Benarkah Jokowi Teken PP 32/2018 untuk Menjegal Anies?

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Penandatanganan aturan mengenai tata cara pengunduran diri dalam pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden, permintaan izin dalam pencalonan presiden dan wakil presiden, serta cuti dalam pelaksanaan kampanye pemilihan umum telah diteken Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

Seperti dilansir Tempo.co, selain pengunduran diri, aturan yang tertuang dalam PP Nomor 32 Tahun 2018 itu juga memuat tentang permintaan izin dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. “Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota atau wakil walikota yang akan dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus meminta ini kepada presiden,” demikian bunyi Pasal 29 ayat (1) PP Nomor 32 Tahun 2018.

Ayat selanjutnya dalam pasal itu juga menyatakan bahwa presiden memberikan izin atas permintaan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota atau wakilnya, dalam waktu paling lama 15 hari setelah menerima surat permintaan izin.

Selanjutnya, dalam hal presiden belum memberikan izin dalam waktu 15 hari, izin dianggap sudah diberikan. Surat permintaan izin kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres juga harus disampaikan kepada KPU oleh partai politik sebagai dokumen persyaratan.

Aturan tersebut ditandatangani Jokowi pada 18 Juli 2018, dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada 19 Juli 2018.

Sumber :
https://nasional.tempo.co/read/1109973/jokowi-teken-pp-soal-gubernur-maju-pilpres-harus-seizin-presiden

Dengan keluarnya PP ini, sebenarnya siapa yang mau disasar? Karena seperti ramai diperbincangkan, nampaknya keputusan politik Jokowi ini seperti “ada udang di balik batu.” Karena yang yang mau disasar adalah
Anies Baswedan. Benarkah?

Mari kita berpikir jernih. Pertama, yang mengusulkan seseorang menjadi Capres-Cawapres adalah parpol-parpol pengusutan. Menurut aturan saat ini yg memiliki jumlah kursi di DPR sebesar 20%.

Kedua, parpol-parpol pengusung, sesuai dengan jadwal KPU dapat mendaftarkan Capres-Cawapres pada tanggal 4-10 Agustus 2018. Artinya setelah tanggal 10 Agustus barulah diketahui siapa yang sesungguhnya didaftarkan oleh parpol-parpol pengusung.
Dalam hal Anies Baswedan, barulah yang bersangkutan mendapat kepastian apakah diusung oleh parpol jadi Capres atau tidak.

Ketiga, bagaimana mungkin seorang gubernur yang belum tahu akan diusung menjadi capres atau cawapres mengajukan izin cuti kepada Presiden? Apalagi dibatasi dengan waktu 15 hari sebelum pendaftaran.
Kalau dihitung mundur berarti 15 hari sebelum tanggal 10 Agustus 2018, jatuh pada tanggal 27 Juli 2018.
Sedangkan PP tersebut ditandatangani tanggal 18 Juli 2018 dan diundangkan tanggal 19 Juli 2018 atau seminggu sebelum batas waktu 27Juli 2018.
Dan kita baru tahu hari ini tanggal 24 Juli 2018 atau 3 hari menjelang tenggat tanggal 27 Juli 2018.

Keempat, logika hukumnya, seharusnya izin cuti baru diproses setelah ybs didaftarkan oleh parpol-parpol pengusung. Atau diajukan pada tanggal 11 Agustus 2018. Sebelum jadi calon definitif, barulah sekedar Bakal Calon Presiden-Wakil Presiden.
Setelah diverifikasi seluruh persyaratannya oleh KPU, barulah ditetapkan sebagai Capres-Cawapres.
Aturan izin cuti dalam PP di atas sangat tidak logis.

Kelima, izin cuti hanyalah aturan administratif saja. Tidak boleh menghambat seseorang untuk dicalonkan sebagai Capres maupun Cawapres. Jadi izin ini bukan sesuatu yang dapat digunakan untuk mematikan langkah lawan.

Nah, dengan aturan seperti ini semakin terlihat kekhawatiran majunya Anies Baswedan sebagai Capres? Atau jangan-jangan Jokowi panik akan bergulirnya dorongan banyak pihak yang menggadang-gadang Anies maju Pilpres 2019? Sehingga dengan berbagai cara akan berusaha untuk menjegal “pembantai” Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 kemarin? Wallahu’alam…. [can/erc]

*Diolah dari berbagai sumber.