Kemuliaan Berbangsa. Ini Rahasianya

Nusantarakini.com, Jakarta –

Adakah di antara anak bangsa saaat ini tengah menyimpan getaran marah dan benci pada siapapun di negeri tercinta yang bermuara pada hilangnya sikap arif nan mulia? Suatu aura kemarahan dan ketaksukaan yang tergores tajam oleh gelora perseteruan politik dan luka-luka sosial lain yang menyuburkan benih permusuhan dan berpotensi menyebabkan retak di tubuh bangsa!

Kita perlu belajar pada perangai emas Khalifah Ali bin Abi Thalib, hakim Syuraih bin al-Harits, dan seorang Yahudi yang terlibat dalam perkara rebutan baju besi. Ali merasa kehilangan pakaian kebeserannya yang berpindah tangan pada seorang Yahudi. Meski Ali penguasa, dia tidak menggunakan tahtanya untuk mengambil paksa.

Khalifah keempat mengajukan Yahudi itu ke pengadilan. Hakim Syuraih yang dikenal adil sejak era Umar bin Khattab dalam proses peradilan itu ternyata memenangkan perkara untuk Yahudi. Ali tak mampu menunjukkan bukti yang kuat, sedangkan putranya Hasan ditolak kesaksiannya kerena senasab. Saudara sepupu Nabi putra Abi Thalib itu dengan ikhlas menerima keputusan yang tidak menguntungkan dirinya.

Khalifah sempat protes kenapa anaknya yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah tidak diterima kesaksiannya. Syuraih dengan tegas mengutip ayat al-Quran surat al-Maidah ayat ke-8, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu berbuat tidak adil.”.

Frasa “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu berbuat tidak adil”, sungguh merupakan nilai utama yang mendalam, yang dipakai rujukan oleh hakim dalam memutuskan perkara. Ayat ini sabab nuzulnya terkait soal rebutan kunci Ka’bah antara Abbas paman Nabi dan ayah Utsman. Syuraih menggunakannya sebagai dasar menentukan keputusan yang adil. Dia tidak ingin karena yang berperkara seorang khalifah versus warga negara beragama Yahudi, membuat dirinya tidak adil.

Ali rela hati kalah dalam perkara itu dan bangga akan sikap adil sang hakim. Khalifah bahkan kemudian mengikhlaskan baju besi kesayangannya itu menjadi milik warga Yahudi. Sang Yahudi pun kagum dengan sikap mulia Ali dan hakim Syuraih, sehingga akhirnya memeluk Islam. Itulah keindahan perangai utama, yang lahir dari jiwa tulus nan autentik ketika terlibat dalam silang sengketa kehidupan.

Sikap Adil

Islam mengajarjan pemeluknya untuk berbuat adil, yakni sikap benar yang objektif dan tidak berat sebelah. Adil itu menempatkan sesuatu pada peoporsinya yang tepat. Jika orang lain bertindak benar maka benarkan dia, demikian pula manakala salah janganlah dibenarkan. Benar dan salah pun bukan ukuran subjektif sendiri, tanya pula suara hati. Tidaklah boleh rasa suka atau tidak suka mempengaruhi sikap untuk berbuat adil pada orang lain. Perangai dan tindakannya terukur benar dan tidak melampaui batas.

Ajaran tentang keadilan merupakan hal yang sangat esensial dalam Islam. Allah berfirman dalam al-Quran yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (QS An-Nisaa’:135). Sikap adil itu pantulan dari nilai benar dan nirhawa nafsu, sehingga insan beriman menjadi lurus hati sekaligus proporsional. Menyuarakan kebenaran tanpa kegarangan.

Sikap adil bahkan harus ditunjukkan meskipun terhadap pihak lain yang dianggap buruk perangai. Allah berpesan dalam al-Quran yang artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS al-Ma’idah :42). Pesan ini penting untuk misi dakwah agar tidak bermuatan amarah.

