Agama dan Millenial di Amerika

Nusantarakini.com, New York – 

Tanggal 10 Desember lalu RNS (Religion News Service) merilis sebuah berita Yang menarik dengan judul: “Religion Declining in Importance for many Americans: Especially among Millennials”. Bahwa urgensi agama sangat menurun di kalangan warga Amerika, khususnya di kalangan anak-anak muda atau millenial.

Survey itu dilakukan oleh American Family Survey, sebuah survey tahunan yang dilakukan untuk mengetahui trendi kehidupan publik bangsa Amerika bekerjasama dengan “Center for the Study of Election and Democracy” di Brigham Young University.

Hasilnya tidak mengejutkan sesungguhnya. Bahwa lebih 43% masyarakat Amerika tidak lagi melihat urgensi agama sebagai identitas. Dan yang lebih parah lagi adalah hampir 50% kalangan muda Amerika percaya jika agama itu penting dalam kehidupan dan identitas.

Penemuan ini sesungguhnya tidak mengejutkan dan bukan sesuatu yang baru. Sejak lama telah menjadi informasi umum bahwa agama di Amerika dan Barat secara umum tidak saja dianggap tidak penting. Bahkan dianggap penghalang, bahkan racun (poison) bagi kemajuan itu sendiri.

Bukti langsung dari fenomena itu adalah bahwa gereja-gereja semakin kosong. Bahkan banyak yang kemudian tertutup atau bangkrut. Dan selebrasi atau perayaan-perayaan keagamaan lebih banyak termotivasi material atau bisnis (business oriented celebration) ketimbang sebagai agama.

Beberapa faktornya

Karenanya saya tidak lagi terlalu tertarik membahas hasil penelitian atau survey itu. Karena itu telah menjadi pengetahuan umum. Sesuatu yang bukan lagi rahasia umum.

Yang ingin saya bahas adalah kira-kira Kenapa sampai terjadi demikian? Kenapa agama kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat Amerika dan Barat? Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya?

Saya melihat banyak faktor. Tapi ada empat faktor utama yanh menjadi faktor dominannya.

Pertama, irrasionalitas dalam beragama.

Agama itu terbangun di atas “keyakinan”. Tapi keyakinan itu tidak harus “menihilkan” (meniadakan) logika berpikir. Karenanya iman itu juga kuncinya ada pada ilmu (pengetahuan).

Tendensi beragama dengan dogma-dogma kering, dipaksakan dan jelas merendahkan “rasionalitas” sudah pasti tidak akan menarik bagi manusia yang secara ilmu lebih maju. Apalagi di ear keterbukaan informasi saat ini. Tentu dogma-dogma seperti itu tidak lagi bisa disembunyikan dari akal sehat.

Bagi kami komunitas Muslim Amerika, realita ini menjadi bagian dari perjalanan dakwah. Bahwa sejak peristiwa 9/11 di tahun 2001, kelompok terbesar yang menerima Islam sebagai jalan hidupnya baru adalah kelompok Hispanic. Warga Amerika keturunan Colombia, Mexico, Spanyol, dan negara Latin dan Karibia lainnya.

Alasan terpenting kenapa mereka mudah menerima Islam adalah kenyataan yang mereka dapatkan, baik melalui interaksi dengan komunitas Muslim maupun melalui informasi yang terbuka bahwa beragama itu tidak selalu merendahkan logika berpikir.

Perlu diketahui behwa masyarakat Hispanic (boyan) itu adalah pengikut agama Katolik yang loyal. Namun loyalitas itu dapat bertahan ketika logika masih tertutupi dari informasi-informasi yang semakin membuka diri. Maka ketika informasu tentang agama Islam yang menghormati logika dengan sangat tinggi, mereka pada akhirnya tertarik dan menerima agama ini.

Islam sebagai agama yang membangun hubungan solid antara hati dan akal kemudian mampu menampikan diri sebagai alternatif itu. Kekuatan Islam ada pada koneksi “dzikir” dan “fikir.

Kedua, konsep yang tidak praktis

Ketika agama terlalu sibuk dengan konsep-konsep yang berkaitan dengan sentimen dan emosi manusia tentu bukanlah masalah. Masalahnya kemudian adalah ketika keagamaan itu “being hijacked” (terculik) oleh seremonial-seremonial” yang bersifat emosional semata.

Di kalangan umat Islam hal ini juga tidak jarang terjadi. Bukan pada ajarannya. Tapi lebih pada prilaku umat yang merasa puas dan merasa sangat beragama (religious) dengan seremoni-seremoni keagamaan yang membangunkan rasa emosi dan sentimen.

Ambillah sebagai misal acara-acara sholawatan, dan semacamnya. Hal ini tidak salah. Bahkan sejatinya sangat bagus dalam membangun emosi kecintaan kepada baginda Rasul. Bukankah rasa (emosi) kecintaan kita kepada beliau adalah prasyarat iman?

