Tausiah

Memetik Hikmah dari Perjalanan Pulang ke Desa

Nusantarakini.com, Bekasi –

Beberapa waktu lalu aku pulang kampung. Beberapa hari aku di sana. Aku kembali merasakan hidup yang normal. Dan sungguh memberi banyak arti dan renungan bagiku.

Ya, aku katakan normal. Aku dapat membandingkan kehidupan kejiwaan di desa dengan keadaan di Jakarta. Keadaan hidup di Jakarta, secara spritual jauh dari normal. Aku berani bertaruh, kukira penilaianku benar saja. Boleh dikata, kehidupan spiritual masyarakat kota sekompleks Jakarta, sudah hancur dan rusak berat. Walaupun ada yang masih tersisa secara normal, jumlah manusianya tak seberapa dibanding yang sudah hancur. Itulah sebabnya mungkin belakangan agama makin dicari dan digandrungi oleh masyarakat kota untuk mengobati kehancuran jiwa mereka.

Lainlah halnya dengan masyarakat desa. Ekosistemnya masih segar. Orang-orangnya masih berpikir sederhana. Tapi bukan berarti tidak masuk virus kota yang merusak suasana batin di desa. Salah satunya, semakin berkembangnya virus egoisme dan sikap cuek berlomba kesenangan di desa.

Akibat perkembangan hubungan kota dan desa yang makin intensif, sifat masyarakat kota yang individualistik dan sangat ganas memburu kesenangan duniawi dan perlombaan harta, makin menjangkiti masyarakat desa. Akibatnya timbullah egoisme dan kriminalitas yang sebelumnya tidak terbayangkan.

Kembali ke kota. Begitu masuk ke dalam perut pesawat, aku mendapati manusia-manusia kota yang individualistik, mendahulukan kepentingan pribadi secara ganas, memasang muka keras dan bengis, awas terhadap orang yang dapat mengancam kesenangan pribadinya, dan begitu cuek. Tapi tetap mereka tidak lupa untuk mengesankan diri untuk menonjol dan menimbulkan daya tarik material bagi orang lain lewat medium penampilan visual mereka yang didandani sedemikian rupa. Begitulah resamnya masyarakat kota yang spritualnya rusak parah, kendati kadangkala hal itu tidak mereka sadari dan akui sebagai suatu penyakit jiwa yang busuk.

Aku dapat menyelami prikebusukan sisi spritual masyarakat kota, karena aku sudah puluhan tahun hidup dan bergaul di lingkungan kota yang kompleks seperti Jakarta. Bahkan aku dapat mengenali harapan terdalam dari kehidupan mereka secara umum, lengkap dengan kebusukan logika yang tak mereka akui dan sadari. Aku kenal hal itu, karena separuh hidupku dijalani di kampung yang masih menghargai kehidupan yang normal, asli dan seharusnya. Di situ aku mendapatkan perbandingan dan cermin kehidupan.

Sebetulnya masyarakat kota jauh lebih didera rindu untuk hidup normal, murni, tenang sentosa, dan penuh dengan kebaikan daripada masyarakat desa sendiri. Itu karena hati nurani setiap anak Adam membawa potensi alaminya untuk meresapi hidup baik dan murni.

Akan tetapi, bentukan sosial ekonomi dan budaya masyarakat kota yang berakar individualisme yang tinggi untuk mempertaruhkan dan mempertahankan hidup masing-masing itulah penyebab rusak parahnya kehidupan sosial dan budaya di kota. Mengubahnya kembali menjadi normal hanya bisa bilamana semua pranata yang sudah terbentuk membesi itu diruntuhkan dan dibangun kembali. Tapi apa bisa dan sempat hal itu dipikirkan dan dikerjakan ulang?

Seperti yang disebutkan di atas, agama jauh lebih digandrungi di kota daripada di desa hari-hari ini, itu karena kebutuhan akan agama sebagai solusi praktis penawar hati mereka yang rusak parah memang tersedia pada agama. Maka agama yang murni dan mengutamakan akhlak dan perbaikan moral, haruslah dituangkan ke dalam bejana hatiku masyarakat kota yang haus hidup yang normal, fithri dan tenang dan mantap, dapat diberikan oleh para pelakon agama. Kadang sayangnya, para pelakon agama justru korup dan memanipulasi agama demi hal materi yang menjadi sumbu persoalan kejiwaan masyarakat kota. Itu yang berusaha ditinggalkan oleh orang-orang kaya kota, itu pula yang dipungut oleh pengamal agama. Itu karena banyak pengamal agama terasuki penyakit mental miskin dan mental tamak pada dunia.

Begitulah kehidupan berjalan tiada yang sempurna dan sesuai harapan maksimal setiap orang. Yang jelas, kini agama orang perlukan kembali untuk mengobati patalogi sosial yang terjadi pada masyarakat kota, dan mercusuar bagi masyarakat desa agar senantiasa setia dan tidak menyeleweng dari kehidupan yang normal dan menepiskan rayuan hidup masyarakat kota yang telah terbukti jenuh dan merusak jiwa-jiwa manusia.

~ Kyai Kampung

Terpopuler

To Top