Analisa

Membedah Hegemoni Israel di Papua

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Bertepatan dengan pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem dan 70 tahun kemerdekaan bangsa Israel, “Kids Zion Papua” bikin sejarah baru, yakni menggerakkan sebagian masyarakat Kristen Papua, usai ibadah di Gereja, mereka melakukan konvoi kendaraan di jalan-jalan, berkeliling Kota Jayapura sambil mengibarkan bendera Israel, Bintang Daud.

Situasi ini tentu saja menggelitik dan menggugah serta mewarnai admosfir posisi geopolitik Indonesia, di tengah pergolakan Palestina – Israel yang kian memanas atas klaim kepemilikan Yerusalem dari masing-masing negara.

Dalam catatan sejarah, hubungan antara bangsa Israel dengan bangsa Arab adalah “Relasi Pahit”, yang sarat dengan perang, strategi, diplomasi, trik-intrik, perebutan dan penguasaan atas tanah, pengerahan kekuatan militer demi menjaga dan mempertahankan eksistensi harga diri dan kehormatan keturunan, kaum, bangsa, dan agama yang telah berlangsung sejak jutaan tahun lalu dan tak pernah berhenti hingga saat ini dan berdimensi global.

Jika saja Umat Muslim Indonesia turun ke jalan memprotes perlakuan Israel terhadap Palestina, itu bukan hal baru, karena terlalu sering terjadi seperti itu dan dalam kacamata hukum negara “bisa dibenarkan”, karena Indonesia salah satu negara yang ikut menentang infiltrasi Israel di Timur Tengah.

Namun menjadi hal baru ketika
aktualisasi atas hegemoni Israel yang ditunjukkan secara ekspresif oleh sebagian masyarakat di Papua tentunya menggugah realitas sosial politik kebangsaan kita, karena Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi di Papua? Apakah itu hanya sebatas ekspresi simpatik biasa saja, karena secara emosional keagamaan, yakni sejarah perjalanan bangsa Israel adalah “Spirit of Theology” seperti yang termaktub dalam “Kitab Suci” Umat Kristen. Ataukah hal itu bisa dimaknai sebagai realitas geopolitik, yang mana tanpa disadari luapan ekspresi keagamaan telah berkolaborasi atau telah “bergeser” menjadi luapan emosi politik?

Sebenarnya situasi di Papua “tidak genting”, “tapi penting” untuk dicermati dan dibahas dengan seksama, agar jangan hanya karena “simpatik” yang berlebihan akan memberikan celah yang bisa melahirkan pertumbuhan “rivalitas sosial” di kalangan masyarakat agama-agama di Indonesia.

Israel, Yahudi dan Zionis adalah tiga kata yang sering terdengar dan terucap serta bermulti makna. Jika kita bertanya apa persamaan atau perbedaan antara Yahudi, Israel dan Zionis, maka di kalangan Kristiani sekalipun, entah Pendeta, Gembala, Pelayan, satu sama lain tidak memiliki definisi atau pengertian yang sama, bahkan seringkali diskusi tentang hal itu akan diakhiri dengan berbagai kesimpulan yang berbeda.

Tidak dapat dipungkiri bahwa realitas hegemoni Israel di Tanah Papua dan realitas hegemoni Palestina yang terjadi di Pulau Jawa, perlu dibedah secara bijak agar bisa meretas benang kusut “Doktrinal Sektarian”, sehingga tidak menjadi kerikil dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apakah fenomena kehadiran Yahudi dan hegemoni pengibaran bendera Israel di Papua adalah bahaya laten ekspansi Zionis di Indonesia?

Tiga poin di bawah ini akan memberikan penjelasan/pemahaman/pengertian sehingga membantu kita melihat realitas hegemoni Israel di Papua dengan senyuman.

1. Spirit of Yahudi/Yudais

Spirit of Yahudi atau Spirit of Yudais hanyalah genetika teologis yang mewarnai darah teologi Kristen.

Keseluruhan perjalanan bangsa Israel, dari nabi-nabi, Nabi Isa, hingga para Rasul dan firman diilhamkan Allah melalui alkitab adalah pusat teologi dan pusat iman Kristen.

