Analisa

Indonesia Pasca Jokowi: Sesudah RRC Sekarang USA

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Rezim Jokowi berhasil meloloskan Undang-Undang Terorisme Baru yang lebih kokoh (tougher). Berita itu sudah menyebar ke seluruh Dunia. Juga Bom Surabaya dan lain-lain sebelumnya. Tentu Amerika Serikat (AS) dan Sekutunya di Barat bergembira-ria, bak invitation to bid.

Perang melawan Islam dan umat Islam itu dilakukan sendiri oleh Negara-negara dengan mayoritas penduduknya yang muslim. Apa yang disampaikan Edward Snowden dan lain-lain, termasuk pengakuan Hillary Clinton, terbukti benar. Bahwa rezim yang memusuhi Islam harus didukung. Dan yang sebaliknya, harus dimusuhi dan dijatuhkan. Apa yang terjadi di Afghanistan, Irak, Mesir, Suriah, Libya, Pakistan, Yaman dan Iran adalah demikian. Tapi tentu rekayasa Allah Swt lebih hebat…!

Kata teror dan terorisme dalam pengertian di atas muncul pertama kali pasca Tragedi 11 September 2001 yang mengguncang New York dan Dunia, belum satu tahun George W. Bush menjadi Presiden. Dalam kemarahannya, AS menuduh Osama Bin Laden dan orang Islam yang menjadi otak penyebab dan pelaku Tragedi 9/11 tersebut. Maka diserbulah Afghanistan, yang berakibat perang saudara sampai 17 tahun di sana dengan pendudukan tentara NATO sampai sekarang. Lalu disusul dengan berbagai pergolakan bersenjata dan perang saudara di negara-negara berpenduduk Islam tersebut yang melibatkan AS dan Aliansinya. Kalau negara-negara Asing tersebut yang menyerbu dan menggunakan mesin-mesin perang canggih, serta mengakibatkan ribuan orang tewas dan jutaan menjadi pengungsi, mereka tidak menyebutnya sebagai Aksi Teror… tetapi kalau kelompok Islam yang melakukannya, sekalipun hanya bersenjatakan pisau, mereka menyebutnya tindakan Terorisme.

AS dan para Aliansinya kemudian memaksakan pengertian itu ke seluruh negara! Megawati pun menjadi patuh, dan lalu menerbitkan Undang-Undang Anti Terorisme dengan mengkopi aslinya dari AS. Indonesia pun kemudian memanfaatkan kebijakan tersebut dengan menciptakan, mengada-adakan dan memelihara hantu-hantu teroris, dan mempersenjatai mereka dengan bermacam-macam senjata dan bom. Peristiwa Bom Bali Pertama diduga oleh banyak orang adalah awal dari pelaksanaan terorisme di Indonesia. Sesudah itu berdentumanlah banyak Bom Teror di Indonesia. Indonesia menjadi lahan yang subur dengan terorisme palsunya, karena subur dan luas pula ketidakadilan oleh Rezim Penguasa. Paling tidak, di bawah Rezim yang Adil yang menjunjung tinggi Hukum dan HAM, yang memberikan kesejahteraan hidup lahir dan batin kepada segenap warga negara dan penduduknya, niscaya Aksi-aksi Hantu Teror tidak pula bisa hidup.

Terorisme kemudian menjadi komoditi politik, menjadi barang dagangan yang dikaitkan dengan politik. Otak Teroris di AS bisa menjadi peluang dukungan bagi politisi yang ingin berkuasa dengan cara memerangi hantu-hantu teroris. Maka menjelang Pilpres 2004 mulailah berdentuman Bom-Bom teror di mana-mana. Dentuman Bom-bom itu reda sesudah SBY terpilih sesuai dengan janjinya mencintai AS seperti negaranya sendiri. SBY sendiri yang menyampaikan berita terbunuhnya Azahari, salah satu “hantu teroris”, kepada Bush. Konon Obama menolak bertemu SBY ketika mau melaporkan keberhasilannya membunuh “hantu teroris” lain, Nurdin M. Top, demi terpilihnya untuk periode kedua. Rupanya Obama sudah mencium bau Skandal Century dan keterlibatan SBY.

Sekarang Jokowi mau ikut-ikutan menciptakan “hantu-hantu Bom” dan “hantu-hantu teroris”… demi periode keduanya. Khawatir akan merosotnya elektabilitasnya menjelang 2019, kesempatannya adalah mengundang AS untuk mengatrol suaranya lewat isyu Bom dan Terorisme. Bom sudah diledakkan di beberapa tempat, seperti di Thamrin, di Kampung Melayu dan terakhir di Surabaya. Lalu disusul dengan Undang-Undang Anti Teror yang baru. Setelah beberapa lama RUU itu mengendap di DPR, entah apa saja selain Ang Pao yang harus dikirimnya ke Senayan untuk meloloskannya.

Lontaran Jokowi dengan isyu Proyek-proyek Infrastruktur dengan RRC dan dukungan oleh para Hoakiauw Indonesia di satu pihak, dan isyu Terorisme dengan AS dan para Aliansinya di pihak lain adalah sangat berbahaya bagi Independensi dan Kedaulatan Republik Indonesia. Masalah ini harus diselesaikan segera oleh Rakyat Indonesia sendiri. Pilpres 2019 selalu bisa menjadi pintu masuk bagi intervensi para kolonialis khususnya Super Powers untuk mencampuri dan menguasai Indonesia melalui Rezim-rezim Pengkhianat. Berapa banyak pula kekayaan Republik yang harus dikorbankan demi berkuasanya segelintir Penjual Negara.

Oleh karena itu seyogyanya masalah ini segera diselesaikan. Rezim khianat, di mana-mana di dunia harus dihentikan. Tentu sebisanya dengan cara Konstitusional, seperti apa yang terjadi pada Soekarno, Soeharto dan Gus Dur.
Sekaranglah saatnya Indonesia merdeka dari pengaruh dan ketergantungan pada Pemimpin-pemimpin Gombal, Asing dan Aseng. [mc]

*Sri-Bintang Pamungkas, Aktivis Senior, Mantan Politisi dan Akademisi Universitas Indonesia.

Terpopuler

To Top