Warkop-98

Stop Menyoal ‘Nalar Fiksi’ Rocky Gerung! 

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Nama Rocky Gerung makin populer. Selalu jadi maha bintang di acara ILC. Menyaingi Karni Ilyas. Sang presenter yang khas suaranya. Basah-basah serak. ILC makin hidup sejak Rocky Gerung (RG) dihadirkan.

Sosok akademisi ini bicaranya lugas. Ceplas ceplos. Tak tedeng aling-aling. Apa adanya. Pilihan katanya menarik dan mudah dipahami. Setengah mengejek, atau malah suka mengejek. Tapi tak membuat sakit hati orang lain. Punya bobot humor yang tak norak. Bukan humor murahan seperti yang ada di tv-tv. Humor yang ditonton untuk sekedar melepas penat dan melupakan beban hidup yang semakin berat. Mikirin semua barang yang semakin mahal dan susah dibeli.

RG tak punya beban. Dia bukan politisi, bukan juga pengurus partai. Sandera politik tak berlaku baginya. Kritik RG tajam dan langsung mengena sasaran. Menjebol jantung pertahanan. Apalagi ketika kritik ditujukan ke penghuni istana. Mulai dari naik motor cooper sampai soal “anu.” Terasa menelanjangi.
Bicara RG tentang istana membuat publik senang. Sesekali terkesima, sambil ketawa. Hanya satu kata publik mengomentarinya: “berani benar orang ini!”.

Di tengah banyak politisi-partai yang tersandera, dan rakyat yang ketakutan, keberanian RG seperti air di tengah kehausan padang pasir.
Di musim kemarau lagi. Teringat Sri Bintang Pamungkas dan Amin Rais ketika mengekspresikan nyalinya di masa Orde Baru. Meski tak mirip-mirip amat. Karena RG tak punya partai dan massa. Tapi, ia adalah aset rakyat. Lidahnya merepresentasikan jutaan suara kaum tertindas.

Suatu hari, di tahun lalu, RG bicara agak serius. Ia mulai bicara dengan konsep fiksi. Datang protes ketika istilah fiksi ini dihubungkan dengan kitab suci. Kitab suci itu fiksi bukan? Tanyanya. Kitab suci yang mana? Protes seorang politisi. Ternyata, sensitif juga. RG tersenyum sambil melirik politisi yang menyinggung soal kitab suci.

Kata “fiksi” lalu jadi sensitif. RG diuber oleh sejumlah politisi untuk menjelaskan kata fiksi ketika dikaitkan dengan kitab suci. Para politisi mulai sensi ketika bersinggungan soal agama. Mulai melibatkan emosi beraroma ideologis. Tak biasanya. Selama ini, agama dan ideologi sering jadi kerangka dan bungkus belaka. Untuk apa? Kepentingan pragmatis dan jangka pendek.

Kali ini, sepertinya agak serius. Lihat kerut di wajah mereka. Semoga bukan pencitraan.
RG menjelaskan apa itu fiksi. Melalui konsep “negatif” maupun “positif”. Fiksi itu bukan fiktif. Bukan “bohong-bohongan”. Itu konsep negatifnya. Fiksi itu narasi yang mengaktifkan imajinasi. Itu definisi positifnya. Para politisi belum paham juga. Lah kok? Mungkin bahasa RG yang terlalu filosofis dan akademis. Ketinggian. Atau nalar politisi yang terlalu pragmatis, sehingga sudah kehilangan kemampuan imajinasi. Atau dua-duanya.

Lalu, orang mulai bertanya-tanya: RG agamanya apa? Dengan tahu agama, jadi tahu apa kitab sucinya. Perdebatan akademik bergeser ke perdebatan agama. Pembicaranya para politisi. Gak nyambung! Apakah para politisi gak boleh bicara agama? Lah…lah…. kok kesitu logikanya. Bicara agama, atau disiplin apapun, mesti punya kompetensi. Supaya gak dituduh “disclaimer”. Kasihan tuh Akbar Faesal, semua datanya tidak didengar karena dianggap “disclaimer”.

Jika fiksi itu didefinisikan sebagai narasi yang “men-drive” imajinasi untuk tujuan lahirnya realitas masa depan, maka penjelasan RG bisa dipahami. Lalu, bukankah kitab suci, termasuk Taurat (Old Testement), Injil (New Testement) dan al-Qur’an itu bicara tentang fakta-fakta masa lalu? Bahkan juga realitas kekinian? Seratus persen betul. Lalu, fakta-fakta itu untuk apa ditaruh di dalam kitab suci? Hanya sebagai informasi? Atau sekedar cerita? Disinilah konsep ontologis dan aksiologis sebagai kajian filsafat ilmu mesti mendapat tempat untuk menjadi basis analisis.

