Nusantarakini.com, Jakarta –
“Winning a World Cup can almost reboot a whole nation. I am not talking politically, because you have a lot going on there at the moment, but it will definitely restore some pride.” (Juergen Klinsmann, Mantan Pemain dan Pelatih Timnas Jerman).
Gempita tentang Lalu Muhammad Zohri berangsur mulai reda. Ada beberapa isu yang menonjol. Pertama, rumah Zohri yang reyot. Kedua, ‘tak ada’ bendera Merah Putih. Ketiga, banjir simpati dan janji hadiah. Seperti biasa aspek emosi yang lebih menonjol. Itu tak selalu berarti buruk. Bahkan itu sesuatu yang bisa bermanfaat asal terkelola dengan baik. Juga sesuatu yang wajar jika aspek emosi lebih cepat menyergap perhatian publik. Itu manusiawi.
Olahraga bukan sekadar menggugah emosi, tapi juga harga diri dan perasaan bersama suatu bangsa. Hal itulah yang dikatakan Juergen Klinsmann, mantan pemain sepakbola top dunia asal Jerman. Ia pernah memimpin kesebelasan Jerman menjadi juara Piala Dunia 1990 (saat itu masih Jerman Barat) dan juara Piala Eropa 1996. Memang Klinsmann sedang bicara sepakbola, tapi itu sebetulnya bisa berlaku untuk semua cabang olahraga pada umumnya, tergantung pada tingkat perhatian masyarakatnya. Kemenangan dapat menghidupkan seluruh bangsa dan mengembalikan kebanggaan bangsa. “The public saw themselves in the faces of all the players,” katanya. Ia bisa melihatnya saat orang-orang memandang wajah sang juara.
Di tengah paceklik prestasi, kemunduran ekonomi, dan konflik politik tiada henti – reformasi telah memasuki tahun ke-20 tapi cita-cita Proklamasi masih jauh dari tercapai dan pendapatan perkapita tak kunjung beranjak jauh dari angka sekitar 3.500 dolar AS sejak sekitar 10 tahun ini – maka prestasi Zohri (kendati di nomor junior) menjadi oase yang luar biasa. Apalagi kemudian didapati fakta bahwa Zohri berasal dari keluarga kurang mampu. Rumah yang ia tinggali bersama kakaknya, Baiq Fazilah, terbuat dari kayu dan gedek bambu. Sebagian sudah bolong-bolong dan lapuk sehingga harus dilapis koran. Atapnya yang dari asbes juga sudah bocor-bocor. Tempat tidur Zohri hanya amben tanpa kasur, tempat pakaiannya hanya rak belaka. Rumah berukuran sekitar 6 x 10 m itu merupakan peninggalan kedua orangtua mereka. Lalu Ahmad Yani, ayahnya, wafat pada 2015. Disusul ibunya, Saerah, pada 2017. Zohri merupakan anak keempat dari empat bersudara, bungsu. Orangtuanya adalah nelayan.
Rasa pilu publik makin terkuras seiring terus terungkapnya perjalanan hidup dan perjalanan karier Zohri. Zohri pemain yang ditempa oleh alam. Kemiskinan yang menghimpitnya membuat dirinya ke mana-mana harus berjalan kaki dan berlari, tanpa sepatu. Saat SD jarak ke sekolah dari rumahnya sekitar satu kilometer. Untuk ukuran kampung masih dekat. Saat SMP jarak dari rumah ke sekolah sekitar empat kilometer. Rumahnya yang di dekat pantai – kampung Karang Pangsor, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat — juga dimanfaatkan untuk latihan lari. Kedua kakaknya bekerja di Gili Trawangan, pulau objek wisata paling masyhur di NTB. Kampungnya dekat di titik penyeberangan ke pulau tersebut. Karena harus menyeberang maka kakaknya tak selalu pulang tiap hari.
Hingga kini, Zohri sudah mengumpulkan sekitar 20 medali. Namun kehidupannya tak beranjak baik. Ia hanya mampu membeli sepeda motor buluk seharga Rp 1 juta. Untuk ikut kejuaran tingkat Asia tahun lalu ia hanya dibekali uang Rp 100 ribu dari kakaknya dan juga dari gurunya di PPLP Rp 100 ribu. Pemkab dan Pemprov setempat juga tak memberi uang saku. Hal ini misalnya berbeda dengan rekannya, Zubaidi, dari Kota Mataram, NTB, yang ikut di kejuaraan yang sama tapi diberi uang Rp 500 ribu oleh Pemkot Mataram.
