Nusantarakini.com, Jakarta –
Berhari-hari langit mendung, hujan turun dengan deras. Cebong-cebong gembira berharap bisa berenang di medsos saat banjir tiba. Bersiap dengan bullyan tanpa jeda.
Cebong satu menari gembira tralala-tralili, hujan hari ini akan menenggelamkan Jakarta, kita akan bisa mencaci si Gabener.
Cebong dua menjawab: Aku sudah siapkan puluhan meme, kita akan berpesta.
Tapi banjir tak juga tiba, air yang turun tak juga menenggelamkan rumah-rumah kaum miskin. Bahkan jalanan pun tetap lancar kalaupun tergenang hanya beberapa saat saja.
Para Cebong frustasi: Tuhannnnn… mengapa tak kau biarkan air menggenangi kota ini. Mengapa hujan turun hanya sesaat saja, turunkan hujan deras berjam-jam. Tenggelamkan ratusan bahkan ribuan rumah, agar dendam kami terlampiaskan.
Para cebong semakin frustasi, tanggul yang jebol kini telah diperbaiki dgn waktu singkat, bahkan masyarakat disitu berkeinginan mengganti nama tanggul dengan nama Gubernur yang dicintai kaum papa, yang mendapat pesan dari seorang ibu yang tergusur dari rumahnya. Dengan sebuah selendang yang biasa dipakai untuk menggendong anaknya selendang itu dikalungkan pada manusia yang dipercaya untuk menitipkan harapannya ibu itu berkata : Bapak tolong gendong seluruh anak-anak dikota ini agar punya masa depan.
Namun para cebong kelas menengah ngehek kadung membencinya dengan segala umpatan. Mereka tak sudi ada kaum miskin mendapat harapan dan bisa hidup dikota ini bersama mereka. Keinginan menggusur dan mengusir sudah tersimpan lama.
Cebong semakin frustasi lalu ramai-ramai berenang di kali bau dan jorok sejorok pikiran mereka. [mc]
*Geisz Chalifah, Pengamat Politik dan Pecinta Budaya.