Analisa

Memahami Polemik “Penggantian” Istilah Kafir

Nusantarakini.com, Cimahi – 

Kita belajar memahami sesuatu dari yang nampak dipermukaan, mendalami dan juga menkaitkan dengan aspek lain yg paling mendekati (Anasir)

Begitu pula dengan salah satu hasil Munas ormas NU yakni usulan penggantian istilah kafir menjadi non-muslim. Kalau kita dalami persoalan sesungguhnya bukan pada apakah Yahudi, Nasrani, dan Penganut Agama Selain Islam Itu kafir? Ternyata bukan ini, hal Ini telah jelas. Karena Munas tidak menyinggung atau menjadikan latar belakang pembahasan hal ini.

Akan tetapi yang dibahas adalah apakah orang kafir di Indonesia Itu Harby, Muahid, dzimah atau Musta’man? Ini yang hendak dijawab dengan Bahsul Masail Munas.

Lahirlah jawaban: Kafir di Indonesia tidak terkategori salah satu dari empat sebutan tersebut, sesuatu yang wajar karena katagori dan perlakuan kepada mereka “hanya” ada dan terjadi pada zaman Nabi dan para Khalifah dalam bingkai daulah khilafah, sementara negeri Islam saat ini tidak hidup dalam bingkai negara khilafah, sehingga “butuh” formula baru menyikapinya.

Kesimpulan yang dihasilkan dari Munas tersebut bahwa orang kafir di indonesia adalah Muwathin (Warga Negara), lanjutannya adalah tidak pas menyebut mereka kafir, tapi sebut saja non-muslim.
Apakah berhenti di sini? Tentu tidak, setelah berhasil dirumuskan dan diusulkan bahwa orang kafir yang ada di Indonesia adalah “Muwathin” (warga negara) itu saja, bukan salah satu dari empat sebutan di dalam pespektif Fiqh di atas, sebagaimana sikap dan perilaku Nabi dan para khalifah.

Jika ini berhasil, implikasinya disadari atau tidak, orang-orang Kafir di Indonesia tidak boleh dibedakan dalam hak-haknya dengan muslim dalam konteks politik, sebab sama-sama sebagai warga negara. Yakni di kemudian hari, jika propaganda Ini berhasil, orang-orang kafir di Indonesia tidak boleh dihalangi menjadi Presiden dan Jabatan-Jabatan kementrian lainnya, misalnya menteri agama.

Karena itulah, sikap membedakan mereka, kelak akan dikatakan intoleran, diskriminatif, bahkan dianggap melanggar hukum. Lebih parah lagi, jika menyebut mereka kafir dalam pengajian internal umat Islam, bisa dikatakan telah melakukan ujaran kebencian.

Kelak akan terjadi, bagi siapa saja yang menolak atau melakukan kampanye penolakan pemimpin kafir adalah tindakan pidana, tidak boleh ada lagu kampanye atau tagar “Haram Pemimpin Kafir”.

Jadi, nampak ada agenda politik yang besar dan terselubung dibalik wacana ganti istilah kafir dengan non-muslim, bisa kita telusuri peristiwa-peristiwa berikut ini:

1. Kasus-kasus di negeri-negeri muslim yang telah lebih dulu ada kampanye Istilah “Muwathin”. Istilah “Muwathin” merupakan istilah politik. Jadi adanya agenda politik, tentu sangat wajar targetnya.

2. Berbagai kasus di Indonesia di mana orang kafir terganjal jadi pemimpin akibat term “Kafir”.

Adapun justisfikasi Bashul Masa’il dengan mengutip pendapat salah seorang ulama mazhab Hanafi, selain keluar konteks, juga sebatas justifikasi, kalau mau, copas saja Hasil konfrensi yang Al Azhar ada di dalamnya dan telah merumuskan Istilah “Muwathin” sebagai ganti Istilah “Kafir” dalam Konteks Negara/Pemerintahan.

Jadi term “kafir” dalam istilah bagi non-muslim semestinya tetap ada dan dipertahankan karena berkenaan dengan sikap keberagamaan seseorang muslim yang dibimbing Wahyu Illahiy agar tetap terikat dan terkait dengan syariat Islam.

Sikap dan perlakuan yang adil yang dirasakan sendiri oleh mereka orang orang kafir, bahkan diakui sendiri oleh mereka “hanya” pernah didapatkan oleh mereka saat umat ini dipimpin oleh para Khalifah dalam bingkai daulah khilafah Islamiyyah. [mc]

Wallahu a’lam
Al Fakir ust. Ali Moeslim
Cimahi, 4 Maret 2019

Terpopuler

To Top