Warkop-98

Durman, Minreis, Mak Wuti, Neo, Katolik and Atje

Nusantarakini.com, Jakarta –

“Si Alan Durman, ya. Itu melecehkan Atje namanya. Masak anak katolik itu yang ditunjuknya mengurus hal politis terkait kemerdekaan Atje,” kataku pada Somit, ketika kami meneliti dinamika kekuasaan Durman saat jadi presiden.

Somit anak sastrawan terkenal itu diam saja. Dia tak mengira pengertiannya semacam itu. Dia kira, justru tindakan Durman itu terpuji. Sebab Durman dengan lembutnya menyanjung Datuk Tro sebagai sohibnya, tapi mewakilkan urusan maha penting Atje ke orang no name, Gober, katolik lagi.

Alkisah. Durman, Presiden Indusia, menghadapi hal pelik terkait urusan Atje yang kian kuat langkahnya untuk merdeka dari negara Indusia. Dukungan internasional pun tampaknya makin ramai saja untuk kemerdekaan Atje. Sebagaimana tradisi pemimpin politik Indusia yang suka merayu dan menggombal, dia pun mengirim surat kepada Datuk Tro, supaya sudi berdialog barang sebentar. Dia pun mewakilkan kekuasaannya kepada Gober, anak katolik. Padahal dia tahu, Atje sedang menuntut berdirinya negara Atje dengan konstitusi Islam.

Apakah Durman tengah mengejek Atje atau bagaimana, geramlah hati Datuk Tro. Manis katanya dalam surat itu. Seolah Durman kawan seperjuangan Datuk Tro. Sejak kapan Durman simpati dengan negara dengan konstitusi Islam, walaupun dia Muslim? Dia hanya berhasrat untuk menjaga kepentingan massanya dan mengekalkan kenikmatan yang telah mereka raih dari mengisap kepada negara Indusia.

Tak dinyana, terjadi konflik elit politik di tubuh negara kekuasaan Indusia. Wajarlah karena Indusia memang dibena dari kumpulan para oligarkis. Setiap waktu, masing-masing oligarkis mengintip dan berlomba berebut tahta di negeri mutu manikam tersebut.

Durman pun sebenarnya tak mengira dia akan menduduki tahta itu. Padahal para oligarkis masih banyak yang lebih kuat dari pada dirinya yang hanya mengandalkan kumpulan massa desa-desa. Tapi nasib siapa yang duga. Akibat situasi serba mentok, Minreis, orang yang amat berpengaruh kala itu, terpaksa menyerahkan tahta itu kepada Durman, dari pada jatuh ke tangan Mak Wuti. Sebab, Minreis hawatir sangat akan sangat mengubah jalannya politik dan kelangsungan karir kekuasaannya bilamana Mak Wuti dibiarkan dengan mulus meraih kekuasaan yang sudah di depan matanya itu.

Dengan cerdik–karena memang sejatinya Minreis adalah ahli cerdik pandai negara Indusia–dia pun mengorganisasi ulang peta politik saat itu. Dia ciptakan imajinasi politik bernama indah, Arus Tengah, dengan itu dia dapat menarik bagian politik yang menyokong Durman ke dalam golongan Arus Tengah itu. Akibatnya, partainya Durman keluar dari lingkaran politik milik Mak Wuti, sampai kemudian terkucil dan kurang suara untuk mendapatkan tiket meraih tahta.

Imbalan kepada dukungan Durman atas kesudiannya bergabung pada Arus Tengah, apalagi kalau bukan tahta Presiden. Sedangkan jatah buat Minreis, adalah Ketua Majlis Petinggi Oligarkis. Sekarang keduanya berkuasa dan saling menyeimbangkan. Mak Wuti sendiri, dari pada tidak dapat sama sekali, tetap maulah sebagai Wakil Presiden. Syukur-syukur di tengah jalan, Durman tersungkur, kan bisa langsung dapat durian runtuh.

Durman memang oportunis sejati. Saat itu dia sibuk menikmati kekuasaannya. Hampir dia lupa daratan. Padahal negerinya dalam ngeri-ngeri sedap. Ada beberapa daerah yang bergolak minta pisah dan merdeka.

Begitupun nikmat yang diberikan melalui otak Minreis, masih saja dia dengan culas menyampaikan ungkapan: aku ini hanya punya modal dengkul jadi Presiden, katanya dengan congkak. Itu pun pake dengkulnya Minreis.

Sulit sekali dia dipegang. Benar-benar politisi belut. Suatu waktu, dia pun hendak bermain politik dengan Datuk Tro yang sudah tak tahan untuk kemerdekaan Atje. Lagi genting-gentingnya seperti itu, bisa-bisanya dia mendelegasikan urusan politik Atje itu kepada Gober, nama asing yang tidak mengesankan dan menimbulkan rasa simpatik pada Atje. Bagaimana mungkin hal krusial–nasib hidup rakyat Atje–diserahkan sepenuhnya kepada Gober, anak Katolik, dimana Atje lagi demam-demannya syariat Islam. Sungguh suatu perlakuan yang nyaris tak bisa diterima.

Begitulah waktu berjalan. Durman pun menjalankan kekuasaannya. Sejak itu entah apa yang terjadi pada konfigurasi oligarki di Indonesia. Tapi setelah kematiannya, Gober mencuat jadi pengusaha pemilik konsesi tambang. Dia juga sempat muncul dalam kasus percintaan terlarang dengan seorang artis. Namanya tiba-tiba jadi sorotan. Sebab, sebagaian kaum cerdik pandai, tahu bahwa dia merupakan orang kepercayaan Durman, malahan diangkat jadi anak angkat—anak angkat kok uda tuwek.

Menjelajahi perjalanan Gober akan memberi jalan untuk mengetahui lebih jauh sisi lain dari elit-elit yang berasal dari golongan Neo.

Golongan Neo selama ini dipersonifikasikan buta permainan oligarki, rupanya mau belajar juga jadi pemain oligarki. Sejak itu, elit-elit Neo merengsek masuk ke arena sesungguhnya para oligarki Indusia.

Mereka berkolaborasi dengan sekutu favorit mereka: Tionglo. Tionglo memang sangat memanjakan Neo, sejak zaman Durman masih menjadi chairman Neo. Massa Neo memang amat jinak dikendalikan. Malahan dapat diatur sedemikian rupa berdasarkan arahan elit. Orang Tionglo suka karena mereka bisa aman nyaman dalam perlindungan Neo dari serangan massa yang tidak puas. (Boimbing)

Terpopuler

To Top