Yang masalah adalah ketika umat ini puas dengan emosi itu. Padahal emosi atau rasa cinta itu harus ada “aspek” praktikalnya. Itulah yang disebutkan oleh Al-Quran: “fattabi’uuni” (ikutlah kepadaKu). Maknanya cinta itu mensyaratkan “ittiba’” atau ketauladanan praktis Rasulullah SAW. Jika tidak maka boleh jadi cinta itu adalah “cinta monyet”.

Konsep-konsep keagamaan yang mengawan-awan, menggelantung di kesucian langit, menjadikan banyak warga di Amerika dan Barat semakin tidak tertarik. Dunia keilmuan bukan lagi dunia konsep. Tapi dunia praktis dan inovasi.

Karenanya ketika agama menampilkan diri sebagai tumpukan teori-teori yang tidak bersifat praktis maka masyarakat tidak lagi tertarik. Kerap kali teori-teori itu dianggap beban yang bersifat sampah (trashy burden).

Di sinilah Islam tampil sebagai alternatif. Bahwa dalam agama ini konsep-konsep langit juga difollow-upi dengan ajaran-ajaran yang bersifat praktikal. Beriman kepada Allah Yang Maha Besar (Allahu Akbar) misalnya menjadi acuan dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Bahwa siapapun dan bagaimanapun seseorang itu, yang superior dalam hidup hanya Dia Yang Ahad (Maha Tungga).

Konsep ini terimplementasi dengan ajaran yang menekankan “equalitas” sejati. “Wahai manusia sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita. Dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang termulia di antara kalian dalam pandangan Allah adalah yang paling bertakwa. Sesunguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Memahami”.

Konsep ini lebih ditekniskan oleh Rasulullah SAW ketika mengatakan: “tiada kelebihan orang Arab di atas non Arab, dan tiada kelebihan non Arab di atas Arab, juga tidak orang putih di atas orang hitam, atau orang hitam di atas orang putih kecuali dengan ketakwaannya”.

Ajaran inilah yang menjadikan Islam sejak lama menjadi daya tarik bagi warga hitam Amerika sejak lama.

Ketiga, agama dianggap penghalang kemajuan

Sejak lama agama di dunia Barat dianggap penghalang atau bahkan racun kehudidupan manusia. Betapa tidak, di tengah kegenitan intelektualitas manusia dengan berkembang pesatnya keilmuan dalam segala bidang, agama tampil sebagai konsep terbalik.

Di saat ilmu pengetahuan menemukan jika bumi ini bulat, agama bersikukuh jika bumi ini hampar. Ketika ilmuan yang beragama melanggar konsep agama mereka dikafirkan bahkan dijatuhi hukuman yang sangat tidak manusiawi.

Keadaan agama seperti itu menumbuhkan antipati dan bahkan kebencian kepada agama. Maka yang terjadi ada dua kemungkinan. Manusia meninggalkan agama. Atau agama yang kemudian dimodifikasi berdasarkan kemajuan ilmu pengetahuan.

Situasi ini berlaku hampir dalam semua komunitas agama, termasuk komunitas Muslim. Anak-anak muda kerap melihat agamanya atau tepatnya melihat bahwa beragama itu mengurangi jalan bagi kemajuan.

Akibatnya tidak saja kehilangan “trust” (kepercayaan) kepada agama. Bahkan mereka dalam banyak hal kehilangan percaya diri (confidence) dalam beragama.

Islam sesunguhnya adalah agama kemajuan dan kesuksesan (dunia-akhirat). Semua sisi agama ini mengajarkan kemajuan dalam segala aspek kehidupan manusia. Bahkan ajaran tentang kematian sekalipun dalam ajaran agama ini, tidak lepas dari jihad (upaya keras) untuk memajukan dunia ini.

Ambillah contoh hadits Rasulullah SAW tentang sebuah benih pohon di tangan seseorang yang sudah akan meninggal dunia. Apa yang harusnya orang itu lakukan dengan benih itu?

Ternyata bukan dibuang ke sampah karena toh juga dia sudah akan meninggal dunia. Rasulullah SAW mengajarkan “tanamlah. Karena kalau pun kamu tidak akan lagi menikmatinya orang lain akan mengambil manfaat. Bahkan kalaupun orang lain tidak mengambil manfaat, Siapa tahu burung-burung atau makhluk lainnya akan mengambil manfaat. Dan itu manfaat bagi kamu (Yang akan mati itu).

