Nusantarakini.com, Jakarta –
Aku membeli lontong di warung Uni Aisyah. Kulihat Cing Safeih berjalan gontai. Matanya redup seperti menahan ngilu. Ngilu di hatinya.
Dia berjalan keliling komplek. Yang kini jadi komplek perumahan mewah.
Cing Safeih tinggal pada suatu kampung selemparan mangga dari warung Uni Aisyah. Kampung yang terjepit antar dua komplek.
Dulu sebelum ada komplek perumahan yang dibangun di era 90-an awal, pemukiman manusia hanya ada di tempat Cing Safeih berada. Selain kampungnya, tidak ada, yang terhampar hanya sawah dan rawa-rawa.
Tapi oleh sebuah pengembangan, lahan sawah dan rawa itu disulap jadi pemukiman yang jauh lebih baik daripada kampungnya Cing Safeih.
Entah bagaimana ceritanya sehingga lahan-lahan yang dulu dipandang tak berharga itu dapat beralih tangan ke pengembang punya Cina. Kabarnya, oknum BPN, Kecamatan, Kelurahan, Kotamadya, Provinsi hingga centeng dan jawara ikut bermain. Tentu saja centeng berseragam doreng juga tak mau ketinggalan. Akhirnya warga yang punya sawah menjual dengan harga terpaksa. Yang rawa-rawa diambil begitu saja. Mungkin bayarnya hanya ke setan-setan yang bersemayam di berbagai instansi itu.
Tahu-tahu, berdirilah permukiman. Satu persatu wajah-wajah baru muncul di perumahan yang menyekat kampung Cing Safeih. Ada Cina. Ada Batak. Ada Jawa. Ada Sunda. Ada Padang. Ada segala karnivora.
Bertahun-tahun berjalan. Cing Safeih tetap di atas tanahnya. Tanahnya yang memang berdataran tinggi itu.
Para warga, dulu di kampung Cing Safeih, berusaha keras agar mereka bertahan dan tidak tersingkir. Itulah sebabnya, para warga kampung tetap merasa tidak sepenuhnya akur dengan warga perumahan hasil pengembangan orang Cina itu. Warga kampung tetaplah memandang warga perumahan sebagai pendatang dan memang terasa berjarak dengan mereka. Selain berjarak secara gaya hidup, juga berjarak secara kekayaan.
Tapi roda zaman menggilas dengan kejam. Bahkan kenangan Cing Safeih tak luput digilas oleh roda zaman.
Dulu Cing Safeih biasa mengitari pematang sawah dan jalan-jalan kampung di tempatnya saban pagi. Sekarang dia hanya bisa mengitari sesekali bekas-bekas pematang sawah yang sudah menjelma jadi jalan-jalan beton komplek perumahan warga pendatang itu. Hanya sekedar memanggil kenangan lama untuk merasakan bahagianya hidup sebelum pendatang itu merengsek di tanah kampungnya.
Setiap kali Cing Safeih melaluinya, dia merasa tengah melalui kenangan masa mudanya yang dilandap oleh rakusnya kaum urban. Perih dan ngilu bila dia mengingat hijaunya padi-padi yang ditanam oleh orang tuanya dulu. Dan kenangan itu mustahil bisa dikembalikannya lagi, karena ketidakberdayaannya menahan gilanya roda zaman menghantam dirinya yang lemah. Dia tidak bisa bersalin rupa seganas dan serakus kaum urban yang menginvasi tanah kelahirannya.
Sekarang Cing Safeih tidak saja hanya bisa menyerah dengan nasib. Malah lebih sial lagi, kerjanya bergantung pada sampah-sampah orang-orang komplek itu. Dia memungut sampah-sampah rumah tangga orang-orang komplek yang dipandangnya dulu sebagai musuh itu untuk diantar ke tempat pembuangan sampah kecamatan. Untuk pekerjaan itu, dia digaji oleh RW perumahan yang dulu bekas sawah ladangnya itu.
Hanya itu yang bisa dilakukannya dipenghujung usianya yang makin senja. Hidup Cing Safeih mewakili banyak insan pribumi Betawi. Dibilang tragedi, mau apa lagi.
~ SED