Bobot genetika teologis yang dipertontonkan oleh sebagian umat Kristen Papua sama beratnya dengan bobot genetika teologis yang dipertontonkan oleh sebagian umat Kristen yang melakukan wisata rohani ke Israel.

Mengutip Jpost.com, Menteri Pariwisata Israel, Yariv Levin menyebut di tahun 2017 lebih dari 3.5 juta umat kristen mengunjungi Israel dan Palestina.

2. Spirit of Israel

Spirit of Israel adalah genetika biologis yang mewarnai darah keturunan Israel di muka bumi yang berkembang biak dari keturunan Yakub dan keduabelas anaknya.

Genetika biologis ini cenderung dibatasi pada deteksi DNA, tapi tidak dibatasi pada deteksi teologis.

Tidak heran jikalau banyak warga negara Israel berketurunan Arab, Afrika, dsbnya hidup berdampingan dengan berbagai latar belakang agama yang berbeda.

Dari Total 8.238.300 penduduk Israel, 85% agama Yahudi, 16% agama Muslim, 2% agama Kristen, dan 1.5% agama Druze.

3. Spirit of Zion

Spirit of Zion adalah genetika ideologi yang mewarnai darah perjuangan Israel yang menghimpun “Diaspora Israel” dari seluruh dunia menjadi “Excellent Community” ke dalam satu negara berdaulat, yaitu Negara Israel.

Tidak heran jikalau dunia dikejutkan dengan “Musa Operation”, yakni operasi rahasia evakuasi orang Afrika keturunan Israel di Ethiopia dan yang terkini ialah “Aliya Operation”, yakni operasi pemulangan kaum Israel Diaspora ke Israel.

Data diaspora Israel mencatat bahwa Keturunan Israel yang bermukim di Asia Tenggara, hanya berada di Philipina, Singapore, Thailand, Vietnam. Sedangkan diaspora Israel sama sekali tidak terdeteksi di Indonesia, kecuali Keturunan Israel yang melarikan diri dari Kekejaman Hitler, mereka menyelamatkan diri dan menyatu menjadi pegawai VOC di Hindia Belanda dan kawin mawin dengan pribumi Indonesia.

Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan Orang Yahudi adalah mereka yang menjalankan Yudaisme. Orang-orang Israel adalah mereka yang adalah warga negara Israel entah orang Yahudi, Kristen, Muslim atau tidak beragama. Zionis adalah orang Yahudi yang nasionalis dan ingin melindungi eksistensi bangsa Israel dengan segala cara.

Jadi, Yahudi, Israel dan Zionis adalah satu kesatuan yang berdiri sendiri dan tidak dapat dikawinkan dengan unsur apapun di luar dirinya.

Sebaliknya, relevansinya dengan gereja hanya terbatas pada Spirit of Yahudi, yakni berakar pada Genetika Teologis, namun tidak berarti menjadikan agama Kristen sebagai sebagai agama Yudais.

Alkitab mencatat bahwa Yesus hadir karena menentang praktik keagamaan Yudaisme dan karenanya, Tua-tua agama Yahudi menyalibkan Yesus di kayu salib.

Akhirnya fenomena pengibaran bendera Bintang Daud di Papua masih bisa dipandang sebatas “relasi” genetika teologis, karena jauh dari unsur Genetika Biologis dan Genetika Ideologis. Namun demikian, tidak hanya menjadi perhatian Negara saja, tapi juga Gereja. Gereja harus rela dan tega skeptis untuk mengakui bahwa Teologi Yudaisme telah mendapat tempat istimewa di hati Umat Kristen selaku warga gereja dan gereja harus menjelaskan perbedaan yang tegas antara Kristen dan Yudais agar dipahami oleh umat. Menariknya, banyak Gereja, bahkan Kaum Yahudi Ortodoks sangat menentang kebijakan negaranya karena memindahkan Ibu Kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. [Erc]

*Paul Titihalawa, Pengamat Politik Internasional.

Terpopuler

To Top