Nusantarakini.com, Jakarta –
Alhamdulillah, ini kali kedua saya bersama dengan Cisfed. Sebenarnya ini merupakan pemikiran saya yang berkembang dari satu masa ke masa. Jadi kalau kita lihat, alhamdulillah dengan izin Allah Swt, ekonomi syariah ini sudah berkembang. Kemana saja kita pergi, banyak universitas yang telah membangun ekonomi syariah. Dengan izin Allah juga, perkataan syariah ini telah ditukar pula dengan Islam. Jadi sekarang ini sudah berani menyebut ekonomi Islam. Kalau dulu disebut dengan ekonomi syariah, bank syariah. Di Indonesia begitu, bukan?
Teman-teman memberi tahu saya, dulu perkataan Islam ini amat sensitif. Di Malaysia terbalik. Di Malaysia dulu berani menggunakan perkataan Islam, tapi sekarang sudah takut sedikit. Kalau dulu ditubuhkan Universitas Islam, bank Islam, dan sebagainya. Tetapi sekarang ini, ada penentangan, bukan saja dari bukan Islam, tetapi juga dari pada orang Islam sendiri. Jadi pemerintah terpaksa bernegosiasi, dengan tidak menggunakan sangat perkataan Islam. Jadi contohnya, kita ada Indeks Syariah Malaysia. Jadi tidak lagi memakai Indeks Islam. Sebenarnya Indeks Islam. Jadi kita pakai washathiyyah, kita pakai maqashid syariah.
Di Indonesia sebaliknya. Sebab itu di Indonesia orang ramai bicara Islamic Banking and Finance. Kita pun heran kadang-kadang, persoalan Islamic Banking and Finance itu, dia lebih menonjol dari pada Islamic Economics. Padahal Islamic economics itu adalah ibunya, Islamic Banking And Finance itu adalah anaknya. Tetapi rupanya anaknya lebih menonjol dibanding dengan islamic economics.
Jadi bila kita observe kenapa begitu, sebabnya yang pertama, Islamic Banking And Institution itu memberikan peluang pekerjaan, employment. Jadi yang nampak sekarang ini Spesialisasi Islamic Banking And Finance.
Jadi bila kita lihat balik sebenarnya dalam The Contemporary Islamic Economics, yang kita panggil mainstream Islamic economics, yang bermula di King Abdul Aziz University, yang bermula di IDB, Islamic Foundation, dengan tokoh-tokoh yang kita patut respect, karena mereka memulakan itu, tapi sekarang mereka sendiri telah melihat balik, apakah pemikiran-pemikiran mereka itu, yang asal, coba melihat balik. Salah satu contoh yaitu Muhammad Akram Khan, dia menulis satu buku yang tebal, Whats Wrong Islamic Economics, dia revisited dia punya pemikiran asal, kemudian coba untuk memperbaiki pemikiran-pemikirannya. Walaupun masih ada pemikir Islamic Finance yang berpegang pada ide asalnya itu.
Jadi dari penelitian saya, saya rasa ada tujuh kesilapan dari pemikiran ekonomi Islam. Yang pertama dari segi paradigmanya. Walaupun kita mengatakan itu islamic economics, tetapi paradigmanya itu masih lagi western entocentric. Masih berdasarkan pada conventional economics. Mainstreamnya ialah new classical economics.
Saya mempelajari islamic economics ini bermula belajar dengan MA Mannan. Dia buat weekend class. Tapi lebih kepada new classical economics. Jadi islamic economics yang mainstream ini dia punya framework lebih kepada kapitalistik. Dia tidak bubar dia punya framework. Cuma dimasukkan apa yang dipanggil islam dengan menggunakan ayat-ayat Alquran, menggunakan hadits-hadits, nash-nash, untuk mengesahkan secara Islam apa yang telah dibuat oleh orang-orang Barat. Setengah penulis mengatakan, actually the contemporary islamic economics yang eksisting sekarang ini boleh dipanggil sebagai fikh based new classical economics. Artinya new classical economics yang berbasiskan fikh.