Secara ontologis, fakta-fakta dalam kitab suci punya bukti dan bisa dijelaskan substansinya. Namun, karena kitab suci juga bersifat eskatalogis, ia mesti dipahami analisis aksiologinya. Tinggi amat bahasanya. Hehehe. Sederhananya: punya tujuan moral.

Meminjam istilah Fazlur Rahman, ada ide moralnya (moral ide). Dan ide moral inilah yang mungkin dimaksud RG sebagai bentuk imajinasi untuk mendorong terciptanya realitas masa depan berbasis pembelajaran pada fakta-fakta dalam kitab suci.
Inilah yang membedakan fakta dan data dalam kitab suci itu dengan fakta dan data yang umumnya ditulis manusia. Terutama dari sisi pilihan kata, struktur, kalimat, akurasi dan kualitas kontennya. Apalagi kalau manusianya menggunakan metode kompilasi. Masih gak paham?

Supaya paham, kita buat contoh. Al-Qur’an misalnya, bicara tentang sejarah Nabi Musa dan seorang hamba Allah (sebut saja namanya Khaidir). Khaidir melubangi perahu nelayan yang berencana berlayar. Kenapa Khaidir melakukan itu? Ia ingin menyelamatkan nelayan itu dari rezim (raja) yang mau merampas semua perahu nelayan. Apa pesan/ide moralnya?

Nelayan adalah profesi yang seringkali menjadi korban dari kebijakan rezim. Reklamasi di teluk Jakarta Utara adalah contoh yang sedikit bisa memberu gambaran. Sejumlah nelayan yang tertindas oleh kebijakan reklamasi perlu menghadirkan Khaidir. Hadirnya Khaidir bisa jadi juru selamat buat mereka dari kebijakan rezim. Tugas Khaidir nampaknya sedang diperankan oleh Anies Baswedan, Gubernur DKI. Tidakkah ini imajinatif? Membayangkan masyarakat nelayan tanpa penindasan.

Secara ontologis, fakta sejarahnya bisa dibuktikan, tapi secara aksiologis, bertujuan menggerakkan imajinasi pembaca untuk menciptakan realitas baru yang bermoral dan bermartabat. Gitu aja kok repot.

Contoh lain, kenapa al-Qur’an menceritakan Nabi Daud dengan kemampuannya membuat peralatan perang dari besi. Pesannya adalah dimanapun negara yang memiliki alat perang (alutsista) paling canggih, ia akan menguasai dunia.

Begitu juga cerita tentang Nabi sulaiman lengkap dengan Ratu Balkis, jin, Hudhud dan semut. Seorang penguasa (termasuk politisi) godaannya perempuan (Balkis). Hati-hati. Dan Nabi Sulaiman punya rakyat jin. Selalu mengintai rahasia dan berpotensi menyandera. Jin tak diberi kesempatan mendapatkan info, sampai Nabi Sulaiman wafat. Ada burung Hudhud, terbang semaunya. Pandai berkelit dan mnghindar. Nabi Sulaiman tegas kepada rakyat macam Hudhud. Rakyat yang suka lepas, dan tak mudah tersentuh delik hukum. Ada juga semut, sebuah gambaran rakyat kecil yang sering tertindas, mesti dilindungi oleh mereka yang diberi amanah memimpin. Imajinatif bukan? Inilah fiksi yang mungkin dimaksud Rocky Gerung. Bukan fiktif. RG fokus pada penggunaan pendekatan aksiologis. Gak paham? Ampun deh.

Bagaimana dengan Taurat dan Injil? Biarlah orang Yahudi dan Kristen yang bicara. Itu otoritas pemeluk agama untuk mejelaskannya. Jangan nanya saya dong. Nanti dibilang “disclaimer”. Gak mau ah…

Stop menyoal “nalar fiksi” RG. Tak perlu keseret jauh keluar konteks yang tak perlu. Buang-buang energi. Tetap dukung RG selama ia berkata jujur dan punya keberanian mengungkapkan kebenaran. Jangan gara-gara “nalar fiksi”-nya, ia dipenjara dan kehilangan kesempatan untuk merepresentasikan suara dan nalar sehat rakyat. [mc]

*Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Terpopuler

To Top