalah Putra dari Rabbi Arthur Schneier tadi. Marc sendiri tidak pernah mengenalkan diri sebagai Putra dari Rabbi Senior, teman Gus Dur itu.
Dalam perjalanannya saya semakin banyak dikenal oleh tokoh-tokoh Yahudi. Apalagi ketika itu saya menjadi salah seorang Imam di Islamic Center New York. Bahkan ketika saya Imam di Islamic Center itu salah satu prioritàs saya adalah memang membangun hubungan antar Komunitas agama, termasuk dengan Yahudi sebagai Komunitas kuat di kota New York.
Ada tiga insitusi Yahudi terbesar di kota New York. Ada Yashiva University, sebuah universitas yang beraliran Orthodox. Lalu Jewish Theological Seminary, sebuah universitas yang beraliran Konservatif. Dan satu lagi, Hebrew Union College, sebuah perguruan tinggi Yahudi beraliran Reform.
Di JTS (Jewish Theological Seminary) itu saya merupakan Muslim pertama diundang untuk memberikan presentasi Islam. Tokoh Kristen pertama adalah Desmon Tutu dari Afrika Selatan. Belakangan bahkan JTS dan Islamic Center bekerjasama dalam sebuah program yang dinamai “Midnight Run”. Sebuah program bersama memberikan makanan kepada homeless di kota New York.
Belakangan melalui Tanenbaum Center, juga sebuah organisasi Yahudi besar yang bergerak di bidang pendidikan saya menjalin kerjasama dengan Hebrew Union College dalam sebuah program “Face to Face”. Program ini adalah kajian Kitab Suci dengan tema-tema pilihan. Satu di antaranya kita pernah membahas tentang “Yusuf and Joseph”. Nabi Yusuf menurut Islam dan Prophet Joseph menurut Taurat.
Belakangan bahkan saya diminta menjadi salah seorang anggota Religious Advisory Board di Tanenbaum ini. Bahkan tidak jarang diminta menjadi narasumber ketika mereka mengadakan acara seminar atau diksusi yang bertujuan mengedukasi warga Amerika tentang agama Islam.
Di kedua insitusi itu, JTS dan Tanenbaum Center, di kemudian hari saya pernah menghadirkan tokoh-tokoh Muslim Indonesia, termasuk Prof Din Syamsuddin dan Kyai Hasyim Muzadi. Mereka hadir untuk mengenalkan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dunia.
Selain itu saya juga melakukan Dialog dengan banyak tokoh Yahudi lainnya. Rabbi Peter RubinStein, senior Rabbi di Central Synagogue, sinagog Yahudi Sekte Reform tertua dan terbesar di kota New York. Saya, Rabbi Rubinstein dan seorang pendeta Kristen berpengaruh dan sangat senior, Pastor Arthur Caliandro, mengadakan Dialog tahunan (Annual Trialogue) dalam acara tahunan Thanksgiving.
Dari masa ke masa hubungan antar agama, termasuk dengan Yahudi terasa semakin baik. Komunikasi dan relasi kami pun semakin luas. Bahkan di tahun 2007 saya diundang secara khusus hadir dalam sebuah pertemuan Yahudi-Muslim di kota Seville Spanyol.
Lalu di tahun 2014 lalu saya dan seorang pendeta Yahudi hadir di parlemen Austria berbicara tentang “Halal dan Kosher”. Saat itu Uni Eropa berencana melarang apa yang disebut “ritual slaughtering” atau penyembelihan hewan secara agama. Selain dianggap melanggar etika sekularism, juga diasumsikan sebagai penyiksaan kepada hewan. Alhamdulillah kami berhasil meyakinkan bahwa memotong hewan secara suara’ (agama) jauh lebih beretika ketimbang secara umum.
Demikian perjalanan panjang kerjasama Yahudi dan Muslim di kota New York. Belakangan inisiatif kami dari kota New York bahkan menjadi gerakan global saat itu. Masih ingat bagaimana kami pernah hadir di Singapura mempertemukan masyarakat Yahudi dan Muslim di negara itu sekaligus mempromosikan buku kami, Sons of Abraham.
Bahkan melakukan perjalanan keliling ke beberapa negara Eropa, termasuk Prancis dan Jerman, untuk mempromosikan Dialog antar agama. Upaya ini sebagai bagian dari upaya meredakan ketegangan antar pemeluk agama-agama di dunia.
Upaya ini pula yang menjadi alasan sehingga saya terpilih menjadi salah seorang penerima “Ellis Island Honor Award” di tahun 2009. Sebuah penghargaan tertinggi non militer yang diberikan kepada imigran di Amerika Serikat.
Saya menceritakan ini untuk memberikan pandangan mata yang singkat tentang usaha dan perjalanan juang kita dalam menghadirkan harmoni, kedamaian, bahkan kerjasama di antara manusia. Sebuah perjuangan yang kami lihat tidak saja penting bagi manusia secara umum. Tapi juga secara khusus menjadi jalan yang sangat efektif dalam merubah persepsi orang lain tentang agama ini.
Saya masih ingat ketika Kongresman Peter King dari Long Island New Yerik, yang saat itu menjabat sebagai Chairman of committee on the DHS di Kongress, ingin mengadakan dengar pendapat (hearing) dengan tema: “Muslim Radicalization in US” di tahun 2017 lalu. Rabbi Mac Schneier, teman saya itulah yang menginisiasi demo besar-besaran di kota New York dengan mengusung tema “Today I am a Muslim too”.
Lalu di tahun 2019 lalu, ketika Donald Trump ingin melarang orang Islam masuk Amerika, kembali kami melakukan demonstrasi besar-besaran. Demo “today I am a Muslim too II” itu diikuti oleh sekitar 10.000 orang di Time Square kita New York.
Sayang memang bahwa perjalanan juang panjang itu selalu terinterupsi (terganggu), bahkan terasa ambruk (hancur) dari masa ke masa. Hubungan yang baik, bahkan kerjasama untuk saling membantu menciptakan dunia yang lebih aman dan nyaman, dirusak oleh kekerasan yang terjadi di Timur Tengah.
Dengan segala wajah tersenyum dalam persahabatan di antara kami, kami merasa ada ganjalan itu. Bahkan kami juga sadar bahwa ada perbedaan mendasar dalam menyikapi konflik Palestina Israel.
Namun demikian, Dialog dan persahabatan itu walau tidak merubah posisi dasar kami tentang Palestina dan Israel, terus kami lanjutkan. Karena kami merasa dengan segala “prioritàs” kepada perjuangan bangsa Palestina, juga sadar bahwa ada Isu-isu lain yang bisa dikerjasamakan. Tentunya lebih khusus lagi ketika kami melihat konteks perjuangan Dakwah kami di Amerika.
Bagi teman-teman Yahudi (mayoritasnya), Israel adalah rumah bersama mereka yang harus dijaga. Dan bagi kami Umat Islam, Palestina dan Al-Quds adalah bagian dari belahan jiwa kami. Dan karenanya pada akhirnya kita sepakat: “we agree to disagree without being disagreeable” (sepakat untuk tidak sepakat tanpa harus bermusuhan).
Dunia memang lebih besar dan permasalahannya juga jauh lebih banyak dan kompleks. Semoga suatu ketika Palestina mendapatkan kemerdekaannya. Pada masa itulah “the promised land comes to a reality” (pulau idaman menjadi realita). Insya Allah! [mc]
New York, 30 Mei 2021.
*Shamsi Ali, Diaspora Indonesia & Imam di kota New York.