Nusantarakini.com, Jakarta –
Pada waktu saya diadili dalam Perkara Jerman (1996) dg tuduhan menghina Presiden, diajukan Bukti oleh Jaksa berupa Perekam Kaset dan Kaset Rekamannya. Rekaman itu akan diputar di dalam Sidang untuk mendengarkan suara saya, bahwa benar saya mengucapkan: “Soeharto adalah Diktator”.
Pembela, yaitu Bang Buyung, Pak Assegaf dan Bung Pangaribuan menolak, dengan alasan Alat Perekam dan Rekaman bukan Barang Bukti.
Dan memang benar! Dalam Pasal 184 KUHAP tidak ditemukan kata barang sebagai Alat Bukti. Sebagai Alat Bukti hanyalah a) Keterangan Saksi, b) Keterangan Ahli, c) Surat, d) Petunjuk, dan e) Keterangan Terdakwa.
Setelah berdebat seru, Majelis Hakim mengatakan Perekam dan Rekamannya bisa menjadi Petunjuk. Apa Petunjuk itu?! Dalam Pasal 188(1) disebut sebagai Petunjuk adalah Perbuatan, Kejadian atau Keadaan. Dalam ayat (2) disebutkan, bahwa ayat (1) itu hanya dapat diperoleh dari Keterangan Saksi, Surat dan Keterangan Terdakwa. Samasekali tidak ada yang menyebutkan barang sebagai Alat Bukti.
Lalu bagaimana dengan Perkara Pembunuhan?! Apa tidak perlu ada Pisau atau Pistol sbg alat Pembunuh?! Bagaimana dengan Obat-obatan sebagai Bukti Perkara Narkoba atau Membunuh dengan Racun?! Rupanya, taken for granted, BARANG sebagai Alat Bukti itu tersembunyi atau tertulis di dalam Berkas Perkara, di mana Berkas Perkara disebut sebagai Alat Bukti berupa “Surat”.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kalau Barang Bukti berupa Alat Pembunuh itu TIDAK DISEBUT di dalam berkas…. Apakah Si Terdakwa bisa dihukum?! Dalam banyak film tentang Pembunuhan di Amerika Serikat, misalnya, Si Tersangka tidak bisa diajukan ke Pengadilan selama Alat Pembunuh belum diketemukan. Itu sangat masuk akal!
Saya kira Pasal 184 KUHAP tersebut perlu direvisi, yaitu dengan mencantumkan secara eksplisit adanya Barang sebagai Alat Bukti.
Sekarang Perkara Asma Dewi. Dia didakwa memposting kata-kata dan mengirimnya lewat Facebook/FB. Ada empat Postingan, dengan dakwaan melanggar Pasal ITE tentang Penyebaran Kebencian dan Permusuhan kepada Etnis Cina.
Terlepas dari unsur adanya Kebencian dan Permusuhan, karena memang yang disampaikan terkait dengan Negara Cina, bukan Etnis Cina, yang mau dipersoalkan di sini adalah barang. Karena di dalam seluruh persidangan selama kira-kira 90 hari itu, JPU tidak mampu menunjukkan atau memperagakan adanya barang fisik berupa Postingan yang dituduhkan telah diunggah Terdakwa. JPU hanya menyebutkan Postingan itu berupa fotokopi yang tertulis pada beberapa lembar Surat Dakwaan.
Pembela dalam Sidang menuntut Pembebasan Terdakwa, karena JPU tidak mampu menunjukkan Barang Bukti berupa Postingan yang diunggah Terdakwa.
Kenapa JPU tidak mampu menunjukkan Barang Bukti?! Karena Akun FB Terdakwa telah terhapus di tangan Penyidik… bahkan Password-nya pun sudah hilang. Bahkan Akun Terdakwa yang lain pun telah dihapus oleh FB sendiri sebelum kejadian (tempus delicti) yang dituduhkan. Terdakwa sendiri sudah lupa dengan apa yg diunggahnya, karena kejadiannya sudah lama, Juli 2016…
Tentulah di sini tidak tertutup kemungkinan Rekayasa Cyber, oleh Penyidik. Kenapa Akun terhapus, atau sengaja dihapus? Sedang JPU hanya bisa menuliskan Surat Dakwaan, karena ada perintah. Bahkan Ahli ITE dari pihak JPU sendiri mengatakan Perkara ini tidak layak diangkat, karena dia sendiri sudah tidak bisa mendapatkan Postingan-postingan, yang katanya pernah diunggah Terdakwa…[mc]
*Sri Bintang Pamungkas, Dewan Penasehat Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI).