Dicaci, Prabowo Berpeluang Jadi!

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Lugu, polos, apa adanya dan tidak suka Pencitraan. Baik, bilang baik. Buruk, bilang buruk. Panggung depan dengan panggung belakang sama. Tak senang rekayasa. Seseorang yang cara berpakaian, gesture tubuh dan mimik muka jauh dari polesan. Hidupnya nyata, bukan rekayasa. Jenderal yang tak kenal make up. Hadapi dan sampaikan apa adanya, tanpa branding apapun. To the poin jika bicara. Ceplas-ceplos. Sedikit bersemangat. Tipologi ini cocok untuk menggambarkan Prabowo. Dalam bahasa Gus Dur, Prabowo orang ikhlas.

Ada benarnya juga ungkapan Gus Dur. Prabowo bukan politisi layaknya politisi pada umumnya. Politisi umumnya kuat di packaging. Jaga image dan penampilan, karena publik figur. Hati-hati dalam ucapan dan sikap, agar selalu tampak baik dan menarik. Prabowo tidak. Ia tak bisa keluar dari otentisitas dirinya. Itulah karakter Prabowo. Susah dirubah, kendati banyak yang kasih saran bahwa politik itu butuh sedikit acting. Prabowo tetap tak bisa berakting. Wajahnya satu dan normatif. Padahal dlm politik menuntut pelakunya utk dapat bermain dgn seribu wajah.

Selain tak suka mencitrakan diri, kekurangan Prabowo yang lain adalah diam dan cenderung pasif ketika dirinya diisukan (dicitrakan) buruk oleh orang lain. Kasus Ratna Sarumpaet (RS) adalah contoh yang terbaru.

Dibohongi RS, lalu ditelanjangi habis-habisan di media dan medsos. Jenderal lugu, kata salah seorang politisi Hanura. Dicurigai Romahurmuziy sebagai pihak yang merekayasa. Dilaporkan ke polisi sama Farhat Abbas. Apa jawab Prabowo?

Prabowo konferensi pers, minta maaf. Pesan kepada Sandiaga Uno, untuk tetap berempati kepada RS. Memaafkannya. Prabowo benar, seorang pemimpin harus bisa memaafkan orang yang berani mengakui salah. Soal hukum, itu masalah lain. Mesti berjalan sesuai undang-undang yang berlaku.

Secara organisatoris, RS sudah jauh off side. Sikap Prabowo yang minta RS mundur itu sangat tepat. Menunjukkan sikap yang tegas. Kasih punishmen, sekaligus pelajaran untuk yang lain.

Beberapa hari sebelumnya, ketika Prabowo dengar dari Nanik S. Deyang bahwa RS telephon Nanik kalau RS berbohong, Prabowo utus orang kepercayaannya yaitu Ustaz Sambo. Jumpa RS. Bicara dari hati ke hati. Melalui Ustaz Sambo, Prabowo hanya minta satu hal: RS mesti jujur. Jujur sejujur jujurnya. Mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi. Jika RS selama ini bohong, RS harus bilang ke publik bahwa ia telah berbohong. Kejujuran lebih utama dari apapun. Dan RS kemudian konferensi pers, didampingi Ustaz Sambo. RS mengakui semua kebohongannya.

Siapa yang berbohong? RS! Prabowo bohong? Tidak! Meski juga minta maaf ke publik, Prabowo tetap diserang. Berhari-hari, Prabowo dibully, dan seperti hendak dihabisi. Polanya sistemik. Ada kesan kuat sangat terencana. Publik jadi bertanya: ada skenario apa? Siapa sebenarnya pemain di belakang RS.

Jika tim Prabowo yang berada di belakang RS, apa susahnya polisi mengungkap dan menangkap. Untuk mengungkap kebohongan RS saja hanya butuh waktu semalam. Datanya lengkap, detil dan komprehensif. Tentu, polisi juga punya kemampuan mengungkap dalang di balik kebohongan RS. Kita berharap, polisi gesit dan obyektif mengungkap dalang di balik kasus RS. Jika ada. Siapapun orang itu dan dari kelompok manapun. Harus diungkap! Wajib! Ini pelajaran moral untuk anak bangsa kedepan. Ini menyangkut etika politik yang akan diwariskan. Jika tak terungkap, justru akan menyisakan tanda tanya besar. Bukan hanya tanda tanya, tapi malah kecurigaan.

Beberapa hari ini, ada kesan Prabowo jadi target hukum dan politik. Yang orang lupa hitung bahwa mengejar Prabowo sebagai target kasus RS justru akan memberi panggung jenderal lugu dan polos ini untuk berpeluang mendapat simpati dan empati dari rakyat. Prabowo akan dapat citra natural sebagai jenderal yang selalu terdzalimi. Mirip seperti SBY di tahun 2004. Semakin dicaci dan dibully, Prabowo semakin berpeluang jadi presiden. [mc]

Jakarta, 7/10/2018.

*Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.