Nusantarakini.com, Batam –Beroperasinya kembali kapal induk nuklir Nimit Class Amerika USS Theodore Roosevelt, semakin meningkatkan eskalasi ketegangan di kawasan Asia Pasifik. Setelah menjalankan recovery awak kapal induk pasca sterilisasi penularan covid-19 di Guam.
Suhu ketegangan ditambah lagi, dengan meningkatnya eskalasi di perbatasan India-China tepatnya dilembah Galwan India utara. Setidaknya baru saja India mengirimkan 12 batalion tentaranya bersenjata lengkap ke perbatasan atas respon terhadap China yang lebih duluan membangun base camp tentaranya juga dengan peralatan tempur lengkap. Otomatis saat ini dua tentara negara berpenduduk terbesar di dunia ini nyaris berhadap-hadapan siaga perang. Dan perlu kita catat, secara postur dan otot militer dua negara ini sama-sama termasuk 10 besar dunia versi majalah military global power 2019. Walaupun pada tahun 1960 India pernah babak belur dihajar China.
Dua kejadian ini kembali menggelitik benak kita semua apakah mungkin akan terjadi perang antara Amerika Vs China secara militer?
Secara pribadi, dalam hitungan saya, China dan Amerika belum akan berperang secara langsung pada tahun ini. Kecuali? Berikut akan coba saya jelaskan :
1. Perang moderen itu tidak semata berupa perang simetris secara militer. Amerika tentu sudah punya pengalaman banyak akan hal ini. Mulai dari perang dunia ke dua, perang dengan Vietnam, perang korea, perang teluk, invansi ke Irak, invansi ke Libya, Perang dengan Taliban, dan saat ini perang di Suriah.
Semua perang ini, walaupun sebahagian besar dimenangkan AS selain di Vietnam, menyebabkan dampak besar terhadap perekonomian dan psikologis Amerika sebagai Adi Kuasa. Karena namanya perang pasti membutuhkan biaya sangat besar.
Contohnya di Vietnam yang sangat memalukan Amerika sehingga Hollywood harus buat film sebanyak 86 tentang perang vietnam untuk mengembalikan kepercayaan diri masyarakat Amerika termasuk film Rambo.
Di Irak juga demikian. Bayangkan, Irak itu sedari tahun 1980-1988 sudah diadu dengan Iran. Selanjutnya Irak dikeroyok sekutu dalam perang teluk tahun 1990an gara-gara aneksasi Kuwait.
Selanjutnya Irak dihukum dengan embargo ekonomi, pelucutan senjata atas tuduhan kepemilikan senjata kimia, dan baru setelah Irak terpuruk, tak berdaya, bahkan untuk latihan terbangkan pesawat tempur saja sudah tak bisa, barulah Irak yang berpenduduk 28 juta jiwa di invansi hingga hancur lebur.
Dan didalam perang ini, Amerika rugi hingga 3 trilyun Dollar. Yang mengakibatkan kerusakan ekonomi negaranya. Gila bukan?
Irak jauh berbeda dengan China. China bukan negara kaleng-kaleng. China saat ini adalah negara raksasa yang juga mempunyai peralatan tempur canggih dan mematikan. Amerika punya nuklir, China juga punya rudal nuklir DF-41 yang bisa menjangkau Guam pangkalan militer Amerika.
Secara peralatan, apa yang ada pada alutsista Amerika, China juga sudah punya. Secara jumlah pun China digdaya. Artinya ; Amerika akan pikir dua kali untuk menyerang China secara langsung. Karena China pasti akan membalasnya dengan sangat keras berskala penuh.
Cuma bedanya, semua peralatan tempur China tersebut belum ada yang “battle proven”. Kendaraan perang China belum ada yang teruji di medan perang sesungguhnya. Ditambah China moderen ini belum pernah ada pengalaman berperang dalam skala besar. Tercatat hanya perang kecil dengan India di tahun 1960. Dan perang Korea tahun 1950 membantu Uni Soviet. Beda dengan Amerika yang semua alutsistanya sudah teruji di medan pertempuran.
2. Saya lebih yakin, Amerika saat ini akan lebih memilih pola “hybrida war” yaitu gabungan strategi perang antara jepitan politik, sanksi ekonomi dan adu domba militer negara proxy nya untuk melumpuhkan China.
Seperti ; Menggalang dukungan internasional untuk menghukum China atas tuduhan penyebaran virus covid-19 agar kemudian menjatuhkan sanksi keras terhadap China. Sanksi tersebut bisa berupa pembekuan seluruh cadangan devisa China yang disimpan di luar negeri yang berjumlah 3 Trilyun Dollar.
Selanjutnya menekan negara exportir penyupplai energi dan bahan baku industri ke China yang sangat dibutuhkan China, agar industri manufacture China dan perekonomiannya lumpuh.
Kalau hal ini bisa dilakukan Amerika, maka China bisa ambruk porak poranda dalam sekejap.
Namun tunggu dulu, China tentu juga tidak bodoh karena China saat ini adalah penyuplai hampir 40 persen kebutuhan dunia apapun bentuknya termasuk Amerika itu sendiri. Dan China juga salah satu negara pemegang hak veto di dunia.
Ketergantungan banyak negara akan suplai barang China juga adalah kartu truft China untuk memukul balik. Termasuk investasi China di 24 negara berkembang termasuk Indonesia adalah kekuatan alternatif China untuk melakukan perimbangan atas gerak langkah Amerika.
3. Amerika pasca perang teluk dan perang Vietnam, telah merubah strategi penaklukannya dari berperang langsung dengan membuat proxy tandingan.
Untuk China, jauh hari Amerika sebenarnya sudah mengelus-ngelus India, menyiapkan Vietnam, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan sebagai negara proxy mengepung China.
