Nusantarakini.com, Jakarta –
Negara Indonesia lahir dan berdiri atas kesepakatan musyawarah oleh rakyat. Inilah konsensus politik rakyat, dimana Negara dimiliki secara sah oleh rakyatnya. Maka lahirlah Konstitusi yang didahului pembukaan UUD 45 dan didasari prinsip kemanusiaan di dalamnya.
Saat ini kondisi Negara Indonesia tidak lagi berdiri dan berjalan atas kehendak rakyatnya. Melainkan dari segelintir dan sekelompok orang pemodal yang modalnya di dapat dari menghisap, menipu dan menindas rakyatnya.
Sehingga pada akhirnya negara beserta institusi cabang-cabangnya hanya menjadi selimut, jaket atau mesin kekuatan kelompok tersebut. Yaitu kelompok yang mendapatkan modal dari BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), dimana saat ini dunia internasional telah terorganisir untuk menyiapkan sebuah Komunike untuk menyatakan bahwa korupsi BLBI bukan hanya berbentuk kejahatan ekonomi biasa. Akan dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan dan agresi. Mereka adalah konglomerat taipan, dimana sentral kekuasaannya berada didalam sistem keuangan.
Dari sinilah kejahatan kemanusiaan dan agresi dipraktekkan dengan menggunakan instrumen kekuasaan bersenjata untuk kepentingan kolonisasinya. Bahkan mereka tidak saja mengkolonisasi kedaulatan rakyat nasional Indonesia, melainkan juga memperalat dunia internasional dengan menggunakan Tiongkok atau Cina sebagai Negara yang dihasutnya demi kepentingan penjajahan Konglomerat taipan ini untuk menjajah Indonesia.
Tentu ini adalah kematian sebuah negara yang sebenarnya, jika dibiarkan dan dipaksakan tanpa adanya perubahan besar.
Pilpres 2019 kali ini merupakan puncak dari demarkasi ekstrim antara kubu konglomerat taipan dan kubu yang didukung rakyat banyak.
Dan kelompok konglomerat taipan tersebut terindikasi melakukan praktek-praktek kriminal dengan mengendalikan oknum badan-badan penyelenggara Pilpres 2019 bersama institusi-institusi pendukungnya, termasuk aparat keamanan.
Dan untuk melindungi kekuasaan mereka, maka dikampanyekan melalui aksi post truth dengan jargon, “sedang terjadi delegitimasi KPU.” Dan aksi kampanye ini dilakukan menggunakan instrumen organisasi pemenangan Jokowi-Maruf dan oknum dari instrumen kekuasaan dan penyelenggara pemilu.
Padahal hak rakyat sebagai pemilik negara sekaligus pemilik hak tertinggi dalam proses pemilihan calon pemimpin nasional untuk mengkritisi sebagai upaya berjalannya proses pertandingan politik secara adil. Dengan target utama adalah mendorong badan-badan penyelenggara pemilu dan instrumen negara agar bertindak independen, netral dan berpihak pada rakyat.
Aksi kritis atau curiga dari rakyat yang berada pada garis politik oposisi masih merupakan bentuk yang wajar. Tentu semua pihak ingin Pemilu, khususnya Pilpres bisa berjalan adil dan jujur.
Namun, tentu jika pemilu dipecundangi dan dijalankan dengan cara memperalat negara demi kepentingan Konglomerat taipan tentu ini adalah bentuk mendelegitimasi kedaulatan rakyat secara brutal.
Oleh karena itu, jika upaya delegitimasi kedaulatan rakyat dilakukan melalui badan-badan kampanye dan instrumen negara termasuk Mahkamah Konstitusi, maka People Power adalah jalan paling konstitusional untuk mengembalikan kedaulatan rakyat yang paling riil.
People Power sesuai dengan kehendak rakyat dalam konstitusi UUD 45, pasal 1 ayat 2 dan pasal 28 yang didasari oleh pembukaan UUD 45 sebagai sumber hukum negara Indonesia.
Selain itu, People Power di Indonesia juga didukung oleh hukum internasional termasuk oleh kekuatan militer Internasional dalam rangka menjaga kedaulatan rakyat dan sebuah bangsa yang merupakan bagian dari dunia. Hal ini yang harus dipegang rakyat dan terpimpin dalam gerbong-gerbong perjuangan rakyat.
Hanya satu hal yang tidak bisa dilakukan untuk melakukan perubahan di Indonesia karena tidak akan mendapat dukungan internasional, yaitu kudeta militer. [mc]
*Yudi Syamhudi Suyuti, Koordinator Eksekutif Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI).