Nusantarakini.com, Jakarta –
Memang sistem Pilpres dan Pileg sekarang ini adalah Sistem Jahiliyah yang harus distop. Kecuali tidak akan mungkin menghasilkan Kepemimpinan yang diinginkan dan dibutuhkan Rakyat, Bangsa dan Negara, juga mengakibatkan Negara kacau dan rusak. Yang akhirnya akan menjadi santapan para penjajah Asing
dan Aseng. Kalau sistem ini berlanjut sampai di 2019, siapa pun Presiden terpilihnya, maka Sistim Jahiliyah ini akan terus berlanjut ke periode berikutnya tanpa berhenti. Oleh sebab itu, harus dihentikan sebelum Pilpres 2019.
Saya dan kawan-kawan pernah mengajukan Uji Materi ke MK (Mahkamah Konstitusi) pada masa Mahfud MD. Istimewa memang, bukan beberapa pasal yang kami mintakan diuji, melainkan semua pasal, dengan berpedoman bahwa setiap pasal punya hubungan satu dengan yang lain sehingga semua pasal menjadi salah. Bahkan tiga undang-undang sekaligus, yaitu UU Kepartaian, UU Pemilu dan UU Perlengkapan Pemilu. Kami terutama ingin mendapatkan respon dari para Hakim MK. Ternyata Sidang tidak pernah dilangsungkan, tetapi muncul Fatwa Putusan yang menolak Permohonan Uji Materi.
Mahfud MD dan para Hakim Konstutusi itu tidak mengerti, bahwa Sistem Kepartaian dan Pemilu itu merusak Konstitusi kita. Sejak zaman Jimly Assiddiqie, saya sudah menyampaikan, bahwa MK model Amandemen itu menyontek Negara-negara Eropa yang Parlementer. Sedang di Negara Presidensiil tak dikenal Mahkamah Konstitusi. Sekalipun begitu, di dalam UUD49 dan UUD50 ada Mejelis Pertimbangan Konstitusi yang tugasnya sama dengan MK, tetapi merupakan bagian dari Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi kita yang ada sekarang sudah dikotori oleh unsur-unsur Politik dan Kepartaian, sehingga tidak lagi independen!
Lebih lanjut, Sistem ini penuh dengan pat-gulipat antar partai, suap-menyuap, macam-macam transaksi, benci-membenci antar golongan, tapi juga mengadakan koalisi-koalisian sebelum Pemilu berlangsung, saling menjatuhkan dengan cara-cara bandit dan Mafia, dan macam-macam kekotoran lain yang tidak umum dilakukan oleh bangsa yang beradab! Dilanjutkan dengan manipulasi suara, jual-beli suara, termasuk serangan fajar. Sesudah Pemilihan usai disusul dengan meminta-minta dan jual-beli posisi Menteri. Wah, wah, wah, bukan main!
Pada akhirnya Ongkos Pemilu menjadi sangat mahal. Konon untuk menjadi seorang Calon Legislatif yang “lolos” dibutuhkan modal milyaran. Bahkan syarat-syarat Kepartaian pun sudah sangat mahal. Kenapa kantor pusat Partai harus di Jakarta? Kenapa harus bersifat Nasional dengan sekian provinsi, kabupaten dan kota; dan tidak bersifat Lokal saja? Kenapa anggota harus sekian ribu minimal. Bukankah masa rakyat punya kemerdekaan menjadi masa mengambang untuk memilih dan tidak harus terikat pada keanggotaan sesuatu partai?!
Orang baik-baik, apalagi tokoh dan cerdik-pandai, tak akan pernah tertarik berebut jabatan lewat Sistem Jahiliyah. Oleh sebab itu mereka tidak mau muncul ke permukaan ikut dalam Bursa Capres dan lain-lain. Mereka yang cerdik-pandai itu, termasuk yang mampu menyelesaikan persoalan ekonomi Indonesia dan lain-lain, pun tidak akan gembar-gembor seakan-akan adalah yang paling pintar sendiri. Lalu bagaimana bisa menjaring mereka?
Perlu diciptakan Sistem Baru yang Akhlakul Karimah, sesuai dengan UUD 45 Asli, khususnya Pasal 1(2), Pasal 6 dan Pasal 28. Setiap partai politik, organisasi masa apa pun, sekalipun non-politik, profesional dan bukan, juga ulama-ulama, termasuk individu-individu di seluruh Indonesia boleh menyampaikan usulan pasangan Presiden dan Wakil Presiden kepada MPR.
Katakanlah ada 500 pasangan calon. MPR melakukan seleksi secara teliti terhadap pasangan-pasangan tersebut, katakanlah sampai 10 pasangan. Kesepuluh pasangan tersebut kemudian diserahkan kepada Panitia Pemilihan Nasional untuk dipilih secara langsung oleh masyarakat luas. Kalau perlu dua tahap pemilihan.
(bersambung)
*Sri-Bintang Pamungkas, Mantan Politisi, Aktivis Senior. [mc]