Frameworknya tidak berubah, dimasukkan apa yang dipanggil Islam. Itu sebabnya musti memaksimalkan productivity. Sebab mereka tidak mempersoalkan apakah boleh memaksimalkan productivity. Adapun sebaliknya, memaksimalkan consumption, kalau Rostow punya teori development, mass bases consumption. Jadi, itu tidak dipersoalkan. Mereka islamic economist mencari ayat-ayat Alquran, hadits-hadits yang mengesahkan bahwa perlunya kepada kerja kuat, karena kerja kuat itu boleh memaksimalkan produktivitas, dengan maksimal produktivitas itu, maka mereka boleh kunsumsi lebih banyak. Bila konsumsi banyak, maka ada demand yang tinggi, bila demand tinggi, maka maksimal production, bila maksimal production, jadi ada employment. Bila ada employment, maka itulah the cycle.
Jadi sebab itu, dicarilah ayat Alquran, hadits, bekerjalah kamu seolah-olah bahwa kamu hidup seribu tahun lagi. Dan beribadahlah seolah-olah akan mati besok hari. Ini apa yang kita panggil dengan mengayatkan. Menggunakan Alquran, hadits untuk mengatakan ini Islam, tapi sebenarnya kita menguatakan ideologi western etnocentric.
Artinya orang yang masuk kepada Islamic Banking and Finance, dia tidak berbicara tentang falsafah Islamic economics yang menjadi ibu kepada Islamic banking and finance. Jadi dia berbicara saja dengan technically-nya.
Kesilapan yang kedua, ialah asumsinya. Dia masih berbasiskan asumsi western etnocentric. Yang pertama, sumberdaya alam itu adalah langka. Sumber daya alam ini terbatas, tetapi kemauan manusia tidak terbatas. Yah..ini tidak dipersoalkan dalam Islamic economics. Kalaupun ada perbincangan, perbincangan yang membenarkan bahwa sumber daya alam itu adalah terbatas. Contoh, emas di Indonesia makin lama makin kurang. Secara fisically hal itu benar. Tapi bila kita masuk ke dalam konsep tauhid, kita akan bertemu dengan konsep rezeki, konsep barakah. Sebab benda itu tidak boleh lagi diukur dengan kuantitatif. Sebab dia berbentuk kualitatif sudah.
Misalnya ada orang mendapat rezeki yang banyak, tetapi tak ada barakah, maka dia tak menggunakan hartanya secara baik dan optimal. Ada yang mendapat rezeki yang sedikit, tetapi karena barakahnya, maka dia rasa qanaahnya, dia rasa cukup dengan rezeki yang sedikit itu. Ini persoalan-persoalan yang kurang dibincangkan dalam contemporary Islamic economics.
Satu lagi, tentang asumsi unlimited wants. Betul. Sebab banyak kita lihat kaum ibu, bapak juga, kalau ada ini, mau lagi yang lain. Berjalan kaki, lihat bycicle, mau bycicle. Lepas itu, mobil. Begitu seterusnya. Tapi juga tidak benar. Karena apa? Sebab unlimeted wants ini, benar bagi orang yang punya nafsu yang jahat. Nafsu ammarah, lawwamah. Tapi bagi yang mempunyai nafsu yang baik, muthmainnah, mereka konsumsinya adalah limited. Makin kurang dia punya kemauannya itu.
Jadi artinya ini merupakan asumsi yang perlu kita lihat balik. Tapi Islamic economics sekarang ini tidak melihat hal itu. Dia terus menerima asumsi itu.
Kesilapan yang ketiga ialah konsep. Konsep-konsep yang digunakan dalam Islamic economics suka tidak diredefine. Mereka mengikuti konsep yang didefinisikan oleh Barat. Contoh, keadilan. Keadilan bagi mereka ialah sama rata. Sedangkan keadilan dalam Islam berdasarkan pada saksama. Ada perbedaan antara sama rata dengan saksama. Sama rata itu, kuantitatif. Saksama itu, dia adalah kualitatif. Katakanlah ada orang beristri empat. Kalau mengikuti parameter Barat, kalau ada kain empat meter, maka mesti empat meter setiap orang. Walaupun istrinya salah seorang itu kecil saja. Diberi empat meter, mubazzir itu, kan? Yang seorang lagi besar, tinggi. Empat meter tidak cukup.
