POLITIK DAN MASJID. Perlu Dibaca biar Melek

Nusantarakini.com, New York – 

Akhir-akhir ini isu politik dan masjid lagi hangat didiskusikan. Konon kabarnya ada pelarangan untuk membicarakan politik di masjid. Bahkan ada kelompok yang menamai diri sebagai komunitas anti politisasi masjid.

Bahkan kabarnya tidak tanggung-tanggung Menteri Agama RI juga telah memberikan pernyataan langsung melarang apa yang dianggap politik di masjid-masjid. Lebih jauh dan tanpa reservasi, beberapa ulama atau Ustadz juga telah menyampaikan pelarangan, minimal peringatan bahwa menyinggung politik di masjid seolah sesuatu yang kontra kebaikan.

Tapi benarkah masjid dan politik adalah sesuatu yang paradoksial (bertolak belakang)? Perlukah isu politik dijadikan sesuatu yang nampak sebagai ancaman (threat) jika disampaikan di masjid?

Saya menilai jawaban terhadap pertanyaan di atas memerlukan analisa dan pemikiran yang lebih bijak. Mengambil kesimpulan bahwa masjid dan politik adalah dua hal yang paradoks justeru dicurigai sebagai bentuk politisasi terselubung. Tujuannya jelas menjauhkan umat dari kesadaran politik.

Saya justeru cenderung melihat isu ini dengan memakai kacamata dan perspektif yang berbeda. Saya menilai dalam melihat isu politik dan masjid, ada dua hal yang harus dibedakan.

Pertama, politisasi masjid dalam arti menjadikan masjid sebagai persinggahan dalam upaya mendapatkan kepentingan politik.

Kedua, penyadaran politik dalam arti masjid dijadikan sebagai salah satu tempat di mana umat mendapatkan penyadaran atau pendidikan politik yang baik.

Politisasi masjid

Politisasi masjid dapat didefenisikan sebagai penggunaan masjid sebagai alat dalam memburu kepentingan politik seseorang. Masjid bukan sebagai tempat penyadaran atau pendidikan politik. Melainkan dijadikan tunggangan bagi kepentingan politik tertentu.

Politisasi masjid Inilah yang melahirkan karakter religious spontan (spontaneous religiosity). Di mana seseorang mendadak beragama dengan tiba-tiba rajin ke masjid-masjid. Atau tiba-tiba menampilkan simbol-simbol keagamaan, seperti selalu rapih dengan baju koko dan kopiahnya.

Padahal sebelum memasuki masa-masa kampanye, jangankan rajin ke masjid, bahkan jika dia adalah pejabat, kebijakan-kebijakannya selama ini kurang menguntungkan umat. Lebih buruk lagi bahkan selain di musim politik, orang itu dikenal anti Islam atau Islamophobik.

Politisasi masjid juga menumbuhkan religiositas musiman (seasonal religiosity). Tiba-tiba ada orang-orang yang di musim politik atau kampanye menjadi sangat sadar agama. Padahal sebelum masa politik mereka sama sekali tidak mau, bahkan malu menampakkan keagamaan.

Politisasi masjid inilah yang sesungguhnya yang sangat tidak relevan dengan masjid. Inilah bentuk “penunggangan” masjid untuk kepentingan politik. Dan saya sangat yakin, hal ini seperti inilah yang harus diingatkan agar dijauhkan dari masjid-masjid.

Masjid dan penyadaran politik umat

Perlu diingat kembali bahwa bagi seorang Muslim yang sadar agama, masjid bukan sekedar tempat sujud dalam arti ritual. Masjid justeru pusat sujud dalam arti menyeluruh. Sujud dalam arti menyeluruh bagi seorang Muslim adalah pengabdian totalitas seorang hamba kepada Rabbnya.

Dan karenanya masjid harus menjadi pusat pembangunan kehidupan umat. Itulah yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW ketika berpindah ke Madinah. Membangun masjid adalah fondasi awal dari pembangunan kehidupan keumatan (komunitas).

Oleh karena Islam bukan sekedar agama dalam arti sempit (kumpulan aturan-aturan ritual semata) maka sayogyanya politik menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keagamaan.

Memang diakui atau tidak pandangan ini dapat membawa kepada pemahaman kaku dan sempit yang akhirnya melahirkan sikap-sikap politik yang ekslusif dan sempit. Pandangan seperti ini boleh saja melahirkan perpecahan dan keresahan.

Oleh karenanya diperlukan pemahaman yang imbang, inklusif dan rasional. Pemahaman seperti ini akan melahirkan penahaman dan prilaku politik yang wajar, imbang dan inklusif.

Memisahkan politik dari agama (tentu juga rumah ibadah) memang menjadi keharusan bagi negara-negara yang menganut paham sekuler. Karena memang agama sama sekali tidak ada kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tapi di sinilah keunikan Indonesia. Bahwa Indonesia memang bukan negara agama. Tapi agama menjadi bagian mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya politik dan agama tidak wajar dipisahkan. Atau sangatlah tidak sesuai jika parlemen atau istana negara dipisahkan dari masjid atau rumah ibadah.

Setuju atau tidak setuju kenyataannya memang demikian. Agama dan kehidupan publik di negara Indonesia tidak bisa dipisahkan. Keputusan publik yang tidak menghiraukan nilai-nilai agama justeru dapat dianggap sebagai kebijakan yang secara inheren (mendasar) bertentangan dengan dasar negara, Pancasila.

Oleh karenanya jangan secara simplistik mengambil kesimpulan bahwa politik harus dijauhkan dari masjid. Sebaliknya masjid harus dijadikan sebagai salah satu pusat penyadaran atau pendidikan politik bagi umat. Alangkah ruginya secara politik umat ini jika masjid hanya dijadikan tempat ibadah ritual.

Selain tidak sejalan dengan pemaknaan masjid yang sesungguhnya, juga dicurigai jangan-jangan hal ini adalah bagian dari pembodohan agar umat selalu alergi, bahkan melihat politik sebagai racun agama.

Hal lain yang perlu dikritisi adalah jangan sampai pelarangan ini identik dengan masjid-masjid semata. Karena kenyataannya bukan sesuatu yang baru jika di rumah-rumah ibadah lainnya juga kerap kali disampaikan isu-isu politik. Bukti-bukti itu dapat ditemukan di berbagai media sosial, termasuk YouTube, ditemukan banyak ceramah-ceramah politik di rumah-rumah ibadah non Islam.

Kesimpulannya saya setuju denganp pelarangan politisasi masjid. Tapi saya tidak setuju dengan pelarangan politik di masjid. Semoga bisa dipahami dan tidak gagal paham. Insya Allah! [mc]

New York, 28 April 2018.

*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.