Islam itu adalah ajaran hidup menuju kepada kematian. Islam itu ajaran kehidupan sebelum kematian. Maka jelas Islam mengajarkan bagaimana membangun dan memakmurkan bumi ini. Itulah makna dasar dari konsep khilafah dalam Islam. Bahwa manusia tanpa kecuali adalah khalifah, punya tanggung jawab membangun dan memakmurkan dunia ini.

Konsep inilah yang tersimpulkan dalam doa sapu jagad umat ini: “Tabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinaa azdaban naar”.

Keempat, sekularisme yang semakin membingunkan.

Karena agama dianggap racun kehidupan maka terjadi upaya sistematis dan sistemik untuk memarjinalkan agama terbatas sebagai agama “kehidupan privat” semata. Silahkan agamis di rumah-rumah ibadah. Tapi jangan bawa agama itu keluar rumah-rumah ibadah karena akan menjadi penghalang kemajuan.

Akibatnya terjadi kepribadian paradoks dalam hidup manusia. Di rumah-rumah ibadah nampak Religius. Tapi di luar rumah-rumah ibadah pelanggaran kepada “norma-norma” (norms) atau “nilai-nilai” (values) agama terinjak-injak.

Konsep agama seperti ini tentunya membingunkan, bahkan pada tahap-tahap tertentu dianggap pengkhianatan (betrayal) kepada norma dan nilai kehidupan manusia itu sendiri.

Masyarakat Amerika dan Barat secara umum yang semakin rasional tentu menganggap agama tak lebih “mainan” (Games) atau lolucon (jokes) kehidupan. Karenanya mereka akan lebih memilih menjauhkan diri dari agama.

Di sinilah Islam menampilkan diri sebagai agama yang unik. Betapa tidak tidak. Agama ini adalah agama yang tidak mengajarkan “diskoneksi” dalam aspek-aspek kehidupan manusia. Bahwa Islam mengajarkan spiritualitas, juga intelektualitas dan aspek fisik kegidupan.

Dalam Islam semakin beragama seseorang harusnya semakin sadar bahwa membangun dunia ini adalah bagian dari kewajiban keagamaan itu. Sebaliknya mengabaikan dunia harusnya akan dilihat sebagai juga mengabaikan agama itu sendiri.

Makanya Al-Quran mengingatkan: “Jika azan berkumandang maka datangkah kepada mengingat Allah (ritual) dan tinggalkan semua bentuk transkasi dunia (bisnis)”.

Tapi sebaliknya: “jika sholat telah ditunaikan maka bertebaranlah di atas bumi dan carikah keutamaan (rezeki) Allah. Tapi ingatlah Allah banyak-banyak”.

Kedua ayat di Surah Al-Jumuah itu menggambarkan koneksi kehidupan dalam ragam aspeknya. Islam tidak memilah-milah kehidupan dalam ruang-ruang yang berbeda. “Ini untuk Tuhan dan itu untuk hawa nafsu ku”. Bagi Islam, bahkan memenuhi hawa nafsu duniaku juga tidak terlepas dari ajaran dan nilai ketuhanan (keagamaan).

Tantangan untuk umat ini.

Dari semua itu jelas bahwa pada akhirnya tidak diragukan jika Islam akan hadir sebagia agama masa depan masyarakat Amerika dan Barat. Trendi itu semakin nyata ketika di tengah tantangan dengan meninginya sentimen anti Islam dan Islamophobia Islam tetap laju menjadi agama dengan pertumbuhan tercapai di Barat dan dunia.

Maka waja jika di tahun 2050 mendatang Islam akan menjadi agama terbesar dunia, melampaui umat Kristiani saat ini.

Namun demikian perlu diingatkan kepada umat ini untuk “not taken it for granted” (jangan mengambilnya secara cuma-cuma). Diperlukan usaha keras dan keinginan untuk melakukan pembenahan diri.

Tantangan dakwah bukan pada Islamnya sebagai agama. Tapi ada pada umat sebagai representasi dan pelaku.

Pertama diperluka keinginan untuk memperbaiki diri sendiri. Dalam bahasa populernya diperlukan self criticism atau keinginan untuk melihat-lihat kekurangan diri sendiri. Bahasa Al-Qurannya: “lima taquuluuna maalaa taf’aluun”.

Karena satu fakta besar adalah penghalang terbesar bagi orang lain dalam melihat keindahan Islam ada pada misrepresentasi umatnya.

Kedua, diperlukan dakwah dengan komunikasi yang konstruktif. Kebenaran yang disampaikan dengan komunikasi dekstruktif akan melahirkan pandangan yang destruktif pula. Karenanya pada da’i, ulama dan mereka yang berada di garis terdepan untuk menyampaikan agama ini harus selalu membenahi metode komunikasinya.

Jangan sampai dakwah Yang esensinya mengajak justeru berbalik menjadi “pengusiran” karena komunikasi yang salah. Semoga! [mc]

*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.