Nusantarakini.com, Kualalumpur –
Beberapa hari ini berita bergabungnya Yusril Ihza Mahendra mendominasi pembicaraan publik. Kenapa? Karena memiliki aspek kontroversial, kejutan dan tentu menyegarkan suasana politik yang mengeras belakangan. Jadi orang memang menginginkan suatu yang surprise. Dan aksi gabung politik Yusril, yang juga merupakan ikon gerakan politik modernis Islam, warisan Masyumi, memenuhi tuntutan hasrat publik itu.
Peristiwa ini juga memperlihatkan bahwa politik itu senantiasa dinamis dan untuk Indonesia, senantiasa lentur dan fleksibel. Saya kira Yusril tepat mengambil keputusan bergabung dengan kubu Jokowi – Ma’ruf Amin. Walaupun di awalnya diletakkan kedudukannya sebagai pengacara calon Presiden Jokowi – Ma’ruf Amin, tapi hal itu jelas memberikan panggung yang leluasa bagi Yusril untuk meningkatkan kembali popularitasnya sekaligus partainya. Hal ini tentu hanya bisa diimbangi oleh partainya bilamana mesin PBB dapat seirama dengan langkah-langkah yang diderapkan oleh Yusril. Untuk hal ini, agaknya Yusril memerlukan tim sinkronisasi irama langkah Yusril dengan mesin partai, agar langkah yang diambil Yusril memberikan keuntungan besar bagi partai yang sepertinya masih gagap dan gugup merespon langkah Yusril yang mengejutkan banyak orang tersebut. Kenapa hal ini penting, sebab akan senantiasa ada rongrongan pada setiap guncangan isu. Apalagi dalam momen politik panas seperti sekarang ini. Setiap pihak dapat melakukan ekploitasi keadaan dan kecenderungan.
Yusril pertama-tama adalah tokoh politik yang berpengalaman panjang. Memang tempat permainannya bukanlah di luar arena sebagai oposisi. Sejak awal karirnya dididik bermain di dalam kekuasaan. Dan dia diakui sukses memainkan peranan itu.
Kedua, mengapa Yusril tepat bergabung dengan kubu Jokowi – Ma’ruf Amin, sebab tampaknya sejak Ahok dikalahkan dan naiknya gelombang populisme Islam yang menjelma pada aksi 212, agaknya Jokowi dan tim Politbiro-nya belajar banyak, dan akhirnya menemukan keputusan: bahwa popolisme Islam merupakan gejala universal saat ini. Menantang dan menentangnya hanya akan membuat populisme Islam itu meluas dan mengeras. Dan akhirnya dapat menggulung kekuasaan. Cara terbaik ialah mendekatinya dan menjinakkannya. Jadi intinya, Jokowi dan Politbiro-nya, tidak saja mengambil pendekatan politik akomodatif seperti Orde Baru akhir terhadap Islam, tapi juga menyerap unsurnya sekaligus merangkulnya. Itulah yang terjadi pada kecenderungan kebijakan Jokowi akhir-akhir ini yang dikesankan mendekat kepada golongan umat Islam. Puncaknya ialah dengan mengambil Ma’ruf Amin sebagai pasangan pilpres-nya dan Erick Thohir, pemilik Rebuplika dan Muslim Tionghoa, sebagai komandan Tim Pemenangan Pilpres-nya.
Barangkali hal ini sudah disadari lebih cepat oleh Yusril. Maka menetapkan posisi PBB pada kubu anti Jokowi, yaitu kubu oposisi, di tengah pengaruh PBB pada kubu oposisi tersebut sama sekali tidak diutamakan, tentu bukan tepat bagi PBB berlama-lama pada kubu itu, mengingat tujuan politik ialah bagaimana bisa mendapatkan porsi kekuasaan negara. Mendapatkan porsi kekuasaan, tentu tidak melulu sebagai oposisi atau koalisi, bukan? Harusnya dapat belajar dari Luhut Panjaitan, dia dapat mengambil porsi dan dapat mengamankan posisinya dengan mantap, padahal dirinya bukanlah dipandang wakil partai tertentu, walaupun sebenarnya dia diam-diam merupakan orang Golkar.
Selain itu, dengan bergabungnya Yusril ke kubu Jokowi – Ma’ruf Amin, tentu akan mengurangi ketegangan isu yang tidak perlu, yaitu ancaman Hizbut Tahrir versus Ansor terhadap stabilitas politik. Tinggal bagaimana Hizbut Tahrir dapat juga mengimbangi irama yang diambil oleh Yusril ini.
~ John Girang