Meredup Kembalinya Marwah PDIP di Pilkada Jatim dan Jabar

Nusantarakini.com, Jakarta – 

PDIP telah kalah dalam laga Pilkada di dua daerah strategis di pulau Jawa, DKI Jakarta dan Banten. Kini PDIP sebagai partai berkuasa (the ruling party) dan partai pemenang pemilu dihadapkan pada tantangan yang tak kalah berat dalam menghadapi Pilkada di dua daerah sangat strategis di pulau Jawa, yaitu Jawa Timur dan Jawa Barat.

Dengan mengusung Basuki Tjahja Purnama (Ahok) di DKI dan Rano Karno di Banten yang tingkat elektabilitasnya yang sangat tinggi, semestinya PDIP dapat memenangkan kedua laga Pilkada tersebut. Namun, kenyataannya PDIP tumbang dan gagal berkuasa di dua propinsi tersebut.

Marwah PDIP telah redup di DKI Jakarta dan Banten. Kini, marwah PDIP sebagai partai kader berbasis massa kembali dipertaruhkan di Pilkada Jawa Timur dan Jawa Barat.

Berbeda dengan Pilkada DKI Jakarta yang mengusung kader PDIP, Djarot Saiful Hidayat sebagai Calon Wakil Gubernur berpasangan dengan Ahok sebagai Cagub, dan pilkada Banten yang mengusung Rano Karno yang juga kader PDIP.

Namun, untuk Pilkada Jawa Timur, PDIP justru tak mengusung kadernya sendiri. Koalisi PDIP-PKB gagal melahirkan koalisi nasionalis-santri. Pasangan Saifullah Yusuf-Azwar Anas adalah pasangan santri-santri.

Padahal, Jawa Timur sendiri adalah basis tradisional dari PDIP, sangat kuat. Setidaknya dalam Pileg 2014, PDIP meraih kursi tertinggi 19 kursi di DPRD Propinsi, sangat cukup untuk dapat mengusung kadernya sendiri berpasangan dengan salah satu calon yang beredar.

Sebagai catatan, menurut hasil survey independepen yang kami buat terkait sikap kader dan massa akar rumput PDIP di Jawa Timur, yang menampilkan data kekecewaan, penolakan dan pembelahan secara diam-diam.

Keputusan Pimpinan PDIP yang tak mengusung kadernya sendiri dalam Pilkada Jawa Timur diprediksi fatal dalam hasil Pilkada di Jawa Timur nanti. Kemungkinan bisa terjadi eksodus basis konstituen PDIP kepada calon penantangnya pasangan Saefullah-Anas.

Karena itu, marwah PDIP sebagai partai kader berbasis massa, akan kembali dipertaruhkan jika tak kembali mengusung kader nya sendiri maju dalam laga Pilkada di Jawa Barat.

Jangan sampai keputusan mengusung calon Gubernur di Jawa Barat justru mengecewakan kader dan basis akar rumput dari PDIP seperti yang terjadi di Jawa Timur, karena tak mengajukan kadernya sendiri.

Dengan jumlah kursi tertinggi, 20 kursi, di DPRD Jawa Barat, aneh jika Pimpinan PDIP justru tak mengajukan sendiri kadernya maju sebagai Calon Gubernur Jawa Barat.

Siapapun calon yang diajukan oleh PDIP dalam laga Pilkada di Jawa Barat tentu menjadi hak prerogatif dari pimpinan partai. Namun, tentu harus diingat, salah satu fungsi partai politik yang tak bisa diabaikan adalah melakukan kaderisasi.

Untuk apa kaderisasi dilakukan oleh partai jika calon pimpinan daerah yang diajukan tak mempertimbangkan aspek kualifikasi sebagai hasil kaderisasi, hanya mempertimbangkan aspek popularitas semata, tanpa pertimbangan tujuan berpartai sebagai partai kader.

Jika, soal elektabilitas yang tinggi yang jadi pertimbangan dalam memutuskan pasangan calon Kepala Daerah, bukankah baik Anies Baswedan maupun Joko Widodo sebelumnya yang maju menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta, justru berangkat dengan basis elektabilitas yang sangat rendah dibanding calon penantangnya.

Karena itu, untuk menjaga marwah sebagai partai kader sekaligus untuk merawat basis konstituen dari PDIP, sangat menarik jika pimpinan PDIP mempertimbangkan mengajukan kader nya sendiri maju menantang Deddy Mizwar dan Ridwan Kamil di Pilkada Jawa Barat. [mc]

*Ziyad Falahi, Direktur Pusat Kajian Survei Opini Publik.