Nusantarakini.com, Jepara –
Coba pikirkan. Sumber daya alamnya melimpah. Tapi penduduknya, kebanyakannya miskin. Tanahnya luas. Penduduknya hanya sedikit yang punya tanah, punya rumah yang wajar. Sisanya yang mayoritas….sudahlah, perih untuk dikatakan.
Lautnya luas. Sungainya banyak. Tapi hanya sedikit yang makan ikan secara rutin. Produksi tekstilnya ramai. Mal-mal penuh dengan pakaian. Tanah Abang jadi pasar pakaian terbesar di Asia Tenggara. Tapi mayoritas warga, pakaiannya tak cukup memadai. Makan sayur maupun buah, juga kurang. Padahal areal sayur dan buahnya melimpah ruah. Malahan sampai busukan di kebun-kebunnya. Di pasar sayur dan buah Kramat Jati, banyak sayur dan buah jadi sampah.
Desa-desanya subur. Anak-anak butuh ibu. Tapi para wanitanya diekspor ke Arab, Hongkong, Kuala Lumpur, jadi babu. Properti dibangun di kota-kota. Tapi yang punya segelintir asing sebagai jualannya. Di kota-kota, sinar matahari dan air bersih makin susah dinikmati. Padahal ini negeri tropis. Curah hujan melimpah. Matahari bersinar sepanjang tahun. Anak-anak negeri banyak hidup jadi gembel. Sementara segelintir manusia, hidup bagai tuhan.
Ada apa? Kenapa jadi mengenaskan begitu negeri ini?
Karena negeri ini diatur dengan aturan yang gelap gulita. Bukan aturan yang terang benderang. Aturan zalim, bukan aturan nur atau cahaya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. “ (Al-Baqarah: 278-279)
Ayat di atas berkenaan dengan kisah berikut. Abu Ja’far Muhammad bin Jariri ath-Thabari meriwayatkan, “Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah Saw. Bahwa semua utang mereka, demikian juga piutang (tagihan mereka, yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokok-nya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Bani Amr bin Umair bin Auf adalah orang yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan aset yang banyak. Karenanya, datanglah Bani Amr untuk menagih utang dengan tambahan (riba) dari bani Mughirah—seperti sediakala—tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini, Gubernur Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah Saw. Dan turunlah ayat di atas. Rasulullah Saw lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab, ‘Jika mereka ridha atas ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.”
Apa hubungannya topik kontradiksi Indonesia dengan isu riba pada ayat di atas? Hubungannya ialah, riba itu praktik kekafiran. Sebab ia adalah larangan Allah. Yang namanya larangan Allah, bilamana dikerjakan, tentu kafir namanya. Nah, di negeri ini, praktik riba subur bur bur. Tak ada larangan. Malahan ekonomi Indonesia basisnya adalah riba.
Negaranya utang riba ke asing dan lembaga multilateral. Bank-banknya cetak riba. Masyarakatnya dikalungi riba hari-hari hidupnya. Apa tidak modar? Padahal orang Islam sudah tahu, bahwa riba itu dilarang. Dilanggar juga.
Kontradiksi itu adalah wujud ketidakberkahan. Kontradiksi itu semacam azab bagi rakyatnya.
Bayangkan, pesantrennya puluhan ribu. Kyainya ratusan ribu. Santrinya jutaan. Tak ada yang maju memerangi riba. Padahal Allah sudah isyaratkan bahwa Dia memerangi riba.
Maka riba sebagai instrumen eksploitasi manusia atas manusia, selama dimaklumi dan dibenarkan oleh orang Islam, maka azablah yang dirasa. Negeri harusnya jadi surga, malah jadi neraka.
~ Syahrul E Dasopang