Pandangan yang terasa tajam tentang ajaran keadilan itu sesungguhnya menunjukkan betapa mendasarnya nilai yang satu itu bagi ketertiban dan kelangsungan hidup manusia. Secara alamiah atau naluriah manusia sering kehilangan sikap adil karena dorongan hawa nafsu. Nafsu memandang orang lain musuh, nista, dan serba buruk yang mesti dihadapi dengan sikap yang sama. Mereka yang berbuat buruk harus dibalas dengan keburukan. Mereka yang dipandang lawan harus diperlakukan sebagaimana hukum perang. Lebih-lebih manakala diri merasa benar dihadapan pihak lain yang mesti kita perlakukan sepadan, yang buahnya sikap tidak adil.

Karena merasa pihak lain lawan dan buruk, maka ketika berbuat baik sekalipun maka hilanglah kebaikan itu. Pada titik ini lantas siapapun yang semula normal dalam berpikir dan bertindak, tidak jarang kehilangan keseimbangan atau batas normalitas, yang menyeruak justru ketaknormalan. Energi yang keluarpun serbanegatif, sehingga orang lain atau dunia serbasesak dan tidak ada baiknya. Jika penyakit hati seperti ini terus tertanam, maka lama kelamaan akan menjadi benih keresahan dan ketidaktenteraman hidup karena di luar sana kehidupan penuh dengan kegelapan.

Para pemimpin dan warga yang adil menjadi dambaan di negeri manapun. Pemimpin negeri, termasuk tokoh agama, tidak boleh berat sebelah. Memperlakukan orang lain buruk karena tidak suka, sebaliknya bersikap baik karena suka. Lebih-lebih di era media sosial yang dengan mudah memproduksi hal-hal yang membuat diri dipenuhi hawa nafsu untuk berkata dan berbuat tidak adil dengan aura marah dan benci. Kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara akan makin hiruk-pikuk dan gaduh manakala hilang jiwa adil dalam diri elite dan warga bangsa. Maka bertanyalah pada hati yang paling jernih, sudahkan kita bersikap adil satu sama lain?

Jiwa Ihsan

Selain nilai adil, setiap mulsim juga diajarkan untuk berbuat ihsan. Ihsan ialah kebajikan utama yang melintas batas ruhani seseorang. Ihsan ialah “engkau menyembah Allah seolah engkau melihat Dia, kalaupun engkau tak mampu melihat Dia, sesungguhnya Allah melihatmu” (HR Bukhari-Muslim). Hadis tersebut mengandung makna hakikat dan makrifat dalam habluminallah (hubungan dengan Allah), yang buahnya ialah hanluminannas ataubhubungan antar insan yang serbaluhur.

Alamiah manusia diberi rasa suka dan tidak suka pada sesuatu, namun jangan berlebihan. Agama mengajarkan, siapa tahu apa yang engkau suka itu di kemudian hari buruk bagimu. Sebaliknya yang engkau benci itu membawa kebaikan untuk dirimu. Hidup itu penuh warna dan rahasia, adakah diri kita serba baik? Di situ pemaknaan tentang hikmah, qadha, dan taqdir. Insan beriman harus yakin akan kebenaran serta beramar ma’ruf dan nahyu munkar, tetapi tegakkan sikap tengahan berbasis adil dan ihsan. Amar ma’ruf nahyu munkar pun perlu hikmah, edukasi, dan dialog (QS al-Nahl: 125), bukan dengan kegarangan dan merasa diri paling benar.

Sikap ihsan yang memancarkan kemuliaan ditunjukkan dalam uswah hasanah Nabi. Ketika beliau dilempari batu hingga terluka parah tatkala hijrah ke Thaif, Nabi akhir zaman itu bahkan menolak tawaran Malaikat Jibril agar kaum yang melukainya itu diberi azab Tuhan. Nabi justru memaafkannya karena kaum Thaif itu belum berpengetahuan. Sikap buruk tidak dibalas dengan keburukan, sebaliknya diganti dengan kebaikan. Memang berat, tetapi itulah pancaran kemuliaan insan beriman.

