Pancasila dan Petani

Nusantarakini.com, Mataram – 

Ditetapkan 1 Juni sebagai “Hari Pancasila”, sampai detik ini masih menjadi bahan perdebatan. Saya tidak masuk ranah itu, yang penting bagi saya adalah “Bagaimana butir-butir Pancasila hadir dalam kehidupan masyarakat miskin yang diabaikan Negara?” Bukan pula, Pancasila yang dijadikan duit, dari P4 sampai PIP yang dinikmati para intelektual menara gading, yang tidak mengadvokasi masyarakat miskin digusur penguasa yang berwatak diktator mayoritas.

Ketika petani mempertahankan tanah yang dicaplok pengusaha (korporasi) atas dasar izin penguasa setempat (feodalisme) tidak terlepas dari dukungan oligarkisme (partai politik) yang memuluskan aturan kepentingan korporasi sekalian merapok APBN secara halus. Itulah yang dirasakan masyarakat petani pergunungan Kendeng di Jateng dan masyarakat petani pergunungan Tambora di Kab. Dompu NTB dsb, disaat mempertahankan tanah yang diserobot dan digusur pengusaha yang kawal ketat alat negara yang bersenjata digaji dengan uang rakyat yang sudah berubah jadi preman pasar yang siap menghilangkan nyawa masyarakat petani. Selain itu, suara menggugat “Pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” dari masyarakat petani tanahnya diseborot dan digusur pengusaha yang bekerjasama dengan penguasa. Tidak hanya itu, terdengar suara menangis histeris dari ibu-ibu tak berdaya melihat tanahnya digusur, yang merupakan sumber utama ekonominya. Disamping itu, uang ganti rugi yang berikan tidak sebanding dengan peradaban yang dibangun.

Petani adalah harapan, petani adalah masa depan, petani adalah ketahanan pangan. Jika petani disingkirkan dan diasingkan sama halnya mengancam ketahanan pangan. Jangan heran, bangsa dan negara, intinya manusia Indonesia menjadi kuli di negeri sendiri. Itu sebabnya, petani wajib dirawat dan dijaga sebagai harapan, apalagi pada saat “Masyarakat Pasca Kapitalis”.

Hari-hari ini, kekuasaan adalah bisnis, partai politik adalah bisnis, bisnis adalah keuntungan dari arti yang negatif, hal ini seharusnya diakhiri. Karena, melahirkan tidak adanya Hak Asasi Manusia dalam institusi Negara. Jika kekuasaan adalah bisnis dan partai politik adalah bisnis, maka akan ada peraturan yang menguntungkan bisnis yang konsepsi berdasarkan kapitalisme liberal. Apalagi semangat kapitalisme liberal sangat kontradiksi dengan semangat Pancasila yang sosialisme religius, ini menjadi sebab segala sesuatu yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan wajib dihapuskan serta makna Indoneisa Merdeka, 17 Agustus 1945. Semangat Pancasila inilah yang hilang pada pemimpin dan partai politik saat ini, malah pemimpin dan partai politik saat ini adalah semangat liberalisme yang indivindualistik berusaha untuk berkuasa lalu kekuasaan dibagi-bagi dan Hak Asasi Manusia diabaikan.

Alkasih, pemimpin yang menegakkan Hak Asasi Manusia dan keadilan pada seorang Yahudi tua yang rumahnya, dan digusur rata dengan tanah oleh kebijakan Gubernur untuk pembangunan mesjid, pemimpin itu adalah Umar bin Khattab. Sikap Umar bin Khattab itu yang tidak ada dalam pemimpin dan partai politik terhadap masyarakat kelas bawah di Indonesia saat ini? [erc]

*Suparman, Aktivis HMI MPO dan Gemaksi.