Nusantarakini.com, Jakarta –Tentu ada pihak yang ingin Ma’ruf Amin mundur. Sebab, posisi wapres saat ini sangat strategis. Terutama untuk persiapan pilpres 2024. Siapapun yang jadi wapres, ada kans untuk maju di pilpres 2024.
Kans Ma’ruf Amin untuk maju jadi capres 2024 sangat kecil. Pertama, karena faktor usia. Ini jadi unsur utama. Kedua, gak punya partai, juga gak punya logistik. Peluangnya cukup kecil.
Sementara Jokowi, waktunya sudah habis. Sudah dua periode. Ada pihak yang coba otak atik agar bisa tiga periode, tapi peluangnya kecil. Rakyat mayoritas tak menerima. Kapok punya presiden seumur hidup. Sampai 2024 aja belum tentu, bagaimana mau nambah? Begitulah kira-kira keraguan sejumlah pihak.
Mengingat fakta obyektif dimana posisi wapres sangat strategis untuk menjadi panggung persiapan di pilpres 2024, maka magnet politiknya menjadi kuat. Menggoda sejumlah pihak untuk membidiknya.
Nama Prabowo Subianto dan Budi Gunawan sudah mulai dibicarakan sebagai kandidat pengganti Ma’ruf Amin. Apakah Ma’ruf Amin diam?
Diganti di tengah jalan, tentu tak membuat siapapun nyaman. Tidak saja buat Ma’ruf Amin, tapi juga buat mereka yang selama ini memberi dukungan kepada Ma’ruf Amin. Terutama orang-orang yang berada di lingkaran ketua MUI non aktif ini.
Jika Ma’ruf Amin tak mundur karena alasan udzur, maka pergantian wapres hampir mustahil terjadi. Meski berusia senja, Ma’ruf Amin masih sehat, bugar dan bisa bekerja dengan baik.
Ada yang bertanya: apa peran dan kontribusi Ma’ruf Amin selama jadi wakil presiden? Bagaimana jika pertanyaannya dibalik: apa peran yang diberikan Jokowi kepada Ma’ruf Amin sebagai presiden selama ini? Apa power sharing Jokowi terhadap Ma’ruf Amin? Adakah Ma’ruf diajak serta dalam penyusunan kabinet? Policy apa yang dishare Jokowi untuk Ma’ruf? Yang lebih sederhana lagi: apakah Ma’ruf diberi jatah direksi dan komisaris BUMN?
Mengacu pada pertanyaan-pertanyaan itu, publik akan melihat betapa tak seimbang antara lahan presiden dengan wakil presiden. Selama jadi presiden, Jokowi tampak power full. Hampir semua peran diambil. Publik menilai wapres tak lebih jadi pelengkap.
Bercermin pada periode pertama Jokowi, dimana peran Jusuf Kalla jauh lebih kecil dibanding ketika ia menjadi wapresnya Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004-2009.
Kalau Jusuf Kalla saja tak banyak bisa berperan, bagaimana Ma’ruf Amin? Ini perbandingan obyektif jika kita ingin memahami kedaan Ma’ruf Amin dalam posisinya sebagai wapres Jokowi. Jadi, kecurigaan publik selama ini mungkin bisa dijawab mengapa Ma’ruf Amin selama ini jarang tampil. Mungkin karena kecilnya lahan untuk memainkan peran.
Apakah ini semua ada kaitannya dengan posisi wapres yang sedang diminati oleh sejumlah pihak? Atau hanya gaya Jokowi dalam berpartner?
Meski posisi politik Ma’ruf lemah, tak berarti ia harus terus mengalah dan diam. Apalagi jika terjadi krisis ekonomi. Disamping mulai membesarnya kelompok oposisi, terutama yang sedang dikonsolidasikan oleh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Boleh jadi Ma’ruf Amin justru yang akan mendapatkan bola muntah. Bukan dia yang TKO dengan mengundurkan diri, tapi malah berhasil meng-KO Jokowi. Untuk urusan ini, Ma’ruf butuh bersinergi dengan PKB, PBNU, MUI dan elemen umat yang berpotensi memberi dukungan kepadanya. [mc]
Jakarta, 11 Agustus 2020.
*Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.