Kalau dalam Islam itu keadilan itu diletakkan pada tempatnya. Yang perlu tiga meter, tiga meter. Itu dipanggil saksama. Sama juga ada seorang istri nggak suka air conditioner, karena lahir di kampung, jadi jangan bagi istri yang tidak suka aircon itu, aircon. Tapi Islamic economics tak ada bicara perbedaan keadilan semacam itu.
Sama dengan konsep kerja. Kerja atau works ini didefinisikan oleh orang-orang Barat, ialah sesuatu perbuatan yang boleh mendatangkan income. Anything you do yang mendatangkan income, itu dikira kerja. Kalau pekerjaan yang tidak mendatangkan pendapatan, itu tidak dipandang sebagai kerja. Jadi kalau ada orang berdakwah sepenuh masa tapi tidak mendatangkan pendapatan, itu tidak dikira sebagai bekerja. Kalau ibu berhenti bekerja dan jadi ibu rumah tangga misalnya, padahal menjadi ibu rumah tangga itu jauh lebih berat, itu pun tidak dikira sebagai kerja.
Kalau kita tengok pada zaman Rasulullal Saw, ada ahli suffah yang tinggal di serambi mesjid. Mereka semua miskin, nggak ada pendapatan, tidak bekerja menurut konsep kerja konvensional. Tapi mereka ini, kalau kita lihat, senantiasa bersama Rasulullah Saw. Karena kalau ada seruan jihad, mereka terlebih dahulu yang ke depan jihad. Tapi dalam perspektif Barat, mereka tidak bekerja. Tidak ada pendapatan. Sedangkan mereka adalah pekerja Islam, aktivis Islam yang berjasa kepada Islam.
Ini dalam Islamic economics tidak didefinisikan konsep semula kerja itu. Sama juga dengan kemiskinan. Kemiskinan pun tidak didefinisikan. Ahli suffah tadi bila dilihat menurut konsep konvensional, merupakan miskin mutlak. Tetapi Rasulullah tidak pernah menyuruh mereka kerja untuk menjadi kaya. Tapi ada sayyidina Abdurrahman bin Auf yang kaya, mau jadi miskin karena takut lambat masuk surga, tapi Rasulullah tidak benarkan. Kamu harus jadi kaya. Tapi ada orang miskin yang datang meminta fatwa dari pada Rasulullah saw, disuruh beli kapak, kamu bekerja. Jadi nampaknya, miskin atau kaya itu, selektif. Tak guna ada orang kaya seperti Tsalabah, kaya kufur, tak bayar zakat dan sebagainya. Ada orang miskin yang meminta tadi, takut kufur, jadi Rasulullah minta dia bekerja. Tapi ada orang kaya imannya kuat seperti Abdurrahman bin Auf tadi, senantiasa membagi hartanya untuk Islam, dia harus kaya. Jadi artinya kaya ataupun miskin, itu adalah bergantung kepada iman. Tapi ini tidak ada didefinisikan oleh Islamic economics.
Jadi islamic economics yang sekarang ini coba menyelesaikan masalah kemiskinan. Dengan definisi kemiskinan Barat, tapi mau menggunakan institusi-institusi Islam. Seperti wakaf, zakat. Jadi bagaimana kita boleh mencapai matlamat Islam, kalau kitanya menggunakan institusi Islamnya saja, tetapi defenisi kemiskinan itu diukur dengan definisi Barat. Hingga akhirnya kalau kita tak berjaya, mengatakan tak berjaya.
Tidak ada satu masyarakat yang saya tahu yang lebih menjadi beriman dan bertakwa, karena diberikan zakat. Ada yang diberi zakat, setengah dari duit zakat itu mereka beli rokok dengan duit zakat itu. Dan ada yang beli toto (togel).
