Analisa

Buruh, Rumah dan Kejahatan Negara

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Kementerian Kesehatan merilis 6771 kepala keluarga buang air besar sembarang di Bekasi. Jumlah itu sangat tinggi. Menjijikkan tentunya. Namun, disebelah kota Bekasi, Kerawang, Luhut Binsar Panjaitan telah melakukan “topping up” perumahan dan kawasan bisnis Meikarta, dengan nilai projek 20 milyar dollar (300 Triliun).

Rumah dan apartemen di Meikarta dikembangkan di atas lahan 84 Ha, nanti akan dikembangkan terus menjadi 500 Ha. Dalam berbagai catatan digital, kawasan ini akan dikembangkan terus hingga mencapai 2000 Ha.

Dalam promosinya, pihak pengembang meyakinkan bahwa Maikarta dapat ditempuh dalam tempo menit, karena akan ada kereta api super cepat Jakarta-Bandung dari negara dan juga pemerintah republik sedang membangun tol bertingkat untuk, antara lain tentunya, memudahkan orang mencapai Meikarta.

Lippo mengklaim bahwa mereka adalah perusahaan yang baik. Mereka ingin membantu Indonesia mengatasi kekurangan rumah (Backlog) yang di awal rezim Jokowi berkisar 11 sd 14 juta rumah. Pada tahun lalu, James Ryadi mengatakan bahwa dia memiliki kesamaan visi dengan “Coutry Garden, Danga Bay” Johor, Malaysia, yakni mengembangkan raksasa pengadaan rumah dan kawasan pemukiman (9000 tower).

Untuk harga lahan kawasan perumahan, Meikarta mematok harga 12,5 juta permeter persegi. Sedang unit apartment dalam jejak digital terinfokan sekitar 350 juta an, satu kamar plus dua kamar tidur.

Lalu, siapakah sasaran market perumahan super luas Meikarta ini?

Buruh dan Rumah

Buruh buruh miskin informal di Bekasi mungkin adalah bagian masyarakat yang buang BAB sembarangan, seperti disinggung di atas. Mungkin ya mungkin. Buruh buruh miskin adalah buruh yang hidupnya berdesak-desakan dalam rumah-rumah kumuh miskin sanitasi. Di tempat inilah mereka mereproduksi tenaga nya untuk bisa “dijual” ke pasar tenaga kerja.

Namun, berpikir buruh yang, misalnya, bekerja sepuluh tahun akan bisa memiliki rumah di Meikarta, juga sebuah “fallacy” (di luar akal). Kemahalan tentunya.

Sudah satu dekade ini isu pemilikan rumah bagi buruh dan kaum marginal terhempas persoalan lahan yang mahal. Dari jejak digital yang ada, Yusril Izha, Erani Yustika (indep), Faisal (Core), Ikatan Ahli Perencanaan, misalnya, menyoroti ketimpangan pemilikan lahan, hanya segelintir pengembang menguasasi lahan-lahan strategis. Pemerintah hanya mengeluh untuk menyediakan rumah bagi masyarakat kurang mampu (MBR) karena kesulitan lahan. Sebaliknya pengembang berebut menguasai lahan-lahan strategis puluhan ribu hektar demi kontinuitas perusahaan mereka.

Dengan mahalnya harga lahan dan kemudian rumah, berharap buruh menuntut rumah adalah hal musykil. Dalam tuntutan buruh untuk dipenuhinya 84 item komponen upah, buruh hanya mencantumkan kontrak alias sewa rumah dalam dimensi “papan”, bukan upaya pemilikan.

Di masa lalu, pengadaan perumahan buruh adalah tanggung jawab perusahaan dan buruh. Saat itu cara pandang bahwa buruh sebagai mitra pengusaha dalam hubungan industrial sangat vital. Buruh dianggap sumber kemajuan pabrik. Sehingga, buruh harus diperlakukan dengan layak. Pemerintah juga, melalui kementerian tenaga kerja, kementerian perumahan BPKS-KT (Jamsostek) serta BTN mendorong terwujudnya perumahan buruh terjangkau. Kementerian naker misalnya memastikan adanya porsentase 10-40 persen setiap kawasan industri dikhususkan buat rumah sedehana. Plus kementerian perumahan mengatur keseimbangan pola pengadaan rumah 1:3:6, agar setiap 1 rumah mewah didampingi 3 rumah sedang dan 6 rumah untuk orang miskin. Negara juga mengendalikan Kasiba (Kawasan siap bangung) dan Lasiba (Lahan siap bangun).

