Nusantarakini.com, Jakarta –
Istilah judul “Dealership” saya kutif “Rocky Gerung”. Kata Dealership dalam terminologi kepemimpinan politik dan negara: pemiliknya adalah: Rocky Gerung. Judul diatas pun, saya ambil dari inti diskusi bersama Rocky Gerung di Kampus Universitas Diponegoro Semarang pada 29-30 Mei 2018, kemaren pagi hingga sore. Tetapi, saya ingin mulai dari sejarah “Oknum Dealership” memimpin negara. Justru muncul dari dan sejak Pencerahan (Aufklarung) hingga Industrialisasi sektor-sektor negara.
Sejarah industrialisasi selama berabad-abad telah berlangsung lama, mulai dari mesin uap, listrik dan pabrik kertas. Industrialisasi diyakini sebagai jalan menuju kesuksesan ekonomi dengan menaklukkan pasar global.
Industrialisasi pabrik kertas juga memulai sejarah baru tentang awal mula terciptanya alat-alat komunikasi, seperti penulisan Bible pertama di dunia, penulisan Kitab Al-Qur’an dan mesin-mesin ketik yang dimiliki oleh kekuasaan Kristen Roma zaman itu (Baca: Sejarah Teknologi Informasi).
Sebaliknya, para pengejar rente ingin sukses di bidang industrialisasi. Mereka telah menanam milioner modal dan menuai hasil investasi mereka, baik positif maupun negataif selama kurang lebih tiga dekade dengan bersikap responsif terhadap permintaan pasar global.
Negara-negara yang sudah kategori penggerak industrialisasi adalah Amerika Serikat dan China saat ini. Secara kepemimpinan dua negara ini tidak kuat, karena basis pengelolaan negara secara dealershif. Bukan pada kepemimpinan semata. Bayangkan, kalau 21 negara terkuat di dunia serentak memusuhi mereka karena faktor dominasi perusahaan, pabrik, hingga real state yang seolah merugikan banyak negara tempat nereka investasi. Apalagi, China bekerjasama dengan bernagai negara tak pernah menguntungkan pemilik kedaulatan resmi suatu negara. Bekerjasama dengan China sama tujuannya melenyapkan suatu negara yang sah. Karena pengalaman bernagai negara yang bekerjasama dengan China tidak ada yang berhasil, selalu menemui ajal kepunahannya, contoh besar: Turkistan.
Tesis dan analisisnya begini, Dealership mengandalkan kekuatan modal, dimana pengelolaan negara diserahkan kepada swasta tanpa proteksi oleh hukum dan kekuasaan. Modelnya, justru merusak sistem negara karena berakibat pada promosi potensi negara yang bisa dijual ke pihak lain.
Maksudnya, seluruh regulasi negara diserahkan kepada perusahaan atau industri-industri yang selama ini menggerakan sektor saham, investasi, ekonomi dan stabilitas keuangan.
Sementara leadership sangat dibutuhkan oleh suatu bangsa, bukan saja pada manajemen sumberdaya alam. Tetapi, mengelola kehendak rakyat juga penting. Pada sistem negara demokrasi seperti Indonesia, membutuhkan leadership yang kuat (strong), bukannya promosi potensi negara, kemudian lakukan pelelangan kepada seluruh penguasaha-pengusaha investor dari berbagai negara.
Saat ini terjadi, kurun waktu lima tahun, sikap dealershif ditunjukkan oleh Presiden Jokowi disaat menghadiri KTT ASEAN yang mempresentasikan dan menawarkan wilayah kedaulatan Indonesia kepada seluruh pengusaha yang hadir dan nehara-negara asing lainnya. Sementara Presiden negara lain, berpidato hingga saling gertak, saling sikut dan saling menolak pendapat karena soal prinsip, yakni pertahankan kedaulatan negara mereka sendiri. Namun, Presiden Jokowi hadir di KTT ASEAN hanya datang untuk promosikan Indonesia. Sikap ini dapat di katakan Dealership. Padahal Indonesia membutuhkan Strong Leadership, bukan Dealership.
Menurut Bambang Purwoko (2010), katakan Indonesia hadapi kondisi yang dilematis, leaderahip tradisional dianggap tidak demokratis, sedangkan leaderahip modern rendah legitimasi. Banyak leaderahip modern hasil proses demokrasi prosedural yang hanya didukung kurang dari setengah warga yang dipimpinnya. Mereka menjadi leaderahip dengan legitimasi nominal yang rendah.
Ada juga beberapa leaderahip yang didukung kelompok besar masyarakat. Namun demikian, meskipun didukung oleh mayoritas, tidak ada jaminan bahwa mereka bisa menjadi leaderahip yang baik. Nyatanya, kita menyaksikan banyaknya leadership yang tidak memiliki kualitas leadership dan managerial yang pantas. Banyak diantara mereka yang rendah kapasitas, rendah mentalitas, dan rendah pula moralitas.
Strong Leadership itu ketika taste maker Indonesia ditakuti dunia. Sudah pasti negara pesaing tidak akan puas hanya dengan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, akan berusaha mempengaruhi dengan cara apapun. Tetapi kapan itu akan terjadi?. Semoga saja.
Pada 2019 mendatang, Indonesia semakin kompleks dan masa depannya tak menentu. Bisa jadi awal dari lenyap dimuka bumi ataukah selamat diantara banyak negara gagal. Karena, Indonesia saat ini, bukan saja hadapi persoalan pelik di dalam negara. Tetapi, politik luar negerinya pun dibawah cangkokan negara-negara asing, seperti Amerika Serikat dan China.
