Nusantarakini.com, Jakarta –
Gelembung simulakra pencitraan telah mengharu biru jelang gebyar bursa pilpres 2019. Simbolisme pemimpin “santun” terus di reproduksi di tengah punahnya adu argumentasi yang diagungkan para pemuja reformasi.
Berbeda dengan negara demokrasi lain seperti Malaysia maupun Filipina yang semakin mengarah pada sosok pemimpin tegas dan asertif. Lagi-lagi di Indonesia aksi saling puja-puji sesama tokoh politik berlangsung tanpa perdebatan.
Namun estetika media yang diharapkan menciptakan keindahan, apa lacur telah menciptakan stagnasi demokrasi. Dari luar tampak terjadi musyawarah mufakat tentang figur capres, namun egosentrisme kepartaian justru sedang berada dalam masa subur dengan berebut cawapres.
Kosmetik politik yang dikuasai segelintir oligarki dan pemburu rente akan terus melakukan kriminalisasi terhadap figur baru dan tokoh muda. Oleh karena itu, yang perlu dicemaskan sekarang bukanlah pemimpin arogan, tapi arogansi kemunafikan yang ditutupi oleh senyum artifisial. [mc]
*Ziyad Falahi, Pengamat Sosial Politik.