Namun, itu dulu. Saat ini, negara tidak berdaya atau bahkan tidak peduli. Buruh, sebagai tenaga kerja produktif bangsa kita, terjebak dengan upah murah. Mereka hanya hidup sebatas berproduksi untuk bisa “menjual” tenaganya ke “labor market”. Kenaikan upah ditekan agar tidak melebihi inflasi tahunan.

Buruh yang tidak punya daya beli, di satu sisi, dihadapkan dengan mahalnya harga lahan si sisi lain, mengakibatkan buruh kurang punya harapan untuk memiliki rumah layak dalam seumur hidupnya.

Pemerintah pada tahun 2017 lalu me “launching” pembangunan 6000 unit Rusunami (9 tower) di Serpong untuk buruh. Diantara jutaan buruh yang butuh rumah, angka 6000 unit itu bak “berharap setetes air dalam kehausan”.

Lahan dan Negara

Mahathir telah menyerang keberadaan Danga Bay, Johor Malaysia. Mahathir memastikan tidak mendukung projek itu. Menurut Mahathir projek itu bukan buat rakyat Malaysia. Tidak ada gunanya. Langkah pertama Mahathir adalah tidak memberikan ijin tinggal buat pembeli Singapore, Asean dan China. Tindakan Mahathir ini telah menghancurkan projek “tetangga” yang dibanggakan James Riady itu.

Indonesia tentu tidak punya Mahathir. Karena Mahathir “terlahir kembali” untuk menyelamatkan bangsa Melayu dari kepunahan. (Indonesia mungkin akan punah. Mungkin).

Di Indonesia, Anies Baswedan sudah “mematikan” projek reklamasi, sebuah kawasan elit perumahan orang-orang kaya. Anies dalam kampanye pilgub mengkaitkan bahwa faktor geopolitik dan sasaran penjualan merupakan salah satu alasannya tidak menyukai reklamsi Jakarta. Tapi, Anies hanya di Jakarta. Dia tidak bisa merepresentasikan negara.

Persoalan bangsa ini adalah ketika lahan-lahan kita dikuasasi segelintir orang, yang menurut Yusril Izha hanya 0,2% orang menguasasi 74% lahan Indonesia. Atau menurut CORE hanya 60 perusahan properti menguasai hampir seluruh lahan-lahan strategis perkotaan.

Penguasaan lahan-lahan di kota dan sekitar tanpa upaya negara mengambil kembali, dan mengontrol distribusi serta kegunaannya, adalah sebuah kejahatan. Tugas negara bukanlah (hanya) memberikan sertifikat tanah pada orang-orang yang punya tanah. Namun, negara adalah kekuatan untuk memberikan tanah murah pada rakyatnya. Sehingga kewajiban negara menyediakan rumah bagi rakyat bisa selanjutnya terjadi.

Penutup

Persoalan lahan adalah kata kunci. Sedangkan pembangunan rumah dapat dilakukan dengan startegi “long live investment”. Ayah saya dulu membangun rumahnya hampir dua puluh tahun. Sebagai guru, tahapan pertama dia adalah membeli tanah murah. Tahap selanjutnya adalah mencicil pembangunannya, dari mulai pondasi, tembok, kamar demi kamar, atap demi atap hingga selesai. Dalam skala komunitas, pembangunan rumah swadaya pernah populer dikalangan buruh dan karyawan tahun 70an 80an. Koperasi buruh menjadi developer sekaligus kontraktor. Sekarang? Setelah lahan dijadikan alat bisnis dan spekulasi, hampir tidak ada lahan murah lagi.

Jika situasi ini terus berlangsung, kontrol tanah dan harga tanah ada pada pengembang, maka negara tidak bekerja untuk rakyat. Dalam penafsiran negara versi Marxian dan Pluralism (seperti dalam tulisan2 saya sebelumnya), itu sesungguhnya makna negara adanya dalam pengertian “negara adalah kaki tangan kapitalis untuk memperkaya orang kaya”.
Itu adalah kejahatan negara.

Ke depan, negara diharapkan bukan ada untuk hadir dalam peresmian-peresmian ala Meikarta. Namun, harus hadir untuk menguasai tanah bagi rakyat dan memastikan buruh dan rakyat miskin memiliki rumah. [erc/sad]

*Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle.

Terpopuler

To Top