Kesilapan yang keempat, Islamic economics itu hanya satu scoup saja. Ekonomi saja. Sedangkan sekarang, orang tidak lagi bercakap, one dimensional saja. Sekarang tidak saja bercakap multi dimension discipline, tetapi transdisciplinary. Sebab kalau bercakap satu disiplin saja, kita tidak dapat mencari perspektif terhadap masalah, apatah lagi memberi obat atas masalah itu. Sebab kalau melihat satu dimensi saja, ekonomi saja, tidak melihat kepada politik, sedangkan ekonomi itu mempengaruhi politik, dan pada masa yang sama, politik juga mempengaruhi ekonomi. Jadi sepatutnya ada Islamic political economy. Jadi melihat suatu masalah secara komprehensif.
Sedangkan kalau kita lihat dari pada perkembangan intelektual, kalau sekiranya kita hanya mengajar mahasiswa kita, dengan satu dimensi saja, maka akan lahir apa yang kita panggil well intellectual, intelektual sumur. Ilmunya tinggi, tapi yang dia tahu ilmunya saja. Dia tak tahu lagi ilmu-ilmu yang ada hubungan dengan ilmunya. Hingga akhirnya mereka mengatakan kita perlu buat suatu disiplin yang multi disiplin, multi dimensional. Digabungkan ekonomi dengan politik, digabungkan dengan neurologi, biologi, nanotekniologi, dengan bioteknologi dan sebagainya. Tapi itu pun yang lahir itu ialah mahasiswa yang boleh dipanggil valley intellectual, intelektual lembah. Dia lebih baik dari one dimension intelektual tadi. Tapi itu pun tidak cukup.
Jadi sekarang ini orang bercakap transdisciplinary . Menggabungkan semua ilmu, supaya yang lahir itu dia menjadi ensiklopedi, mengetahui semua ilmu, yan punya hubungan dengan itu, dan itu kita panggil dengan oceany intellectual. Ialah intelektual lautan. Laut itu luas. Sungai ini semua mengalir ke laut. Ada dibawa kotoran, tapi semua diproses oleh laut menjadi bersih. Dan di dalam laut itu banyak khazanahnya. Sedangkan Islamic economics yang sekarang ini hanya bercakap tentang ekonomi saja. Tentang production, consumption, distribution.
Ada teman saya yang belajar ekonomi, saya tanya dia, belajar ekonomi ini, belajar apa? Dia jawab, saya belajar bagaimana mencuri secara ligat. Itu ekonomi. Kelakar saja. Sepatutnya Islamic economics itu ialah transdisciplinary, yang meliputi segala persoalan, termasuk berkenaan dengan hati dan nafsu dan sebagainya.
Kesilapan yang kelima ialah metodologi, risearch methodology, metodologi penelitian. Ini juga serius. Sebab kita lihat, Islamic economics, membuat penelitian berkenaan dengan Islam dan juga orang-orang Islam, tapi menggunakan metodologi konvensional. Sedangkan metodologi konvensional itu, tools of analysisnya adalah sangat terhad. Karena dia hanya berasaskan saintifik. Saintifik ini artinya perkara-perkara yang hanya boleh dibuktikan oleh pancaindera. Yang boleh kita amati dan lihat. Karena metode konvensional itu hanya berasaskan pada ainul yakin, yakin karena dilihat oleh matanya, habis-habisnya ilmul yakin, dia yakin atas suatu perkara itu karena dia yakin berdasarkan ilmunya. Mereka tidak sampai kepada haqqul yakin, keyakinan yang haq.
Sedangkan kita lihat sekarang ini, ahli-ahli ekonomi Islam, membuat penelitian menggunakan perkara-perkara yang berbentuk konvensional. Hingga akhirnya kita lihat, mereka hanya yakin, kalau sekiranya mereka ada ilmunya, atau melihat dengan mata kepalanya. Tetapi tidak secara haqqul yakin. Itu juga satu persoalan yang besar dalam ekonomi Islam saat ini.
