Nusantarakini.com, Jakarta –
Setelah investasi Saudi Arabian Oil (Aramco) untuk kilang RDPM Cilacap Maret 2017, kini menyusul OOG (Overseas Oil and Gas LCC) dari Oman untuk kilang Bontang dengan 10 miliar USD (Rp 130 triliun).
Menarik kedua investasi Middle East ini. Aramco, ialah perusahaan minyak terbesar Middle East, menempatkan 6 miliar USD atau 45% untuk perluasan RDMP (refinery development master plan) Cilacap. Walau Indonesia negara Muslim terbesar dunia, hanya dua negara Islam itu yang berinvestasi jumbo. Terbesar adalah OOG, Pangeran Oman, disusul King Salman.
Dari tiga RDPM, Balongan, Bontang, dan Dumai, yang ditawarkan Presiden Jokowi ke Jazirah, tinggal RDPM Dumai yang belum laku. Dumai mungkin diambil Iran jika menemukan komunikator handal yang gagal sebelumnya. Varian patungannya memang beda. Pada kontrak OOG yang Januari 2018 diratifikasi FID (Final Investment Development) nya, selain patungan dengan Pertamina ialah Cosmo International PTE Ltd (COI) dari Jepang, di mana Bontang merupakan RDPM kilang baru (grass root refinery) berkapasitas 300.000 barel per day.
Tidak diketahui progress kilang Cilacap setelah Pangeran Talal dicokok KPK Arab Saudi tahun lalu. Pada waktu muhibah bisnis King Salman ke Indonesia, negara itu sedang mengalami defisit 15% dari PDB, dan Aramco kehilangan potensial captive marketnya di Amerika Serikat sejak minyak batu (shale oil) diproduksi besar-besaran di AS, sementara perang Yaman dan Syuriah menguras biaya Saudi sangat besar. Bandingkan dengan defisit Indonesia yang 2,92% dari PDB, Menkeu Sri Mulyani sudah potong sana sini anggaran proyek. UU No 17 membatasi defisit anggaran 3%, lebih dari itu berlaku hukum besi fiskal: impeachment!
Masalahnya, pembiayaan kilang Cilacap mayoritas dari Pertamina, sehingga sangat tergantung dari dana pengembangan bisnis yang di akhir jabatan Dirut Dwi, ada Rp 700 triliun. Beda dengan Oman, investasi kilang Bontang, full funded, investasi yang seluruhnya dibiayai konsorsium GRR. Malah menurut Direktur Mega Proyek Pertamina Ardy Makabombang dan Direktur Investasi Gigih Prakoso, saham Pertamina hanya 10%, yaitu berdasarkan skema penugasan pemerintah, SK Menteri ESDM 7935 K/10/MEM/2016, 9 Desember 2016. Argunya, tak berarti Pertamina kehilangan kontrol, sebab produk outputnya untuk Pertamina cq pemerintah.
Kendala internal terpopuler di Pertamina kini adalah usia antar RUPS yang singkat, sekali setahun. Dalam 3 tahun terakhir, sudah 2 kali.
RUPS adalah kebijakan Menkeu Sri Mulyani selaku kuasa pemerintah dan Menteri BUMN Rini Soemarno. Dampak reposisi akibat RUPS adalah berubahnya link and match dalam komunikasi manajemen, termasuk kebijakan proyek investasi. Entah kebetulan, RUPS pada saat Dirut Dwi, karena Pertamina mendulang laba jumbo. Dwi digusur karena terlalu sukses dan sulit diajak berhengki-pengki. Setelah Dwi diganti, Pertamina merugi.
Setelah Dirut Manik suksesl undang Oman, atau mungkin karena sering mengeluh piutang di pemerintah tak dibayar, baru setahun, RUPS datang lagi. Tak ada kepastian di Pertamina, itu masalahnya. Kali ini alasan Rini mau menggendutkan direksi agar lancar jual ngecer. Congrats! [mc]
*By Djoko Edhi Abdurrahman (Anggota Komisi Hukum DPR 2004 – 2009, Ketum Indonesia Tax Watch, Wasek Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU)