Tausiah

Islamophobia dan Tanggung Jawab Dakwah (3)

Nusantarakini.com, New York – 

Menghadapi semua tantangan dakwah, termasuk di dalamnya Islamophobia, harus dihadapi dengan hati yang kokoh, pikiran sehat, dan pandangan yang jauh ke depan. Bersikap reaktif belum tentu memberikan manfaat. Sebaliknya bahkan dapat menjadi lobang kehancuran dakwah itu sendiri.

Saya dalam beberapa kali terjadi peristiwa di masa lalu, banyak belajar mengambil “hikam” (hikmah-hikmah) besar darinya. Bahwa betapa sebuah peristiwa buruk kerap kali terjadi dan ditujukan untuk sebuah kebaikan.

Atau dalam bahasa yang sering saya pakai “turning challenges into opportunities” (membalik tantangan menjadi peluang).

Salah satu peluang besar yang terbuka di tengah meningginya Islamophobia ini adalah terbukanya pintu-pintu dakwah. Bahwa Islamophobia di satu sisi membuka ruang-ruang dakwah yang lebar.

Di satu sisi bagi kita tantangan itu bukan penghalang. Tantangan justeru motivasi dan pengingat untuk melakukan yang lebih lagi, baik secara kwantitas, apalagi secara kwalitas.

Di sisi lain islamophobia juga justeru menjadikan mereka membuka mata. Apakah itu untuk tujuan mencari jukasi. Atau sebaliknya memang mereka akan mencari kebenaran yang sesungguhnya.

Artinya Islamophobia biasanya menjadi penyebab terbukanya pintu bagi orang lain untuk mengetahui Islam yang sesungguhnya.

Pertanyaan yang mungkin perlu mendapat jawaban adalah bagaimana umat seharusnya melakukan tugas dakwahnya sehingga menjadi cara ampuh untuk menghadapi Islamophobia yang semakin parah.

Kewajiban dakwah

Kewajiban dakwah tidak lagi seharusnya menjadi sebuah pertanyaan. Karena sajatinya semua orang Islam, tanpa kecuali, adalah dai. “Dan katakan inilah jalanku. Yaitu mengajak kepada (jalan) Allah. Saya dan siapa saja Yang mengikutiku”. Demikian Al-Quran menegaskan.

Yang sering menjadi masalah memang ketika dakwah didefenisikan secara sempit. Dakwah sekedar tablig-tablig akbar, ceramah-ceramah dengan retorika dan gaya yang menahan. Padahal secara umum harusnya semua anggota umat ini harus memerankan diri sebagai dai.

Seorang petani Muslim adalah dai di pertanian, pedagang di perdagangan, guru di sekolah, politisi di perlemen, dan yang paling penting presiden yang mengaku Muslim itu adalah dai dengan amanahnya.

Karenanya kewajiban dakwah adalah kewajiban yang tidak mengenal batas profesi. Saya bisa jadi ustadz (sebagai gelar) untuk berdakwah. Tapi kewajiban dakwah saya tidak dibatasi oleh gelar “ustadz”. Karena sebagai Muslim, tanpa embel-embel ustadz kewajiban dakwah tetap harus dijunjung tinggi.

Sering saya katakan di mana-mana: “darah dagingku, hidup matiku, semuanya untuk perjuangan dakwah di jalanNya”.

Tujuan dakwah

“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijak, dan dengan nasehat yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan cara terbaik” (Al-Quran).

Dari ayat di atas jelas bahwa tujuan dakwah adalah mengajak kepada “Sabiili Rabbik” (jalan Tuhanmu). Ajakan kepada manusia untuk mengikuti atau masuk ke dalam jalan yang Allah ridhoi.

Oleh karenanya dakwah jangan dipersempit sebagai ajakan kepada kelompok atau golongan. Jangan dipersempit sebagai ajakan kepada “hizb” atau jama’ah sempit. Atau sekedar ajakan untuk bergabung di organisasi tertentu. Apalagi dakwah ditujukan untuk mengajak manusia kepada partai politik saja.

Dakwah sekali lagi adalah ajakan kepada jalan (agama) Allah. Dan semua kelompok, golongan, organisasi, dan partai yang memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan adalah bagian dari agama Allah.

Karenanya mengajak manusia kepada kelompok dan golongan adalah ajakan kepada “sebagian” agama Allah. Kita harus berhati-hati dalam hal ini.

Dasar-dasar pijakan dakwah

Yang paling penting dari semua hal tentang dakwah adalah bagaimana “delivery” (penyampaiannya). Menyampaikan kebenaran dengan cara yang salah menjadikan kebenaran tidak nampak sebagia kebenaran.

Artinya boleh jadi justeru seorang da’i yang niatnya menyampaikan justeru menjadi penghalang, bahkan pengusir orang dari menerima kebenaran itu.

Untuk itu Saya sampaikan beberapa hal yang penting diingat (taken into consideration) ketika melakukan dakwah.

Pertama, menyadari bahwa dakwah itu adalah “penyelamatan”.