Kesilapan yang keenam ialah the ultimate main atau matlamat yang akhir. Mereka bercakap dengan al-Falah. Tapi saya rasa al-falah itu, tidak betul-betul ikhlas lagi. Sebab al-falah ini hasanah fiddunya wa hasanah fil akhirah. Tetapi tak mungkin Allah bagi itu hasanah, kecuali kita ada mardlatillah. Allah ridla dengan apa yang kita lakukan. Sebab itu the ultimate main adalah mardlatillah. Sebab itu ada Islamic economist yang melakukan sesuatu, terlupa untuk mencari ridla Allah. Mereka hanya mau bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Padahal tak mungkin bahagia di dunia dan akhirat didapati kalau Allah tidak ridla. Sebab itu Rabiah Adawiyah menyatakan, ya Allah aku ridla walaupun masuk neraka, kalau Kau ridla. Karena dia tahu kalau ridla, masuk neraka pun, insya Allah tak akan tersiksa. Seperti Nabi Ibrahim dibakar. Apa sepatutnya membakar, dengan ridla Allah, api tak membakar Nabi Ibrahim. Pisau itu sepatutnya melukakan, tapi Nabi Ismail tidak luka, karena kebesaran Allah Swt.
Kesilapan terakhir dari Islamic economics kontemporer, yaitu yang ketujuh, ini juga dahsyat. Dari pada pengalaman saya, kebanyakan dari pada ahli-ahli ekonomi Islam ini, cakapnya berbeza dari pada amalnya. Misalnya ada ahli yang menulis tentang masalah consumption yang membagi kepada dlaruriyyat, hasaniyyat, hajiyyat, dan seterusnya.
Cantik kita baca. Wah bagus Islam nih, ya. Dengan izin Allah dia datang ke konferensi kami di USM. Bila habis konferensi, malam itu ada seorang istri teman kami, telepon, Mana suami kami, tidak pulang-pulang ini? “Suami awak tadi mengiringi ahli ekonomi Islam yang masyhur ini. Sebab mereka mau lihat bandar, mau shoping dan sebagainya.”
Pagi besok, bila saya jumpa dengan teman saya, saya tanya, Kemana kamu semalam?” “Waah aku semalam menziarahi mall, dari satu mall ke satu mall. Sebab ini ahli ekonomi yang populer ini mau shoping. Banyak sekali dia shoping.” Pagi besok dia jumpa saya, ada dua lagi mall yang dia mau shoping.
Malam itu dia mau pulang. Saya bawa dia naik mobil kecil, dua pintu saja. Dia marah sekali. Rupanya apa yang dia tulis, tidak sama dengan apa yang dia cakap. Ada satu lagi, cukup populer di Finance Islamic economics. Dia jadi keynote address, jadi dia bercakap saja. Tidak menulis. Kita transkrip. Selepas itu kita minta dia baca balik. Edit dan sebagainya. Supaya kita boleh publish secepatnya. Dia bilang, saya tidak punya cukup waktu. Ambil video saja. Selepas itu kita kirimkan video kepadanya, lalu kita minta mana barang itu. Dia jawab, saya masih sibuk. sorry tunggu. Beberapa bulan kemudian kita minta lagi, mana? Tunggu. Setahun kemudian akhirnya dia kata, sorry saya tak buat. Dan masih banyak lagi kasus semacam itu.
Bila saya tengok, problem tidak ada barakah dari Islamic economics sekarang ini, karena Islamic economist itu sendiri, tidak beramal dengan ilmunya. Sehingga tidak saja Islamic economits, siapa saja yang tidak beramal dengan ilmunya itu, kita tidak boleh anggap sebagai berguru dengan mereka.
Jadi kesimpulannya Contemporay Islamic Economics must to be designed. Karena itu Masudul Alam Choudry mengatakan, belum ada Islamic economics sekarang ini. Belum ada the pure Islamic economics sekarang ini.
Setiap tujuh hal tersebut, CISFED boleh membuat risearch, paradigmanya bagaimana, konsepnya bagaimana, sehingga kita boleh lahirkan New Islamic Economics. Yang boleh menjadi school of thought yang baru untuk mengembalikan Islamic economics itu ke yang sebenarnya.
Prof. Dr. Syukri Salleh/Dosen Universitas Sains Malaysia