Nusantarakini.com, Jakarta –
Tempo itu pengasong Jokowi ke pusat kekuasaan. Dia yang mengasuh citranya di hadapan rakyat. Jauh sebelum Jokowi diplot menjadi Gubernur DKI. Jadi Tempo amat berkepentingan dengan kekuasaan Jokowi. Apalagi baru-baru ini sudah ada “kompensasi” dari Jokowi sebanyak 5 triliun lewat dana abadi kebudayaan dengan pihak pembudaya, yaitu di antaranya GM, penentu Tempo.
Tatkala Tempo mengangkat cover story-nya dengan ilustrasi Kyai Ma’ruf yang dipikul Jokowi, sampai-sampai alis mata Jokowi mengernyit kesusahan, sedangkan Kyai Ma’ruf dengan wajah susah belum juga mampu menjangkau tempat bola lampu yang akan dicapainya, tampak jelas pesannya, ialah Kyai Ma’ruf merupakan beban bagi Jokowi untuk menerangi dirinya.
Pertanyaannya, kenapa Tempo sampai harus mengungkapkan pandangan mereka terhadap Kyai Ma’ruf separah itu? Apakah ini terprogram atau spontan?
Menurut saya ini terprogram. Pasalnya, sudah muncul suara miring dari Luhut Panjaitan dan Erick Tohir sebelumnya tentang ketidakpuasan mereka akan “kinerja” Kyai Ma’ruf dalam mendongkrak elektabilitas Jokowi. Kasihan sekali, Kyai terhormat harus mengalami perlakuan layaknya pekerja pendongkrak elektabilitas Jokowi, yaitu pasangan Capres-cawapresnya. Kenapa Tempo dan Luhut berani selancang itu?
Kyai Ma’ruf diambil sebagai pasangan Cawapresnya Jokowi hanya karena pertimbangan pengaruh keislaman dan kewibawaannya di hadapan umat Islam, khususnya di dalam golongan umat yang tengah naik daun, yaitu 212. Kyai Ma’ruf diplot untuk mengontrol dinamika 212 sebagai entitas politik yang diperhitungkan.
Masalahnya justru terletak di situ pula. Kyai Ma’ruf bukan JK yang kaya raya yang dapat diandalkan sebagai penutup ongkos kampanye. Kyai Ma’ruf hanya membawa wibawanya saja sebagai bargaining di depan kelompok politik yang memanggul Jokowi. Ketika wibawanya rontok, apalagi bargaining beliau di depan kelompok pemanggul dan pengasuh Jokowi itu?
Syahdan, pada 2 Desember 2018 yang lalu, reuni 212 sukses besar dilaksanakan. Tanpa menghiraukan himbauan kyai dari Banten itu sebagai Ketua Umum MUI. Umat tetap berbondong-bondong datang. Padahal fatwa beliaulah yang menjadi dasar bagi digerakkannnya 212 itu hingga mengkristal seperti sekarang ini layaknya arus politik yang berpengaruh. Ironis dan tragis memang bagi Kyai Ma’ruf.
Ternyata, sumbu dan icon dari 212 itu tetaplah Habib Rizieq. Komando berada di tangannya dan pengikut setianya. Kyai Ma’ruf tak berkuasa atas elemen 212. Padahal pertaruhan keberadaan diri beliau di hadapan kubu Jokowi justru di situ.
Ketika hal ini disadari oleh pengusung dan pengasuh Jokowi, maka Kyai Ma’ruf pun kehilangan wibawa dan keeksotisannya di mata mereka. Maka itulah sebabnya mengapa Luhut bersuara miring dan mengapa Tempo harus menurunkan topik ceritanya tentang Kyai Ma’ruf yang digambarkan sebagai beban bagi Jokowi.
Masalahnya sekarang apakah mereka akan mempertahankan Kyai Ma’ruf sebagai cawapres di tengah kesan bahwa kyai sepuh tersebut mulai diragukan keandalannya di dalam mempercepat elektabilitas Jokowi.
Hal yang mungkin dilakukan ialah tidak memaksakan Kyai Ma’ruf agar kinerjanya seperti halnya Sandi yang masih bugar dan muda. Paling meningkatkan frekuensi Jokowi untuk lebih banyak kampanye.
Adapun manuver untuk menggabungkan Ahok sebagai bagian dari Tim Kampanye Jokowi yang sebentar lagi bekas wakil Jokowi di DKI itu akan bebas, masih kita nantikan pembuktiannya. Tetapi mengganti Kyai Ma’ruf sebagai cawapresnya Jokowi, hanya bisa jika kyai Ma’ruf berhalangan tetap.
Nah, apakah penurunan laporan Tempo ini diprogramkan sebagai awal untuk menggiring Kyai Ma’ruf ke arah berhalangan tetap supaya muncul kejutan dan spirit bagi tim Jokowi, kita lihat saja. Bukan tidak mungkin hal itu terjadi, mengingat gaya Tempo yang selalu berperan politik semacam itu.
~ John Mortir