Sering kita dengarkan teman-teman Kristiani kita membawa “berita gembira” ke berbagai belahan dunia. Tujuan yang mereka usung adalah “salvation”. Kata ini sangat penting. Sebab dengan keyakinan membawa savation ini para missionary merasa berkewajiban “menyelamatkan” umat manusia dari kehancuran. Tentu masuk di dalamnya menyelamatkan manusia dari api neraka.

Kalau para missionary memiliki rasa tanggung jawab (sense of responsibility) untuk menyelamatkan manusia, bagaimana dengan kita? Karenanya seorang da’i harus selalu menumbuhkan rasa tanggung jawab ini. Bahwa dakwah adalah salvation. Yaitu menyelamatkan manusia dari kehancuran dunia dan hari pedihnya azab Allah di akhirat kelak.

Cerita-cerita mereka yang menerima Islam bersama kami di kota New York menggambarkan betapa mereka telah terselamatkan dari “kehancuran hidup” dunia yang semakin kejam. Dan tentunya yang paling penting terselamatkan dari azab Allah yang pedih di Akhirat kelak.

Kedua, bahwa dakwah harus dibangun di atas pijakan cinta kasih (rahmah).

Dakwah itu adalah ekspresi kecintaan kita kepada seluruh manusia. Kita umat Islam bukanlah umat yang egois, yang mau senang atau bahagia sendiri. Kita tidak ingin menikmati indahnya hidup dunia, dan tentunya akhirat nanti seraya melihat orang lain menderita.

Mungkin dalam bahasa yang sederhana kita ingin masuk syurga menggandeng tangan saudara-saudara seinsan disekitar kita. Kita tidak ingin masuk syurga secara egosistik.

Dengan cinta kasih ini juga berarti menepis kecenderungan dakwah yang “membenci”. Dakwah dan kebencian tidak akan pernah bersatu. Dakwah itu indah, menarik, manis. Benci itu buruk, mengusir dan pahit.

Maka hadirkan selalu rasa cinta kasih dalam menyampaikan kebenaran. Karena cinta kasih itu adalah tabiat agama dan kekuatan sejatinya.

Ketiga, hendaknya dakwah itu didasarkan kepada bashirah.

Bashirah adalah menyatunya kekuatan spiritualitas dan intelektualitas. Dengan kata lain, dakwah yang efektif adalah dakwah yang terbangun di atas dua kekuatan. Kekuatan hati dan akal.

Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan “bashirah”. Itulah seruan Al-Quran.

Kombinasi antara hati dan akal menjadikan dakwah memberikan sentuhan hati dan akal. Dan sejatinya ini pula kekuatan agama Islam.

Mengedepankan akal tanpa hati menjadikan dakwah bagaikan filsafat yang tidak menyentuh jiwa.

Sebaliknya mengedepankan hati tanpa akal melahirkan dogma-dogma yang terkadang membosankan dan melelahkan.

Karena bashirah menjadi sangat penting dalam menyampaikan dakwah Islam.

Keempat, dakwah menuntut sikap bijak, dengan menempatkan segala hal pada tempatnya.

Salah satu hal yang penting misalnya dalam berdakwah adalah pemilihan materi dakwah yang sesuai dengan obyek dakwah itu sendiri.

Suatu hari seorang Pendeta Katolik mendatangi saya mengeluhkan seorang Imam yang pernah dia temui. Ternyata dia menemui Imam itu untuk bertanya tentang Yesus. Dan Imam itu membacakan kepadanya semua ayat-ayat yang menyalahkan umat katolik tentang Yesus.

Salahkah Imam itu? Tidak…dia menyampaikan kebenaran. Yang salah adalah mempaikan materi yang tidak sesuai dengan “audience”.

Seorang pendeta yang memang ingin tahu tentang Islam, harusnya dimulai dengan hal-hal yang disepakati. Misalnya tentang keimanan dan cinta kita kepada Jesus. Pemuliaan Yesus dan Ibunya dalam Al-Quran, dan seterusnya.

Setelah simpati terbangun, trust (percaya) tumbuh, lalu dijelaskan posisi Islam terhadap siapa Yesus yang sesungguhnya. Saya yakin dengan cara ini Pendeta itu akan menghormati perbedaan itu. Bahkan boleh jadi akan menyadari mana sesungguhnya yang benar.

Kelima, bahwa dakwah itu memerlukan pendekatan yang sesuai, tergantung siapa obyeknya.

Salah satu hal yang menjadi kebiasaan saya ketika menerima seseorang untuk belajar Islam adalah bertanya apa agamanya dan bagaimana pemahamannya tentang agama secara umum dan Islam secara khusus.

Hal ini sangat penting untuk mengetahui pintu mana yang harus dimasuki untuk memulai pembicaraan. Sebab ada orang yang senang dengan pendekatan rasional. Ada pula dengan pendekatan spiritual. Bahkan ada yang senang dengan pendekatan sosial.

Suatu hari seorang pelajar New York University datang ke masjid Al-Hikmah, milik warga Indonesia di kota New York. Tiba-tiba nyeletuk: “jika anda bisa memberitahu saya tentang agama kamu sesuatu yang saya sebagai Hindu tidak miliki saya masuk Islam”.