Nabi bahkan mengajarkan umatnya untuk menyambung tali silaturahim yang terputus. Menghalalkan pihak yang mengharamkan diri kita. Bersikap lembut terhadap mereka yang kasar. Inilah ihsan sebagai mozaik ruhani yang melahirkan sikap mulia nan utama. Sikap luhur yang melampaui batas langit dan bumi, karena ruhani Rasulullah telah mengalami mi’raj hingga ke puncak tertinggi Ilahiah, yang niscaya diikuti oleh para umatnya manakala merasa sebagai pengikut Nabi Muhammad. Jika tidak ingin meraih kemuliaan perangai, apa yang hendak dicari sebagai kelebihan muslim dibanding yang lain dalam menampilkan al-akhlaq al-karimah sebagaimana risalah Nabi.

Nabi bersama kaum muslimin memang pernah perang melawan kaum Quraisy. Namun perangnya Nabi karena membela diri dan menjaga keberadaan umat serta membela ajaran Islam, yang segala halnya dilakukan dengan akhlaq yang mulia. Bukan karena dorongan hawa nafsu dan ambisi-ambisi duniawi yang bertentangan dengan ajaran utama Islam sebagai agama damai dan penyebar keselamatan. Jangan pula jiwa perang itu terus membara dalam relasi habluminannas yang normal. Bukankah Islam bermakna selamat dan damai?

Ujian bersikap adil dan ihsan kini hadir di depan kehidupan setiap insan beriman di negeri ini. Kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan saat ini selain memerlukan mutiara adil yang autentik, juga memerlukan nilai mulia ihsan. Allah bahkan dengan tgas memerintahkan kaum beriman untuk berbuat adil dan ihsan (QS an-NAhl: 90). Para mubaligh ketika berkhutbah bahkan selalu mengutip ayat al-Quran itu sebagai pengunci pesan khutbah dan taushiyah. Sebarkanlah nilai adil dan ihsan itu sebagai perekat hidup berbangsa dan bernegara sebagai cermin risalah Islam rahmatan lil-‘alamin.

Maknanya agar baik umat yang awam lebih-lebih muslim yang berilmu dan menjadi penyuluh ajaran dapat mempraktikkan adil dan ihsan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebarkan pesan-pesan positif yang ma’ruf dan membawa kegembiraan agar umat dan bangsa makin optimis dan damai dalam berperikehidupan sehari-hari secara bersama-sama. Ketika harus menyuarakan peringatan atas hal-hal buruk atau munkar, gelorakan dengan cara yang ma’ruf dalam bingkai adil dan ihsan. Bukan dengan amarah dan aura kegarangan hatta atasnama pesan agama sekalipun.

Media sosial dan politik jangan menyuburkan insan beriman gemar memproduksi segala bentuk kebencian, amarah, dan permusuhan yang menjauhkan diri dari sikap adil dan ihsan. Dalam keadaan dan melalui media apapun semestinya tidak ada ruang bagi insan muslim mengeluarkan ujaran dan sikap yang menunjukkan akhlaq madhmumah (tercela), sekaligus menggerus akhlak karimah nan mulia. Jadilah muslim yang akil-baligh, menjauhi sikap kekanak-kanakkan oleh pola asuh media sosial yang salah kaprah. Bukankah kemuliaan muslim terletak pada akhlaknya yang luhur sebagaimana ajaran uswah hasanah Nabi akhir zaman.

Ketika Abu Bakar Siddiq berbantah-bantahan dengan kaum Yahudi yang meninggikan derajat Nabi Musa ketimbang Nabi Muhammad, Abu Bakar membalas dengan mengatakan Muhammad lebih tinggi ketimbang Musa. Rasulullah saw menegur Abu Bakar agar tidak bersikap berlebihan. Nabi akhir zaman itu mengajarkan keutamaan sikap adil dan ihsan wujud akhlak karimah sebagaimana risalah kenabiannya, “Aku diutus tiada lain untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”! [mc]

*Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah

Sumber: muhammadiyah.or.id