Insiden Bendera dan Banjir Simpati
Dari tayangan video, setelah Zohri mencapai finish dan menang, ia tampak celingukan. Berlari ke sana ke mari mencari ofisial untuk mengambil bendera. Bahkan Zohri sempat keluar pembatas mencari bendera. Ya, seperti lazimnya terjadi, pelari akan mengambil bendera dan menyelimuti tubuhnya. Hal itu juga dilakukan dua pelari Amerika Serikat, Anthony Schwartz dan Eric Harrison, yang menjadi juara kedua dan ketiga. Mereka langsung disodori bendera. Lalu wartawan meminta mereka bertiga berfoto bersama. Zohri tanpa bendera. Tapi entah bagaimana ada pria bule memberi bendera ke Zohri. Zohri sempat mengecek bendera itu sesaat setelah ia sarungkan di punggungnya. Seolah tak yakin.
Insiden inilah yang membuat publik kecewa dan mengecamnya. Mengapa ofisial tak menyiapkan bendera. Mengapa KBRI Helsinki tak menyiapkan bendera. Kekecewaan yang wajar dan bisa dimengerti. Walau tentu dosisnya tak perlu berlebihan. Dan, jangan kehilangan fokus dari kegempitaan prestasi ini. Pihak KBRI akhirnya memberikan penjelasan bahwa ofisial tidak bisa mendekati pelari. Bendera Amerika pun dititipkan ke wartawan Amerika yang meliput lomba lari ini. Namun ada yang tak bijak dari jawaban KBRI: hanya superman yang bisa melakukan dengan segala pembatasan tersebut. Jawaban bagian ini tak perlu. Apalagi kemudian ditambahkan bahwa pihak KBRI sudah melakukan sejumlah hal seperti menyiapkan makanan dan ini itu. Ah….
Sebetulnya dari awal sudah ada yang janggal. Yakni ketika pelari galah gagal meloloskan galahnya ke pesawat sehingga tak bisa ikut lomba. Yang ganjil juga mengapa pelatih utamanya, Eni Sumartoyo, justru tak ikut. Yang mendampingi Zohri adalah asisten pelatih. Hingga kini belum ada penjelasan resmi tentang hal ini.
Keberangkatan Zohri dkk memang bukan untuk menjadi juara. Para pesaingnya memiliki catatan waktu yang jauh lebih baik. Schwartz misalnya memiliki catatan waktu 10,07 detik. Jauh di atas capaian Zohri sebelumnya yang 10,25 detik. Namun di final Zohri mencatat 10,18 detik dan Schwartz 10,22 detik. Bahkan di penyisihan, pelari lain memiliki catatan waktu yang lebih baik dari Zohri. Karena itu Zohri ditempatkan di line 8. Line paling tak menguntungkan karena di pinggir dekat penonton. Ini artinya catatan yang diraih Zohri di semifinal adalah yang terendah. Sejak di Tanah Air, Zohri pun tak ditargetkang menang. Karena itu kemenangan ini mengejutkan, tak terduga. Itu pula yang membuat ofisial dan KBRI tak cukup bersiap diri soal bendera ini. Namun dari kejadian ini, kita tak boleh under estimate. Apalagi catatan waktu Zohri terus meningkat dengan baik.
Semua kenyataan ini membuat Zohri kebajiran simpati. Presiden Jokowi memerintahkan untuk merenovasi rumahnya. REI dan Pemkab Lombok Utara juga berjanji akan memberi hadiah rumah. Ustad Adi Hidayat menjanjikan umroh untuk Zohri. Pengacara Hotman Paris Hutapea berjanji akan memberi hadiah Rp 100 juta. Ada pula yang berjanji akan memberikan emas sebagai tabungan.
Semua itu, emosi yang wajar. Namun ada saatnya untuk kembali jernih agar Zohri makin maju dan tak mundur prestasinya akibat kita salah bersikap. Zohri masih muda, baru 18 tahun. Ia lahir 1 Juli 2000. Agung Suryo Wibowo, pemegang rekor nasional untuk lari 100 m mengingatkan bahwa masa depan Zohri masih panjang. Agung mengingatkan bahwa puncak perjalanan seorang sprinter umumnya terjadi di usia 25 tahun. Eni, pelatih Zohri mencatat, Zohri memiliki potensi yang bagus: postur tubuh yang tinggi, otot-otot yang sudah terbentuk dengan baik, dan motivasi untuk maju yang kuat. Indonesia harus bisa menjaga dan memompanya.
Saatnya Kembali Rasional
Publik umumnya luput terhadap poin-poin penting dari perjalanan Zohri. Walaupun media sudah menyebutnya secara cukup baik: peran guru, keberadaan PPLP, dan PASI. Tiga hal ini yang harus dilihat agar Indonesia fokus mengoptimalkannya.