Saya jawab: “kita percaya kepada Tuhan yang Satu”.

Dia tertahan dan berkata: “kita juga percaya kepada Satu Tuhan”.

Dengan terkejut Saya tanya: “bagaimana dengan patung-patung itu? Bagaimana semua sembahan kamu”.

Dia kemudian berusaha menjelaskan bahwa patung-patung itu bukan tuhan. Mereka hanya mewakili aspek-aspek Tuhan yang Satu. Ada tuhan pria, wanita, Tuhan mereka yang kuat, tuhan mereka yang lemah, dan seterusnya.

Saya menyadari kemudian bahwa majasiswi ini adalah seorang intelektual. Orangnya pintar. Orang Amerika keturunan India.

Saya lalu bertanya: “kamu suka Barack Obama?”.

Dia jawab: “yes of course. He is a nice person”.

Saya katakan: “jika anda ingin ketemu Barack Obama, mana yang anda pilih. Melalui sekretaris, keamanan, dan semua is jadwal dia. Atau kamu bisa langsung ketemu tanpa perantara dan kapan saja.

Dia jawab: “tentu langsung dan kapan saja”.

Saya jawab: “itulah keunikan Islam. Kami bisa komunikasi dengan Tuhan kami kapan saja dan tanpa perantara. Sementara kamu melalui patung-patung, sapi hingga ke sungai sakral”.

Singkat cerita sang mahasiswi ini menerima Islam spontan di tempat itu.

Itulah pendekatan yang sesuai. Dia pintar, mengedepankan logika. Maka pendekatan yang saya lakukan juga adalah pendekatan logika. Walaupun logika itu sesungguhnya adalah logika anak-anak.

Keenam, dakwah menuntut tingkat percaya diri yang tinggi. Tentu percaya diri dalam dakwah akan tumbuh dan menguat ketika keyakinan terhadap kebenaran yang diyakini juga solid.

Seringkali dakwah dianggap sebuah profesionalitas. Sebuah kerja semata. Padahal dakwah adalah bahagian dari hidup seorang Muslim. Dakwah adalah ekspresi iman itu sendiri. Semakin kuat keimanan harus semakin kuat pula langkah dakwah seseorang.

Ketika berdakwah Tapi keyakinan kepada kebenaran ini setengah hati maka itu adalah lobang pertama dari kemungkinan terkuburnya harapan dakwah.

Keyakinan inilah yang menjadikan baginda Rasulullah SAW menjadi solid luar biasa dalam mendakwahkan kebenaran. “Kalaupun mereka menegakkan katahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, niscaya saya tidak akan tinggalkan tugas ini hingga Allah menentukan lain atau Aku binasa bersamanya”.

Itulah ungkapan Rasul ketika menghadapai ancaman dan godaan dalam dakwah. Beliau tidak goyah (unshakable) dalam perjalanannya.

Ketujuh, dakwah itu bukan kerja dadakan dan tiba-tiba. Memerlukan perjalanan panjang.

Nuh AS menjalani perjalanan dakwahnya lebih dari 950 tahun. Dan tidak banyak yang mengimaninya bahkan setelah melalui ragam tantangan yang tidak kecil.

Ibrahim melakukan dakwahnya dan hanya setelah berabad-abad dakwahnya menampakkah hasil yang maksimal dengan diurusnya Penghulu dan penutup para nabi dan Rasul.

Maka dakwah itu memerlukan perjalanan panjang. Karenanya juga memerlukan persiapan matang untuk mengarungi bahtera luas dan dahsyat itu.

Kedelapan, bahwa dakwah harus terbangun di atas hatapan besar dan optimisme yang tinggi. Berdakwah dengan tanpa harapan dan optimisme adalah kekalahan sebelum terkalahkan.

Semua ayat-ayat Al-Quran mengarah kepada kemenangan dan kesuksesan. Salah satunya adalah Surah As-Shof yang menyampaikan pergelutan antara haq dan bati. Pada akhirnya ditutup dengan: “Dan Kami (Allah) menguatkan orang-orang beriman atas musuh-musuh mereka. Maka mereka (orang-orang beriman) itu akan mendapatkan kemenangan”.

Demikiankah dakwah yang dilakukan itu pasti dengan segala cabarannya, pada akhirnya akan menemukan kemenangan. Orang Amerika biasa mengatakan: “at the end of tunnel there is shining light” (di ujung terowongan itu selalu ada cahaya yang bersinar).

“Ketika datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan Engkau lihat manusia berbondong-bondong memeluk Islam. Maka sucikanlan Nama Tuhanmu dan minta ampunlah. Sesngguhnya Dia Maha penerima taubat” (An-Nashr).

Dengan dakwah yang benar, minimal seperti yang disebutkan di atas, kemenangan akan menjadi lebih cepat. Dan pada akhirnya Islamophobia dengan sendirinya akan sirna.

“Dan katakan: kebenaran telah tiba dan kebatilan menghilang. Seusngguhnya kebatilan itu pasti akan hilang.” [mc]

New York, 21 Oktober 2018

*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.

Terpopuler

To Top