Nusantarakini.com, Bandung –
Keonaran dan hantu mencekam sedang beroperasi di bumi Melayu. Kenapa bumi Melayu? Ada apa? Untuk apa?
Sejak Jokowi berkuasa telah merangsang meningkatnya gerakan politik dengan sentimen suku dan agama. Satu yang paling menyita perhatian ialah dinamika gerakan politik di basis puak Melayu. Yang paling menonjol ialah Riau dan Asahan – Tanjung Balai. Pada saat yang sama, dari basis ini muncul pula tokoh populer dan icon Non-Jokowian–untuk membedakan dengan Jokowian, yaitu pendukung politik dan kultural Jokowi–yaitu seorang ustadz tipikal-protagonis, Abdul Somad, MA.
Apakah ini suatu kebetulan, rasanya tidak. Sebab tampak di sana ada jejak design tesa – anti tesa. Bila tesanya adalah Jokowi, maka Abdul Somad adalah anti tesanya. Jokowi membawa basis pendukung populisme pelangi, Abdul Somad juga memanggul basis pendukung populisme hijau atau Islam. Pelan dan senyap, tengah bertarunglah antara populisme pelangi, dengan populisme Islam. Pelangi lawan hijau.
Ketika dua tahun lalu, di Riau bergolak penolakan mahasiswa terhadap kedatangan Jokowi di wilayah itu, dengan cepat kita menyadari, bahwa ada gejala politik identitas tengah bekerja. Ketika terjadi pembakaran klenteng di Tanjung Balai dua tahun yang lalu, dengan segera kita sadar bahwa awal dari design politik intelijen tengah bekerja.
Dua tahun setelah itu, kasus Meiliana yang protes azan pakai mik, dan kemudian menggelinding ke pengadilan, maka genaplah perkiraan kita. Pematangan tengah bekerja. Dua tahun kemudian, Neno Warisman diprovokasi untuk dihadang paksa oleh orang-orang kiriman ke sana, yang hampir pecah menjadi benturan, maka genaplah perkiraan kita bahwa: Riau, Tanjung Balai, tengah dijadikan sebagai hotspot untuk suatu konflik dengan sentimen agama, identitas kultural dan geopolitik.
Kenapa geopolitik? Karena bila konflik meledak, negara-negara Melayu sekitar, seperti Malaysia dan Brunei, tentu akan tersulut. Kemudian yang memenangkan pertarungan memperebutkan kursi gubernur adalah putra Melayu yang tentara, Edy Rahmayadi, bukan Djarot, orang kiriman dari Jakarta, maka makin jadilah basis bumi Melayu yang membentang dari Sumut hingga Bangka, berkembang sebagai potensi konflik besar yang laten.
Hanya kedewasaan masyarakat setempat yang masih berpikir jernihlah yang dapat diharapkan untuk mengendurkan suasana. Adapun Jakarta tampaknya tidak menghiraukan, malahan jangan-jangan Jakartalah yang justru mendesainnya dengan maksud arena kontestasi dan adu tarung politik.
Kemunculan Abdul Somad yang ngetop yang lahir dari Asahan dan berkiprah di Pekanbaru, apakah suatu kebetulan? Entahlah.
Penting juga mempertimbangkan di sini bahwa konglomerasi tambang dan perkebunan dan kehutanan dengan skala raksasa bisa jadi mengambil manfaat dengan hadirnya instabilitas kawasan di bumi Melayu. Sebab hal semacam itu lebih menguntungkan dan lebih menjaga supremasi korporasi atas penduduk. Rumus yang berlaku ialah, dimana ada instabilitas, di situ korporasi tengah bermanuver.
~ Syahrul E Dasopang