Maka, untuk mengatasi berbagai persoalan sosial kebangsaan yang terjadi saat ini, maka indonesia pada 2019 mendatang sangat membutuhkan pemimpin yang kuat tegas dan bersih. Pasti ada, tak mungkin tidak ada.
Model tegas, bersih, profetis, harmonis dan kuat itulah menjadi kebutuhan bangsa Indonesia saat ini, karena tidak dapat dipungkiri telah terjadi krisis kepemimpinan: jujur, berani, beraih dan tegas. Sehingga berimbas pada keterpurukan bangsa, seperti saat sekarang ini. Penegakan hukum sangat lemah. Pemimpin seharusnya tidak memenjarakan rakyatnya.
Ya, tentu leadership yang kuat dibutuhkan: syaratnya mereka harus benar-benar paham persoalan bangsa dan metode penyelesaian masalah sosial, ekonomi, hukum, pembangunan, investasi dan politik. Semua itu harus dievaluasi secara menyeluruh. Selain punya integritas dan kapasitas, harus punya leadership yang kuat, karena masalah sangat kompleks.
Kalau negara dikelola seperti Dealership, maka bukan saja merusak tetapi membuat negara terancam hilang dari muka bumi. Ya, model dealer itu: hampir sama dengan leasing motor dan tempat penjualan atau semacam toko perabotan.
Syarat untuk menjadi strong leadership, yakni mendaoat kepercayaan rakyat dan menjalankan amanah penuh kredibilitas. Dengan adanya kepercayaan itu, maka secara otomatis akan memperoleh kejujuran, integritas, kebaikan, keadilan dan hubungan baik.
Harapannya, pada acara pemilu #2019GantiPresiden, pemimpin perlu ungkapkan keinginan dan cita-cita dengan eksplisit, jelas dan mudah dipahami. Sehingga dapat memberi motivasi harapan hidup dan menginspirasi lapisan masyarakat yang memerlukan perhatian khusus.
Lanjut, Bambang Purwoko (2010), bahwa jika banyak masalah kronis dalam kehidupan masyarakat yang tidak bisa diselesaikan dengan baik, sebagian kesalahan sebenarnya bisa ditimpakan kepada para leadership yang tidak becus itu. Tetapi kesalahan lain adalah tanggung jawab masyarakat pemilih. Menurut teori elit, leadership adalah refleksi masyarakat yang dipimpinnya. Masyarakat saleh akan melahirkan pemimpin saleh. Sebaliknya leadership bejat adalah cermin perilaku buruk sebagian besar warga masyarakat. Dalam konteks demokrasi prosedural saat mana pemimpin dipilih secara langsung oleh rakyat, asumsi diatas menemukan pembenaran. Masyarakat baik pastilah akan memilih pemimpin baik.
Apalagi, fenomena pemilu di Indonesia, ketika perusahaan swasta bermain untuk mensukseskan para calon Presiden dengan harapan seluruh peluang bisnisnya harus dalam gengamannya. Tentu, biaya dan logistik apapun akan dikeluarga secara totalitas.
Menurut Rocky Gerung (2018) bahwa disebut dealership? karena praktik dealership itu berupaya mempopulerkan calon pemimpin melalui aneka publikasi hasil survey atau jajak pendapat. Politik dealer bekerja melalui lembaga-lembaga survey yang seolah-olah dapat meloloskan seseorang untuk memenangkan Pilkada maupun Pemilu. Dengan mekanisme ini, yang muncul bukanlah leadership tetapi dealership.
Lanjut, Rocky Gerung (2018), apa yang salah dalam dalam praktik dealership melalui lembaga survei? Kesalahan terletak pada manipulasi proses dan metode. Secara sederhana, jika ada pertanyaan tentang siapakah pemimpin yang paling populer, jawaban masyarakat akan tergantung pada jenis pertanyaan dan cara bertanya. Juga tergantung pada informasi apa yang diperoleh masyarakat dalam periode waktu tertentu. Itulah yang dimanfaatkan dalam politik dealer. Masyarakat terus diguyur informasi dengan kemasan ”citra baik” calon tertentu melalui iklan koran, TV, radio, baliho, poster, dan selebaran; kemudian mereka ditanya tentang siapakah yang paling populer dan pantas menjadi pemimpin. Masyarakat tergiring untuk memilih pemimpin palsu. Mengapa?
Lebih lanjut, Bambang Purwoko (2010), juga ingatkan bahwa meskipun dukungan nominal sangat penting bagi legitimasi pemimpin, popularitas saja tidaklah cukup. Kompleksitas persoalan dan dinamika politik pemerintahan menuntut adanya kapasitas dan mentalitas leadership yang kuat bagi setiap pemimpin. Bahkan survei pun membuktikan bahwa, hanya bermodalkan popularitas saja tidaklah cukup digunakan sebagai modal untuk memimpin. Pemimpin yang berhasil haruslah memiliki kepintaran, jujur dan bisa dipercaya, memiliki empati terhadap kondisi yang dipimpinnya, dan memiliki ketegasan dalam mengambil keputusan.
Oleh karena itu, tidaklah perlu mempraktikan politik dealership yang manipulatif. Rakyat harus bisa memastikan pada 2019 mendatang dengan tidak memilih pemimpin bergaya DEALERSHIP, baiknya memilih pemimpin yang leadershipnya tangguh, tegas, berani dan jujur tanpa kebohongan. [mc]
*Rusdianto Samawa, Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR).