Nusantarakini.com, Jakarta –
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng :
“Warga Kendeng Berdoa di Tugu Yu Patmi untuk Keberangkatan Petani Kendeng Aksi di Jakarta.”
Pucung :
Saru siku
Sirna sedayane laku
Budal nyang Jakarta
Pingin ktemu Pak Jokowi
Tetep hayu keturutan sing di jongko.
Mengawali peringatan Hari Tani Nasional 2018 yang jatuh pada Senin, 24 September, kami petani Kendeng yang tergabung dalam JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng), mengadakan brokohan pada hari ini 23 September 2018, bertempat di Monumen Tugu Yu Patmi, Desa Larangan Kec. Tambakromo Pati. Brokohan sebagai ritual rutin yang selalu kami lakukan, disaat hendak memulai masa tanam, disaat panen, saat usai panen maupun saat-saat khusus seperti Hari Tani Nasional, sebagai wujud syukur atas berkah yang telah diberikan Allah SWT melalui kasihNYA pada ibu bumi, “ibu” yang selalu memberi tanpa meminta balasan. Sebagai manusia yang diciptakan luhur berakal budi dan berakhlak mulia sudah selayaknya dan seharusnya rasa syukur itu diwujudkan dengan memperlakukan bumi layaknya kita memperlakukan ibu kandung kita, mengasihinya, menyanyanginya dan merawatnya bukan malah meracuninya dan menghisap (mengeksploitasi) habis-habisan tanpa memperhatikan keseimbangan dan daya dukungnya.
Hari Tani Nasional yang selalu diperingati setiap tanggal 24 September, bagi kami petani bukan hanya sekedar “upacara atau rutinitas” belaka, tetapi bermakna amat dalam karena menyangkut keselamatan bangsa dan negara. Petani sebagai tulang punggung pangan bangsa sudah seharusnya menjadi perhatian utama bagi kebijakkan pembangunan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kedaulatan di bidang pangan (bukan hanya swasembada beras) adalah kunci bagi keberlangsungan seluruh proses pembangunan. Bagaimana rakyat bisa berperan aktif dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara jika masalah pangan masih bergantung dengan import. Bagaimana negeri ini bisa mandiri sebagai bangsa yang besar jika masih bergantung dengan import.
Hari Tani 2018 menjadi istimewa bagi kami petani, khususnya petani Kendeng dan petani-petani daerah lain yang saat ini tengah menghadapi ancaman kehilangan lahan garapan akibat dari penambangan dan ekspansi pabrik semen. Sumber-sumber mata air yang menjadi pemasok kebutuhan hidup baik untuk pertanian, peternakan maupun kebutuhan manusia terancam musnah akibat ditambangnya kawasan karst Pegunungan Kendeng sebagai kawasan karst menyimpan ribuan mata air dan sungai bawah tanah yang selama ini telah memberikan hidup dan penghidupan kepada jutaan makhluk hidup yang ada di dalamnya terancam musnah jika penambangan batu kapur dan industri semen tetap diizinkan dan mengeksplorasinya. Bagaimana kita bisa berdaulat dalam pangan jika lahan-lahan produktif rusak/ dirusak/ musnah akibat salah mengambil kebijakkan. Sudah sangat jelas bahwa sesungguhnya kebutuhan pangan (bahan pokok) sebisa kita penuhi sendiri tanpa harus mengimport JIKA pemerintah secara sadar dan serius memberdayakan petani.
Keanekaragaman tanaman pokok yang dimiliki bangsa ini seharusnya terus dilestarikan keberadaannya, sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk “selalu mengimport beras” yang justru menjadi buah simalakama bagi semua pihak, tidak hanya bagi negara yang menjadi amat rentan secara ekonomi tetapi juga nasib petani beras menjadi korban bagi kebijakkan ketergantungan pada import beras. Disaat panen yang seharusnya menjadi “hari pesta” bagi petani tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Disaat masyarakat pedalaman bisa mandiri dalam hal pangan karena bahan pokok mereka bukan beras, menjadi amat tergantung dengan beras akibat lahan-lahan produktif dan hutan-hutan yang telah turun temurun menghidupi mereka dengan sagu/ keladi/ ubi kayu dll telah beralih fungsi menjadi daerah tambang/ industri dan kebijakkan politik beras demi terserapnya target import.
Seperti kita ketahui bahwa hasil KLHS Pegunungan Kendeng telah merekomendasikan untuk menjadikan kawasan Kendeng sebagai kawasan lindung geologis, tetapi pemerintah tidak kunjung menindaklanjutinya. Belum lagi secara hukum masyarakat Kendeng telah memenangi gugatan secara hukum untuk pencabutan izin pabrik semen, tetapi justru pemda Jateng mengeluarkan izin baru di area yang sama (walaupun luasannya dikecilkan ) dengan izin yang telah ditetapkan oleh MA untuk dicabut. Hal-hal di atas yang menyebabkan keprihatinan yang mendalam bagi petani. Betapa sulitnya menjadi petani di negeri sendiri. Negara yang seharusnya melindungi seluruh rakyatnya (termasuk petani) untuk berkarya dan berkontribusi mengisi kemerdekaan ini justru telah abai kepada petani khususnya petani Kendeng.
Kami akan terus mbudidaya sekuat tenaga untuk mengingatkan pemerintah baik Presiden, Gubernur, Bupati dan jajarannya untuk kembali kepada khitahnya sebagai pengayom dan abdi rakyat. Untuk selalu membuat kebijakkan yang tidak hanya berpikir jangka pendek memperoleh pendapatan dengan mengizinkan investasi guna mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memikirkan nasib bangsa ini dalam jangka panjang secara menyeluruh. Bagi kami, bertani tidak hanya sekedar menanam dan memanen tetapi bertani adalah BUDAYA. Bangsa ini akan hancur dan musnah jika budaya itu rusak akibat salah dalam menentukan arah kebijakkan pembangunan. Dengan adanya hasil klhs harus Presiden dalam menyelesaikan kasus kendeng tidak bertele-tele lagi. Penyelesaian kasus Kendeng akan jadi bukti keseriusan pemerintah memperhatikan nasib para petani, pertanian, pangan dan lingkungan hidup. Sehingga dapat menjadi inspirasi bagi daerah lain khususnya di Hari Tani. Untuk itu, mandat penyelesaian kasus dan penyelamatan Pegunungan Kendeng harus dituntaskan sebagai janji Presiden di Istana Negara pada tanggal 2 Agustus 2016. [mc/rilis]
Salam Kendeng
Lestari
Narahubung JM-PPK
Gunretno : 0813 9128 5242
Ngatiban : 0813 4847 9183