Secara resmi kebijakan pertahanan, Amerika juga sudah membentuk poros US INDOPACOM segitiga negara India-Australia-Jepang dalam membendung agresifitas China di Asia-Pasific.
Dan saya yakin, skema konflik Laut China Selatan antara China dengan negara Asia Tenggara, konflik China di perbatasan India Utara dengan India saat ini, Peningkatan kemampuan militer Taiwan, peningkatan kegiatan latihan di pangkalan militer Amerika di Korea Selatan dan Jepang, merupakan rangkaian skenario bandul pemukul garda terdepan sekutu Amerika untuk bersiap-siap maju menekan China.
Apalagi kalau sempat China berbenturan juga dengan negara FPDA (Five Defence Power Arrangement) atau aliansi pertahanan negara persemakmuran Inggris seperti Malaysia dan Singapore dalam konflik Laut China Selatan.
Tentu kondisi ini bisa memaksa Inggris turun gunung. Kalau Inggris turun gunung, maka otomatis NATO aliansi pertahanan atlantik utara juga akan terpaksa ikut bergabung menyerang China.
Namun kembali China sepertinya juga sudah menyiapkan antisipasinya. Untuk kawasan Asia timur, China punya sekutu setia yaitu Si Genkster Country dunia Korea Utara. Yang juga bertindak sebagai benteng geografis kultural China dari arah timur.
Untuk kawasan Asia Tenggara, China punya Myanmar, Kamboja, Thailand, Laos bahkan Indonesia sebagai sekutu struktural dan kulturalnya. Untuk mengimbangi ancaman Vietnam, Philipina, Malaysia, dan Australia.
Di Asia Selatan, untuk menangkal India, China juga punya sekutu Pakistan yang kebetulan juga musuh bebuyutan India. Untuk timur tengah, China juga punya sekutu Iran dalam mengimbangi ancaman dukungan Arab Saudi Cs kepada Amerika.
4. Yang menarik kita perhatikan saat ini adalah bagaimana posisi dua raksasa Eropah Rusia dan Turkey? Karena kedua negara ini masuk dalam kelompok 112 negara yang menuntut investigasi ke China atas tuduhan penyebar Covid-19. Rusia yang biasanya sekutu kuat China kayaknya dalam hal ini berbeda jalan. Ada apa ini? Mungkinkah China jebol dari arah Eropah?
5. Sebaliknya. Secara politik Nasional, saat ini Amerika sebenarnya juga terpecah. Tidak satu suara dalam memandang China. Malah kubu demokrat disinyalir ada main mata dengan China. Begitu juga sekutu setia Amerika, Israel yang juga di sinyalir telah melakukan “perselingkuhan” dengan China sejak dua dasawarsa ini.
Penyebabnya adalah atas kekecewaan Israel terhadap Amerika pasca Trumph yang dianggap main dua kaki dalam hal politik timur tengah. Di satu sisi, Israel juga perlu membuat perimbangan kekuatan baru seandainya Amerika sebagai simbol kapitalisme dunia ambruk. Jangan sampai diambil alih Turkey yang saat ini juga baru tampil sebagai kekuatan baru dunia mewakili kelompok Islam musuh bebuyutan Israel.
Jadi kesimpulannya, saya masih yakin kalau dalam tahun ini akan belum ada perang terbuka secara langsung “head to head” antara Amerika dengan China. Paling hanya saling gertak saja di Laut China Selatan, sambil pamer otot militer armada tempur masing-masing. Seperti yang terjadi selama ini terhadap Iran dan korea utara. Karena sejatinya Amerika itu negara paranoid dan pasca perang dunia kedua, tidak pernah memerangi negara besar yang siaga perang. Resikonya besar.
Amerika menurut saya akan cenderung secara bertahap melumpuhkan China prioritas secara ekonomi, politik, dan kalaupun menggunakan cara militer, Amerika paling menggunakan tangan negara proxy nya di atas untuk mengepung dan menggempur China.
Karena kita mesti ingat, di satu sisi. China juga punya kelemahan bibit ancaman dari dalam negerinya sendiri seperti ancaman dari Hongkong, Taiwan, Uyghur, Tibet dan Mongolia.
Dimana semua itu tidak bisa dianggap remeh China kalau dijadikan alat oleh Amerika untuk menyerang China dari dalam.
Kecuali ada perubahan peta politik nasional Amerika seperti ; Trumph kalah dalam Pilpres di bulan November nanti. Kalau Trumph kalah, maka perang antara China Vs Amerika akan happy ending karena Demokrat Amerika cenderung pro China.
Tetapi kalau Trumph menang? Ini baru lain.
Kesimpulannya adalah. Tinggal siapa yang akan paling kuat bertahan. Siapa yang paling duluan menyerang. Dan siapa yang paling bisa membangun soliditas koalisi dukungan negara-negara didunia.
Apakah China lebih duluan menjatuhkan Trumph dari dalam melalui dukungan kepada Capres Demokrat agar menang Pilpres Amerika?
Atau Amerika yang duluan melumpuhkan ekonomi China melalui sanksi ekonomi pembekuan aset dan embargo? Atau bisa juga membenturkan China dengan negara sekitarnya melalui perang kawasan seperti India, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Vietnam dan Australia plus NATO.
Kalau semua negara ini bersatu serang China, baru akan jadi mimpi buruk buat China. Sehebat apapun China saat ini.
Bagaimana akhirnya? Kita semua sama-sama menunggu… Jangan lupa cuci tangan dan jaga jarak ya guys. Okey? [mc]
Salam Indonesia.
Batam, 27 mei 2020.
*Anton Permana, Tanhana Dharma Mangrwa Institute.