Nusantarakini.com, Jakarta –
Dewasa ini, karena urusan copras capres, definisi ulama nggak jelas lagi kriteria dan ukurannya apa. Tiba-tiba hanya karena pandai memakai surban dan ikut 212, dan sedikit bisa membaca Alquran dan Hadits, tiba-tiba yang bersangkutan diklaim sebagai ulama.
Uniknya dengan mudahnya pula banyak yang nunut ikut klaim yang dibuat semacam itu.
Lucunya lagi, jika blok yang satu angkat ulamanya, di seberang yang lain juga punya ulama yang mereka angkat sendiri. Akhirnya jadi lucu. Di sana ulama tidak diakui di sini. Di sini ulama tidak diakui disana. Sebenarnya yang punya otoritas ngangkat ulama itu, selera publik atau apa, sih?
Padahal agama sudah sejak awal sekali sangat dengan hati-hati dan ketat ketika memberikan kedudukan bagi seseorang yang punya ilmu luas sebagai ulama.
Ulama itu adalahkedudukan. Kedudukan yang tinggi dan terhormat di mata Allah dan di mata umat, karena kealiman, kewara’an, kezuhudan, keistiqamahan, Keikhlasan, keberanian, keluasan pandangan dan kebijaksanaannya.
Bukan ujuk-ujuk dijuluki ulama. Hanya karena ukuran yang simpel dan dangkal. Intinya ulama bukan julukan seperti bos atau bro.
Bahkan ada orng yang tajwidnya saja belepotan, sudah dianggap saja ulama.
Innamal ulamau waratsatul anbiya. Hanya para alim/ulama yang pewaris para Nabi. Tentu tidak mudah bukan mewarisi ilmu, kebijaksanaan, karakter dan pandangan hidup seorang Nabi?
Apa ada yang sanggup mengabaikan kelezatan dunia dan kenikmatan popularitas demi agama seperti para Nabi itu di zaman sekarang ini pada mereka yang telah dengan santai mau menerima sebutannya sebagai ulama?
~ Syahrul E Dasopang