Demokrasi Pancasila dan Budaya Bangsa

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Negara-negara di Asia Timur seperti Tiongkok, Korea Selatan (Korsel) dan Jepang walaupun tidak banyak bicara demokrasi ala Amerika Serikat (AS), tapi negara-negara tersebut mampu menjadi negara maju dan menuju kesejahteraan rakyat banyak. Tiongkok, Korsel dan Jepang dapat maju dengan karakteristik dan budaya bangsanya sendiri, tanpa mengadopsi filosofi barat yaitu demokrasi dan HAM ala AS.

Tapi bangsa kita sepertinya telah di-brain wash dengan demokrasi ala AS sedemikian dalamnya, sehingga menganggap suatu kewajaran bahwa hanya dengan Demokrasi dan HAM yang didengung-dengungkan negara barat khususnya seperti AS, adalah satu-satunya filosofi untuk dapat menjadi negara maju dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dapat tercapai. Padahal Tiongkok, Jepang dan Korsel sudah membuktikan bahwa tanpa demokrasi dan HAM ala AS, mereka dapat menjadi negara maju.

Bangsa Indonesia akan mampu menjadi negara maju dan kesejahteraan rakyat banyak dapat tercapai, apabila mau kembali kepada kekarakteristik bangsa sendiri yaitu Demokrasi Pancasila dan Budaya Gotong Royong. Tidak perlu mengadopsi Demokrasi dan HAM ala AS.

Apalagi merasa bangga ketika dipuji-puji sebagai negara Demokrasi terbesar kedua setelah AS, padahal kita sudah sangat ketinggalan dari negara-negara lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demokrasi dan HAM sudah dijadikan alat berpolitik seperti yang sedang kita lihat dan tonton setiap hari. Sejak reformasi tahun 1998 hingga saat ini sudah berumur 20 tahun, namun belum nampak tanda-tanda Indonesia akan menjadi negara yang lebih maju dan kesejahtraan rakyat akan tercapai.

Tapi yang pasti bangsa kita saat ini sudah terjebak kedalam sistem pemerintahan PRESIDENSIAL yang harus didukung koalisi multi partai yang memerlukan konsensus antara eksekutif dan legilatif untuk menjalankan program-program kerjanya dan dapat menjadi sumber munculnya korupsi, kolusi dan nepotism (KKN).

Sistem pemilihan lansung kepala pemerintahan (presiden) maupun kepala daerah (gubernur) yang sangat terbuka dan vulgar serta memerlukan biaya yang begitu besar dan waktu yang panjang. Sangat melelahkan serta menghabiskan energi anak bangsa, tapi hanya memunculkan pemimpin yang cukup dengan pencitraan saja. Tanpa mampu memberi narasi untuk kemajuan bangsa, apalagi menyejahterakan rakyat yang berkeadilan.

Bahkan menyebabkan munculnya politik indentitas dengan cara mengadu domba baik suku maupun agama. Sehingga tertanam bibit-bibit perpecahan bangsa. Ini dikarenakan sistem pemilihannya yang tidak mampu menghasilkan pemimpin yang berkapasitas sebagai seorang negarawan untuk mampu merajut kebhinnekaan bangsa kedalam satu kesatuan NKRI.

Revolusi kembali ke sistem pemilihan berdasarkan sila ke-4 Demokrasi Pancasila menjadi mutlak untuk dapat kembali pada jalur pembangunan yang berkelanjutan. Untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dapat tercapai, serta memberikan kehidupan yang damai kepada seluruh rakyat Indonesia dan terhindar politik indentitas. Serta adu domba sesama anak bangsa dan pencitraan palsu dari pemimpinnya. [rc]

*Chandra Suwono, Pemerhati Sosial, Politik dan Budaya.