Rosida. Bakat Zohri mulai terendus oleh guru olahraga SMP-nya, Ny Rosida (46 tahun). Kegemarannya berolah raga, kekuatan fisik dan ototnya, serta kemauannya untuk berkembang membuat Rosida memberikan perhatian khusus kepada Zohri. Rosida adalah guru SMP N 1 Pemenang. Zohri awalnya tak mengikuti nasihat Rosida karena Rosida lebih menyukai sepakbola. Namun saat kelas 3, Zohri mulai mendengar saran gurunya. Zohri yang ke sekolah tanpa alas kaki itu mulai berlatih. Rosida adalah tamatan IKIP Mataram dari jurusal olahraga pada 1995. Awalnya Zohri lebih tertarik pada sepakbola, namun Rosida mengarahkannya untuk menekuni atletik.
Rosida rupanya memiliki daya endus yang baik. “Alhamdulillah feeling saya benar,” kata Rosida. Ia mengaku sudah mengorbitkan dua atlet hingga ke tingkat nasional. Rosida memang berlatar belakang seorang atlet. Ia atlet lompat jauh. Ia pernah juara Porda NTB. Dari sana ia bisa mengikuti kejurnas atletik di Stadion Madya Senayan, Jakarta, pada 1990. Ia memang gemar menekuni olahraga. Pendidikan menengahnya pun ditempuh di Sekolah Guru Olahraga.
Menurut Rosida, saat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sore hari, Zohri tetap menolak ikut berlatih atletik. Ketika kawan-kawannya berlatih, ia hanya duduk-duduk di pinggir lapangan. Tapi Rosida tak menyerah. “Saya punya feeling [terhadap Zohri untuk menjadi pelari],” katanya. Hal itu ia lihat dari tungkai, postur tubuh, dan cara jalannya. Zohri cocok untuk menjadi sprinter. Menurutnya, postur tubuh saja tak cukup karena seorang sprinter butuh keseimbangan.
Berkat dorongan Rosida, akhirnya Zohri menekuni olahraga lari. Zohri menyerah dan pasrah pada Rosida. Bahkan di masa SMA, Zohri makin tekun berlatih. Kendati Rosida tak lagi menjadi gurunya lagi, Zohri selalu berpamitan dan minta doa setiap hendak mengikuti kejuaraan pada orang yang kali pertama memberinya dorongan untuk menjadi pelari. Termasuk ketika hendak ke Finlandia. Zohri rupanya bukan tipikal manusia berjenis kacang yang lupa akan kulitnya.
PPLP. Berkat kemampuannya dalam olahraga lari ini, Zohri diterima di PPLP, yaitu Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar. Lembaga ini dibentuk pemerintah sejak tahun 1990an, yaitu oleh salah satu ditjen di Depdikbud (kini Kemendiknas). Namun setelah reformasi, PPLP pindah ke Kemenpora. Awalnya, tak semua provinsi memiliki PPLP. Kini semua provinsi telah memiliki PPLP. Di masa Adhyaksa Dault sebagai Menpora, keberadaan PPLP mulai diperhatikan secara sungguh-sungguh. Apalagi saat itu ia memiliki program Indonesia Emas. “Fasilitas dan rekrutmennya diperbaiki,” kata Adhyaksa. Fasilitasnya menjadi berstandar internasional. Rekrutmen dilakukan dengan ketat agar tidak asal-asalan.
Melalui PPLP, pelajar yang memiliki bakat di bidang olahraga direkrut. Mereka diasramakan. Yang ideal, tiap PPLP memiliki sekolah sendiri, seperti di Ragunan, Jakarta. PPLP ini merekrut pelajar dari tingkat SMP hingga SMA. Di tingkat perguruan tinggi, ada PPLM. Di PPLP inilah atlet-atlet dibina dan digodok. Keberadaan PPLP ini sangat efektif. Atlet-atlet daerah umumnya binaan PPLP. Berdasarkan pengakuan, sebagai contoh, sekitar 70 persen atlet-atlet PON Sumatera Utara berasal dari PPLP. Dan kini, Zohri merupakan atlet yang beranjak dari PPLP. Sangat disayangkan, saat ini ada wacana untuk mengalihkan PPLP tak lagi berada di bawah Kemenpora tapi dikembalikan lagi ke Kemendiknas. Tentu ini sebuah langkah yang salah. Fokus Kemendiknas adalah pendidikan, sedangkan PPLP fokus ke olahraga. Pendidikan merupakan pelengkap agar atlet tetap tak kehilangan peluang untuk menyelesaikan jenjang pendidikannya. Menjadi atlet itu sangat singkat, sedangkan perjalanan hidup lebih panjang. Karena itu mereka tetap harus menyelesaikan setiap jenjang pendidikannya.
Data 2009, di seluruh Indonesia terdapat 1.710 atlet yang dibina 33 PPLP. Sekitar 64 persennya adalah laki-laki. Sedangkan jumlah pelatihnya adalah 378 orang. Dari total atlet di PPLP, yang terbanyak adalah atlet atletik (20,2 persen), disusul pencak silat (12,9 persen), sepak takraw (9,9 persen), sepakbola (9,7 persen), dan dayung (8,9 persen). Dari sinilah bibit-bibit atlet nasional berawal.
Pada 2015, saat Kelas 3 SMP, Rosida mendaftarkan Zohri di kejuaraan daerah atletik NTB di nomor 100 m dan 200 m. Zohri menang di dunia nomor-nomor itu. Pada 2016, saat memasuki SMA, Zohri ikut tes masuk PPLP dan lolos. Kini Zohri duduk di Kelas 3 SMAN 2 Mataram, ibukota NTB. Ia tak lagi tinggal di Lombok Utara, tapi di asrama PPLP. Ada 14 kamar di asrama ini. Sejak saat itu, Zohri dididik atletik secara lebih baik. Tekniknya diperbaiki, latihannya lebih terukur. Sejak saat itu ia bisa mencetak prestasi di tingkat nasional.
PASI. Setiap tahun ada kejuaraan nasional antar PPLP. Pada November 2017, saat kejurnas antar PPLP, prestasi Zohri terpantau PB PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia). Saat itu, Zohri mencatat waktu 10,25 detik. Hal itu membuat geger panitia. Mereka harus mengecek ulang timing system, wind speed, dan jarak trek. Mengapa geger? Catatan waktu itu merupakan rekor nasional baru. Ia memecahkan rekor sebelumnya atas nama Sudirman Hadi, yang 10,45 detik. Ada perbedaan yang cukup jauh, 0,20 detik. Itulah yang bikin terkejut banyak pihak. Karena itu, pada awal 2018, Zohri mulai menghuni pelatnas atletik di bawah PB PASI.
Di bawah PB PASI ia dilatih oleh pelatih kepala Eni Sumartoyo. Selain itu, juga ada konsultan asal Amerika Serikat, Harry Mara. Eni berkisah awal Zohri berlatih di pelatnas. Menurutnya, Zohri masih relatif canggung berlatih dengan ganjal kaki saat start (block start). Eni memang memperbaiki teknik start, teknik berlari, dan juga memperbaiki reaksi. Menurutnya, Zohri memiliki kelebihan dibanding atlet lain karena memiliki frekuensi langkah yang cepat. Ini berkat otot fast twitch yang natural. Ini yang sangat efektif dalam memompa gerakan cepat dalam durasi pendek.
Berkat pelatihan di pelatnas ini, teknik Zohri makin baik. Ia juga memiliki peluang untuk ikut kejuaran di tingkat internasional. Ia mengikuti ASEAN School Games di Filipina dan Kejuaran Atletik Junior tingkat Asia di Jepang pada Juni 2018. Ia menang di dua lomba tersebut. Walaupun catatan waktunya, saat ikut lomba di Jepang masih lebih lambat dibandingkan dengan catatan rekor nasional atas namanya dirinya. Di Jepang ia mencatat waktu 10,27 detik.
Catatan waktu di Kejuaran Dunia Junior di Finlandia pun tak langsung meroket. Di babak penyisihan ia mencatat waktu 10,30 detik. Di semifinal, ia mencatat waktu 10,24 detik. Dan di final ia mencatat waktu 10,18 detik. Hanya terpaut 0,01 detik dengan rekor nasional senior untuk nomor 100 meter yang dipegang Agung Suryo Wibowo. Rekor yang sudah lama belum terpecahkan.
Perjalanan Zohri masih panjang. Semua tak ingin Zohri layu sebelum berkembang. Namun Rosida mengingatkan bahwa Zohri adalah anak yang luar biasa. Ia mempunyai kemauan yang kuat dan disiplin berlatih. Suatu hari ia terlambat menjemput Zohri untuk berlatih. Apalagi hujan deras. Saat ia menyusul ke rumahnya, Zohri tak ada. Ternyata anak didiknya itu sedang berlatih di pantai, di bawah guyuran hujan. Namun bukan itu yang paling membuat kagum Rosida. Saat ia memberi uang, Zohri menolaknya. “Untuk apa Bu,” kata Zohri saat itu. Rosida berucap, “Zohri memiliki harga diri yang kuat.”
Inilah pesan penting Rosida: Menjadi atlet atletik adalah perjuangan mengalahkan diri sendiri. Namun setelah pengorbanan terhadap diri sendiri itu, seperti kata Klinsmann, olahraga bisa menghidupkan energi bangsa dan mengembalikan kebanggaan bangsa. [mc]
*Nasihin Masha, Jurnalis Senior.
(Bahan dari berbagai sumber: Republika, Kompas, Tempo, Tribunnews, dan lain-lain).